Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghormati Prajurit
Adharma berdiri telanjang dada, luka-luka di sekujur tubuhnya terbuka dan sebagian besar sudah mulai mengering, tetapi bekas tebasan Kaiser masih terlihat jelas. Darma berdiri di atas pasir yang panas, meninggalkan topeng tengkorak, trench coat, dan cerulitnya. Di depannya, Kaiser Jatindra yang armornya berasap dan kusam akibat tendangan terakhir Darma, kembali berdiri tegak.
Keheningan melanda padang gurun itu, pecah hanya oleh desisan sistem mekanik Kaiser yang bekerja keras.
"Kau mau melawanku... tanpa senjata?" tanya Kaiser, suaranya yang robotik terasa aneh, mengandung sedikit kekaguman.
Darma menunduk sedikit, mengambil kuda-kuda Silat-nya yang terlihat kuno namun efisien. Ini adalah gaya bertarung yang jujur, tanpa trik vigilante, tanpa senjata curian. "Senjataku cuma satu," jawab Darma pelan. "Tubuhku."
Kaiser menyalakan bilah plasma di tangan kanannya. Bilah energi biru itu memancarkan cahaya dingin, kontras dengan kulit Darma yang berlumuran debu. Kaiser mulai maju perlahan, langkahnya terukur, jarak sepuluh meter di antara mereka terasa seperti batas suci.
Setiap langkah Kaiser membuat pasir bergetar ringan, sementara setiap tarikan napas Darma terasa seperti petir yang mengumpulkan energi di dadanya.
Darma menutup mata sejenak, mengabaikan rasa sakit. Ia mulai membaca angin—bukan angin fisik, tetapi angin yang membawa energi lawannya. Ia melakukan teknik pernapasan Silat Tenaga Dalam, menyalurkan rasa sakit dan amarahnya ke inti tubuh. Gerakannya begitu lembut dan pasif, seperti menunggu badai.
Kaiser tidak menunggu. Ia adalah mesin yang diprogram untuk menyerang.
Kaiser melesat maju dengan kecepatan super, bilah plasma-nya menebas ke bawah secara diagonal dari kanan. Itu adalah serangan frontal yang sangat cepat, dirancang untuk membelah Darma menjadi dua.
DUSH!
Darma menanggapi. Ia tidak menangkis dengan tangan, melainkan dengan sapuan bawah yang cepat, mengubah momentun tebasan Kaiser menjadi gerakan melingkar yang melenceng. Lalu, Darma menyusul dengan serangan balik yang eksplosif: siku ke dada, diikuti dengan tendangan belakang melengkung—khas jurus Silat Cimande dan Merpati Putih yang dia pelajari dari masa lalunya.
Plak! Tangan baja Kaiser menepis siku Darma. DUAK! Tendangan Darma yang diperkuat regenerasi-nya berhasil mengenai rusuk Kaiser.
Satu serangan ditepis, dua serangan dibalas, tiga langkah Darma berputar, dan dunia di sekeliling mereka seakan berdenyut di tengah padang pasir.
Darma tidak sekuat Kaiser secara teknologi, tetapi tubuhnya mulai bereaksi. Luka-luka lama yang didapatnya sepanjang karirnya sebagai vigilante—luka yang berulang kali dipulihkan oleh regenerasinya—kini membangkitkan kekuatan brutal yang tersembunyi. Setiap darah yang keluar, setiap luka yang dibuka kembali, justru membuat tenaganya naik. Darma memasuki Mode Overdrive Regenerasi tanpa sadar, mengorbankan sarafnya demi kekuatan.
Kaiser terkejut. Perhitungan damage-nya salah. Ia menyerang lagi, tempo serangannya berubah liar, membuang presisi militernya demi tekanan murni. Kaiser mengayunkan tinjunya dan mengaktifkan dorongan kecil di boot-nya untuk meningkatkan kecepatan.
Darma bergerak seperti bayangan. Ia menggunakan lankah Silat yang mengalir, menghindari tinju baja Kaiser dengan margin milimeter. Ia bukan lagi tentara, bukan lagi vigilante bersenjata, tetapi murni seorang ahli bela diri yang bergerak berdasarkan naluri dan ilmu tubuh.
Kaiser melepaskan rentetan pukulan cepat, dan Darma terdorong mundur. Namun, Darma tidak jatuh. Ia memanfaatkan inertia mundur itu, berputar di udara, lalu menghantam punggung Kaiser dengan tumitnya.
BRAGH!
Suara logam bengkok terdengar. Kaiser jatuh berlutut, armornya mengeluarkan percikan api.
Darma maju, napasnya tersengal, dadanