Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 15: Tertidur di Bawah Penjaga Misterius
Hutan itu terdiam seperti dunia yang berhenti bernapas. Kabut tipis masih menggantung di antara batang-batang pohon yang tinggi dan lembap, menahan sisa dingin malam.
Di tengah kesunyian itu, seekor burung hutan terbang rendah, namun tiba-tiba kehilangan arah dan jatuh di antara semak. Udara di sini berat, seolah setiap butirnya menyimpan kenangan tentang darah yang tumpah semalam.
Di bawah sebatang pohon berakar raksasa, seorang pemuda terbaring kaku. Kulitnya pucat, bibirnya kering, dan di dadanya ada bekas luka yang memudar perlahan, seakan sedang dipeluk oleh sesuatu yang tak terlihat.
Di sampingnya, tertancap sebilah pedang hitam yang tampak seperti besi tua, tapi cahaya samar di bilahnya memantulkan kilatan merah yang dingin, jejak dari sesuatu yang belum padam.
Udara tiba-tiba berubah. Dari jauh, terdengar suara yang asing bagi tempat sesunyi ini, tok… tok… tok…irama palu memukul logam. Suara itu datang dari arah yang tak bisa ditentukan, kadang jauh, kadang dekat, seperti gema yang bermain-main dengan ruang dan waktu.
Bersamaan dengan itu, aroma arak yang pekat mulai mengalir pelan di antara kabut, menembus kelembapan tanah dan dedaunan basah.
Sosok itu muncul dari balik bayangan pohon besar, langkahnya malas namun tak menyentuh tanah. Jubahnya kusut dan lusuh, warna kainnya antara kelabu dan cokelat tua, seolah sudah bertahun-tahun tidak dicuci.
Rambutnya panjang dan kusut, diikat seadanya dengan tali bambu. Di punggungnya tergantung labu arak besar yang hampir kosong, meneteskan sisa cairan bening ke tanah.
Namun wajahnya, itulah hal yang membuat hutan berhenti berdesir. Wajah tua itu seperti gunung yang telah dilanda seribu musim, penuh guratan garis waktu.
Tapi di antara keriputnya, matanya masih hidup, setajam ujung pedang yang baru diasah. Irisnya berwarna abu-abu keperakan, memantulkan cahaya pagi dengan tenang, seolah setiap sinarnya menimbang hidup dan mati yang melintas di depannya.
Hidungnya mancung, tapi bengkok sedikit di ujungnya, bekas patah lama. Bibirnya kering, tetapi tersenyum samar, senyum seorang pemabuk yang tahu rahasia surga.
Ada luka kecil di bawah mata kirinya, bekas sayatan lama yang tidak disembuhkan dengan teknik kultivasi, seakan ia sengaja membiarkannya ada, seperti tanda yang menolak kesempurnaan.
Guru Kui Xing berhenti beberapa langkah dari tubuh Liang Chen. Ia mengangkat labu araknya, mengguncangnya perlahan. Tak ada suara cairan tersisa, tapi ia tetap meneguk udara kosong itu.
Napasnya berbau kuat, campuran arak dan asap kayu. Ia mendesah pelan, “Hm… hutan yang bagus untuk mati, tapi sayang masih terlalu ramai oleh roh penasaran.”
Ia melangkah mendekat. Setiap langkahnya ringan seperti embusan angin, tidak meninggalkan bekas pada tanah basah. Seekor serangga kecil yang hinggap di sepatunya mati tanpa sempat bergerak, bukan karena ia menginjaknya, tapi karena tekanan aura yang menetes halus dari tubuhnya.
Ia berjalan melewati pepohonan tanpa menyingkirkan ranting; ranting-ranting itu justru bergerak sendiri, menyingkir dengan lembut, seolah takut menyentuh jubahnya.
Di bawah kabut yang mulai mengurai, cahaya matahari menembus dedaunan, menimpa wajah tua itu. Untuk sesaat, cahaya itu menyingkap kelelahan di matanya, seperti seseorang yang telah berjalan terlalu jauh di dunia yang tidak lagi ia percayai.
Namun kelelahan itu diselimuti oleh ketenangan yang tak wajar, ketenangan yang hanya dimiliki orang yang telah melihat bencana dan tetap memilih tertawa.
Langkahnya berhenti di sisi Liang Chen. Ia menatap tubuh pemuda itu cukup lama, seperti sedang menilai sebuah logam langka di antara puing. “Anak ini,” gumamnya, “masih hidup setelah menanggung amukan semacam itu? Dunia benar-benar sedang bosan.”
Ia berjongkok, lutut kirinya menyentuh tanah, sementara tangan kanannya memegang udara di atas dada Liang Chen tanpa menyentuh kulitnya. Dari jarak itu saja, ia bisa merasakan sisa energi pembantaian yang belum sepenuhnya padam, panas, berat, dan berdenyut lambat seperti detak jantung raksasa di dalam bumi.
Alisnya terangkat tipis. “Asura…?” bisiknya nyaris seperti gumaman doa.
Arak yang tersisa di labunya menetes satu demi satu ke tanah, membentuk lingkaran kecil di sekitar Liang Chen. Setiap tetesan mengeluarkan uap tipis, bercahaya lembut, menetralkan udara yang pekat oleh bau darah dan kematian.
“Kau bahkan mengubah udara sekitarmu menjadi peringatan bagi para roh,” ujar Guru Kui Xing perlahan. “Tapi roh mana yang cukup bodoh untuk mendekat padaku?”
Ia tersenyum kecil, lalu menghela napas panjang. “Bau Asura, bau kesunyian, dan bau takdir. Campuran yang memabukkan bahkan bagi orang tua sepertiku.”
Angin berhembus pelan, membawa aroma arak semakin jauh. Suara palu dari kejauhan berhenti, dan hutan tenggelam dalam diam yang baru, diam yang tidak lagi kosong, melainkan berisi kehadiran seorang penjaga yang tak terlihat.
Kabut perlahan menyingkir di sekitar mereka, seolah takut kepada sesuatu yang baru saja tiba. Guru Kui Xing memandang tubuh muda di depannya tanpa bicara. Dalam kesunyian itu, suara napasnya yang lembut terdengar seperti gumaman doa di antara dedaunan yang meneteskan embun pagi.
Liang Chen terbaring dalam posisi yang ganjil, satu tangannya terulur, seakan masih mencoba meraih sesuatu yang telah lenyap dari dunia. Wajahnya tenang, namun bayangan penderitaan masih tertinggal di garis rahangnya yang tegas.
Guru Kui Xing menunduk perlahan, matanya yang setajam bulan tua menatap dada pemuda itu. Di sana, di antara kulit pucat dan bekas luka yang nyaris sembuh, tampak cahaya samar merah kehitaman yang bergerak lembut, seperti api kecil yang menolak padam.
Ia mengangkat dua jarinya, menelusuri udara di atas dada Liang Chen, merasakan denyut samar dari sesuatu yang tidak seharusnya hidup di tubuh manusia.
Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Asura.” Kata itu meluncur dengan kehati-hatian seorang saksi sejarah yang sedang menyebut nama terlarang.
Tiba-tiba udara di sekelilingnya bergetar. Daun-daun kering bergetar seperti mendengar rahasia lama. Guru Kui Xing memejamkan mata, membiarkan sensasi itu menembus kulitnya. Energi yang keluar dari tubuh Liang Chen bukan energi biasa.
Energi itu berbau darah, dingin namun bergelora, dan di balik keganasannya ada keheningan yang menusuk, keheningan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah kehilangan segalanya.
Ia membuka mata perlahan. Tatapannya jatuh pada pedang hitam yang tertancap di tanah di sisi kanan tubuh Liang Chen. Pedang itu tidak berkilau. Tidak ada pantulan cahaya pagi di bilahnya. Namun ada sesuatu pada bentuknya yang membuat udara di sekitarnya tampak lebih berat.
Bilahnya yang dahulu tumpul kini menghitam sempurna, permukaannya seperti kaca yang menelan cahaya, dan di pangkal gagangnya terukir garis halus berbentuk bintang pecah.
Guru Kui Xing mengulurkan tangannya. Ia tidak menyentuh pedang itu, hanya menggerakkan jarinya di udara. Angin berhenti. Embun di rerumputan tak lagi menetes.
Pedang itu bergetar pelan, mengeluarkan suara dengungan yang rendah, seperti hewan buas yang sedang tertidur namun siap menerkam kapan saja.
Guru Kui Xing tersenyum tipis. “Kesunyian Malam,” ujarnya pelan, seolah nama itu sudah menunggu untuk diucapkan. “Pedang yang menelan cahaya, pedang yang tak lagi mengenali tangan manusia.”
Ia menarik tangannya kembali. Pandangannya kembali kepada Liang Chen yang tak sadarkan diri. “Jadi ini warisanmu, anak muda. Sebilah pedang yang haus darah dan jantung yang tak mau berhenti berdetak. Betapa ironisnya, kau lahir di antara dua kehancuran.”
Ia duduk bersila di sisi Liang Chen, menaruh labu araknya di pangkuan. Wajahnya berubah tenang, seperti batu yang menatap sungai mengalir tanpa pernah ikut hanyut.
Dengan ujung jarinya, ia menyentuh udara di sekitar Liang Chen, menciptakan lingkaran energi tak terlihat. Lingkaran itu berkilau samar, menahan sisa kekuatan Asura agar tidak mengamuk kembali.
Dalam diam itu, pikirannya bergerak jauh. Ia mengingat kembali legenda lama, kisah tentang Jalan Asura yang pernah mengguncang dunia kultivasi.
Tentang seorang lelaki yang menantang langit sendiri dan tenggelam dalam lautan darah ciptaannya. Guru Kui Xing menghela napas berat. “Tujuh ratus tahun berlalu, dan kini darah itu berputar lagi. Dunia tidak pernah belajar.”
Ia menatap Liang Chen lebih lama, melihat lebih dari sekadar seorang anak terluka. Di balik kulit pucat dan tubuh yang menggigil lemah, ia melihat sesuatu yang berbahaya, tapi juga suci. Seperti harimau kecil yang terlahir di punggung naga, belum sadar akan kekuatan yang membawanya.
“Aku tahu tatapan itu,” bisiknya pelan. “Tatapan orang yang kehilangan semuanya namun masih enggan mati.”
Guru Kui Xing meneguk araknya sedikit, lalu menatap langit. Matahari mulai menembus kanopi hutan, menyalakan kabut menjadi emas. Dalam cahaya itu, ia melihat partikel halus energi Asura melayang di udara, menghilang satu per satu seperti abu yang dibawa angin.
Ia mengangguk kecil. “Masih ada nyawa di dalamnya. Tidak banyak, tapi cukup.”
Labu arak di tangannya memantulkan sinar lembut. Ia tersenyum, namun kali ini senyum itu terasa getir. “Kau tidur di atas punggung harimau, anak muda. Satu langkah salah, dan giginya akan mencabik jantungmu sendiri.”
Di antara kabut dan cahaya pagi, dua sosok itu terdiam dalam kesunyian yang nyaris suci. Liang Chen, harimau kecil yang belum sadar, dan Guru Kui Xing, manusia tua yang telah melihat terlalu banyak badai dunia. Di antara mereka mengalir sesuatu yang halus, bukan kata, bukan niat, melainkan kesadaran purba bahwa takdir telah mulai bergerak.
__________
Angin pagi kembali berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan arak yang samar. Liang Chen masih terbaring tanpa gerak,
hanya napas pelan yang naik turun di dadanya menandakan bahwa hidup belum sepenuhnya meninggalkannya. Di sisi lain, Guru Kui Xing diam memandang wajah muda itu, seolah membaca masa depan pada setiap garis luka yang belum sembuh.
Ia menundukkan kepala sedikit, memperhatikan dada Liang Chen di mana cahaya merah kehitaman kadang berdenyut, lalu padam, lalu berdenyut lagi. Seperti hati yang belum memutuskan apakah ia ingin terus berdetak.
Dengan gerakan perlahan, Guru Kui Xing mengulurkan telapak tangannya ke arah dada itu. Udara di sekitar mulai bergetar, dan hawa panas naik dari tanah.
Ketika ujung jarinya hampir menyentuh kulit Liang Chen, suara gemuruh rendah terdengar, bukan dari bumi, melainkan dari dalam tubuh sang pemuda sendiri.
Sesuatu di dalam sana menggeliat, marah, menolak disentuh. Kilatan merah muncul sesaat di bawah kulit, membentuk pola-pola rumit yang bergerak seperti akar api.
Guru Kui Xing menarik tangannya perlahan, tidak karena takut, melainkan karena rasa hormat. Ia tersenyum tipis, matanya memantulkan sinar lembut yang menyembunyikan kegetiran seorang yang tahu lebih dari seharusnya. “Masih hidup, dan masih melawan. Itulah yang membuatmu berbeda,” gumamnya pelan.
Ia meneguk sedikit arak dari labu di tangannya, lalu menatap langit melalui celah dedaunan. Cahaya keemasan pagi menari di wajahnya yang dipenuhi garis waktu. Di bawah cahaya itu, tampak jelas bahwa wajah tua itu bukan wajah biasa.
Di antara kerutan-kerutan yang dalam, ada sisa keindahan masa muda yang tak pudar oleh umur. Janggutnya yang kelabu berkilau lembut, matanya yang hitam kelam memantulkan kebijaksanaan dan bahaya sekaligus.
Senyum kecil di bibirnya tampak santai, namun siapa pun yang melihatnya tahu, di balik senyum itu bersemayam kehendak yang tak bisa dilawan.
Ia kembali menatap Liang Chen. “Kau tahu, anak muda, aku pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Jalan Asura, Jalur yang menolak cahaya dan menantang surga. Mereka yang menempuhnya jarang hidup lama. Dan jika hidup, mereka tidak lagi disebut manusia.”
Angin berhenti sesaat, seolah dunia mendengarkan.
Guru Kui Xing menunduk, jarinya menyentuh tanah di dekat kepala Liang Chen. Ia menggambar simbol kecil di tanah, bentuk spiral yang berputar ke dalam. Simbol itu memancarkan cahaya lembut, lalu menghilang.
Ia mengangguk, memastikan bahwa lingkaran perlindungan yang dibuatnya cukup untuk menahan sisa amukan energi Asura.
“Jadi, ini takdirku sekarang,” katanya lirih. “Menemukan pewaris jalur terlarang di hutan yang sunyi, ketika dunia sudah lupa cara berdoa.”
Ia menatap labu araknya, mengangkatnya sedikit ke udara seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang jauh di luar pandangan manusia. “Asura Pertama, kau telah membakar dunia dengan amarahmu. Kini, anak kecil ini memikul sisa bara itu. Semoga aku cukup waras untuk menahannya.”
Senyum samar kembali muncul di wajahnya. Namun kali ini ada kesedihan di baliknya, kesadaran bahwa ia baru saja menerima beban yang tidak akan membiarkannya tidur dengan tenang lagi. Ia meletakkan labu araknya di samping Liang Chen, lalu memejamkan mata sebentar.
Dalam kesunyian itu, pikirannya menembus waktu, mengingat masa lalu yang penuh darah dan nyala api. Ia mengingat suara pedang yang pernah mengoyak langit, dan wajah seorang sahabat lama yang memilih menghilang bersama amarahnya.
“Aku tidak akan membiarkan sejarah itu berulang,” ucapnya akhirnya, pelan namun tegas. “Jika dunia tidak mampu menuntun Asura, maka aku akan mencobanya.”
Ia bangkit perlahan, berdiri tegak di antara pepohonan yang menjulang. Punggungnya lurus, seperti batang pohon tua yang telah menahan ribuan badai.
Dalam keheningan itu, hembusan angin mengangkat ujung jubahnya yang lusuh, memperlihatkan perban lama di kakinya dan tanda-tanda luka yang tak pernah disembuhkan.
Langkahnya ringan, namun setiap langkah membawa gema yang dalam. Ia memandangi jejak pertarungan lama di tanah, bekas luka bumi yang ditinggalkan oleh amuk Asura muda. Setiap pohon yang layu, setiap batu yang retak, menjadi saksi dari kekuatan yang hampir menelan dirinya sendiri.
Guru Kui Xing menatap pedang hitam yang masih tertancap di tanah. Ia mengangkatnya dengan dua jari, seolah pedang itu tidak memiliki berat. Bilah hitam itu memantulkan cahaya matahari dengan cara yang aneh, bukan memantulkan, melainkan menelan.
Ia mengamati sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kau pedang yang buruk untuk orang baik, tapi sempurna untuk orang yang tersesat,” ujarnya pelan. “Semoga tanganmu kelak tahu cara menebas tanpa kehilangan hati.”
Ia menaruh pedang itu kembali di sisi Liang Chen dan berdiri diam sejenak. Angin kembali berhembus, membawa suara jauh dari lembah lain, suara air yang jatuh di antara bebatuan, dan suara burung yang bernyanyi ragu.
Guru Kui Xing menarik napas panjang. “Baiklah, anak muda. Kau tidak memilih jalan ini, tapi jalan ini telah memilihmu.”
Ia membungkuk, mengangkat tubuh Liang Chen dengan lembut, seperti seorang ayah mengangkat anaknya dari tidur panjang. Tubuh itu ringan, rapuh, namun terasa hangat di pelukannya. Pedang Kesunyian Malam diambilnya dengan satu tangan, lalu diselipkan di pinggangnya.
Dengan satu langkah ringan, tubuh mereka berdua melayang ke atas pohon, lalu lenyap dalam bayangan hutan. Di bawah mereka, lingkaran perlindungan yang dibuat Guru Kui Xing perlahan padam, meninggalkan aroma arak yang samar dan rasa damai yang aneh.
Di kejauhan, seekor burung hitam terbang melintas, menembus kabut menuju arah timur, seolah ingin membawa kabar pada langit bahwa seorang Asura telah ditemukan kembali.
Kabut mulai turun perlahan di antara batang-batang pohon raksasa. Cahaya pagi yang hangat perlahan berubah menjadi abu keperakan. Di kejauhan, hutan seperti menahan napas, tidak ada satu pun serangga berani bernyanyi, seolah alam sendiri tahu bahwa seorang pengembara dari masa silam telah melewati wilayahnya.
Guru Kui Xing berdiri di atas cabang pohon tinggi, tubuhnya hampir menyatu dengan kabut. Di bawah sana, Liang Chen masih tertidur dalam dekapannya, wajahnya pucat namun tenang.
Arus kehidupan di dalam tubuh pemuda itu berdenyut samar, seperti bara kecil di dalam abu. Setiap kali napasnya keluar, udara di sekitar menjadi sedikit hangat, seolah tubuh itu berjuang keras menolak kematian.
Di bawah, tanah yang remuk dan pohon-pohon hangus menandakan jejak pertempuran yang baru berakhir. Bekas amuk Asura masih terasa di udara, tajam dan getir, bercampur dengan bau darah kering yang belum sepenuhnya hilang.
Di antara serpihan dedaunan, Guru Kui Xing menunduk sedikit, menatap jejak langkah yang lebih dalam dari yang lain. Ia mengenali bentuknya segera, langkah seorang kultivator berintensitas tinggi, disertai sisa energi yang bergetar liar.
Ia menghela napas pelan. “Kau masih berani kembali ke sini, ya, anjing Sekte Raja Naga Berdarah?” suaranya tenang, tetapi mengandung gema berat yang membuat daun di sekitar bergetar.
Ia berjongkok, jarinya menyentuh bekas tapak kaki yang masih hangat. Seketika, arak di labu yang tergantung di pinggangnya bergetar pelan, dan hawa spiritual halus menyebar dari telapak tangannya. Ia tidak mencari jejak lebih lanjut, hanya meninggalkan satu tetes arak di tanah yang berlumur abu.
Tetesan itu jatuh tanpa suara, tetapi begitu menyentuh bumi, lingkaran kecil cahaya keemasan muncul, kemudian perlahan berubah menjadi warna merah tua. Warna itu menyebar, berdenyut seperti jantung yang berdetak. Udara menjadi berat, dan kabut mulai berputar mengitari lingkaran itu.
“Aku tahu kau mengintai dari kejauhan,” katanya lirih, menatap arah utara di mana bayangan samar Elder Sekte Raja Naga Berdarah bersembunyi di balik rerimbunan. “Kau datang dua kali untuk merebut hidup seorang anak, tapi mungkin sudah saatnya kau belajar cara mundur dengan kepala utuh.”
Suara itu tidak keras, tidak menantang, tetapi cukup untuk menembus udara sejauh beberapa li. Di kejauhan, Elder yang bersembunyi membeku. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia mengenali suara itu, dan aroma arak yang menembus kabut seperti pisau tajam menusuk hidungnya. Dalam sekejap, seluruh tubuhnya merinding.
Elder itu mencoba menenangkan napasnya, tapi hawa spiritual di sekitarnya mulai bergetar tanpa kendali. Tekanan yang turun dari arah langit terasa seperti gunung yang perlahan diletakkan di atas pundaknya.
Ia memandang sekitar, mencari sosok yang berbicara, tetapi tidak menemukan siapa pun. Hanya kabut yang bergerak perlahan, dan suara langkah ringan di antara pepohonan.
Di atas pohon, Guru Kui Xing membuka tutup labunya, meneguk sedikit arak, lalu menghembuskan napas panjang. Uap arak itu berubah menjadi kabut putih yang berputar di sekelilingnya, lalu terurai menjadi partikel cahaya yang menari di udara. Ia menatapnya tanpa emosi, lalu berkata pelan,
“Jangan sentuh jejak ini lagi. Bumi telah menandainya.”
Ia mengangkat telunjuknya, menggambar garis tipis di udara. Garis itu membentuk simbol spiral kuno yang sama seperti yang ia buat di tanah sebelumnya. Kali ini, simbol itu bersinar sebentar sebelum lenyap, meninggalkan gema samar yang terasa sampai jauh di hutan.
Elder yang bersembunyi menggigit bibirnya. Tekanan spiritual yang datang dari langit membuat lututnya gemetar. Ia akhirnya menunduk dalam, wajahnya menegang oleh ketakutan.
Dalam hatinya, ia memaki keberaniannya sendiri karena kembali. Ia tahu nama itu, Kui Xing, Sang Dewa Pukul, ahli pedang dan pembuat artefak yang hilang dari sejarah sekte-sekte besar. Pria yang dikenal pernah meminum arak di puncak Gunung Pedang Terbang sambil menantang tujuh kultivator suci sekaligus, lalu menghilang tanpa jejak.
“Jika dia benar-benar itu… maka anak ini bukan manusia biasa,” pikir Elder dengan napas terputus-putus.
Tanpa berani menatap arah aroma arak itu lagi, Elder Sekte Raja Naga Berdarah memutar tubuhnya dan mundur cepat. Daun-daun bergetar saat hawa spiritualnya lenyap dalam jarak jauh. Hutan kembali sunyi, hanya menyisakan bayangan kabut dan garis merah samar di tanah yang belum memudar.
Guru Kui Xing menatap arah kepergian itu sejenak, lalu tersenyum samar. “Begitu mudah lari dariku. Tapi mungkin itu baik,” katanya pelan. “Dunia ini sudah terlalu banyak darah, tidak perlu ditambah hari ini.”
Ia menutup labu araknya dengan tenang, lalu menunduk memandangi Liang Chen yang masih tak sadar. Di bawah sinar matahari yang mulai muncul dari celah dedaunan, wajah muda itu tampak damai, seolah baru bangun dari mimpi panjang yang berat.
“Tidurlah lebih lama, anak muda. Setelah ini, dunia tidak akan memberimu waktu untuk tidur lagi.”
Ia lalu berbalik, melangkah ringan di antara ranting-ranting pohon, membawa Liang Chen dan pedang hitam yang menggantung di pinggangnya. Di belakang mereka, kabut menutup kembali, menyembunyikan jejak yang telah diberkati oleh arak dan niat seorang penjaga yang tidak ingin dikenal.
Langit di atas hutan mulai berwarna keemasan. Cahaya mentari menembus kabut lembap, memantul di tetes-tetes embun yang bergantung di ujung daun seperti mutiara kecil. Suara langkah lembut terdengar di antara pepohonan, hampir tak terdengar, namun meninggalkan jejak spiritual yang dalam.
Guru Kui Xing berjalan perlahan, membawa Liang Chen di punggungnya seperti seorang petani membawa beban ringan.
Di satu tangannya, labu arak tergantung berayun pelan, menebarkan aroma tajam yang bercampur dengan udara pagi. Sementara di sisi lainnya, Pedang Kesunyian Malam tergantung dalam diam, bilahnya yang hitam pekat menyerap cahaya, seolah tidak ingin dilihat oleh dunia.
Hutan di sekitar mereka seakan membuka jalan. Ranting-ranting yang sebelumnya menghalangi bergerak sendiri, dedaunan bergetar ringan, memberi ruang pada langkah sang guru yang tampak lebih seperti roh tua daripada manusia. Burung-burung tidak bernyanyi, tetapi angin seakan bersenandung lembut, mengikuti ritme langkahnya.
“Begitu rapuh, dan begitu keras kepala,” gumam Guru Kui Xing dengan senyum samar. Ia menatap wajah Liang Chen yang masih tak sadar. “Kau menolak mati dengan cara fana, tapi juga belum siap hidup sebagai makhluk yang melampaui manusia.”
Ia meneguk sedikit arak. Uap putih keluar dari bibirnya, membentuk pusaran kecil di udara, lalu memudar seperti mimpi. “Warisan Asura… begitu angkuh dan begitu liar. Tapi mungkin, di tangan yang tepat, bahkan kegelapan pun bisa diarahkan menuju cahaya.”
Langkahnya berhenti di tepi tebing kecil yang menghadap lembah luas. Dari sana, hutan terlihat seperti samudra hijau yang tak berujung. Di ujung cakrawala, matahari terbit perlahan, menghapus bayangan malam terakhir. Dalam keheningan itu, ia berdiri lama, seolah berbicara dengan dunia yang tak bersuara.
“Dunia ini tidak adil,” katanya pelan, suaranya hampir menyatu dengan desiran angin. “Tapi setiap darah yang tumpah punya alasan. Anak ini… akan menjadi pedang yang menebas alasan itu.”
Ia memandang Liang Chen sekali lagi. Ada kelembutan samar di matanya yang tua. Bukan kasih seorang ayah, tetapi penghormatan seorang saksi terhadap takdir yang baru mulai berdenyut.
Kemudian ia melangkah lagi, menuruni lereng menuju kedalaman pegunungan. Setiap langkahnya membawa mereka semakin jauh dari dunia fana dan semakin dekat pada nasib yang belum tertulis.
Arak di labunya bergetar pelan. Ia meneguknya sekali lagi, menatap ke langit yang mulai cerah. Senyumnya tipis, tetapi mengandung makna yang luas seperti langit itu sendiri.
“Baiklah, anak muda,” bisiknya lirih. “Mari kita lihat apakah kau akan menjadi Dewa Pelindung atau Iblis Pembantai. Pilihan itu bukan milikku, tapi milikmu.”
Kabut menelan mereka perlahan. Hanya suara arak yang menetes dari labu dan desir angin di daun-daun yang tersisa. Di tempat itu, dunia fana telah menutup satu bab, dan jalan Asura mulai menulis kisahnya sendiri.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.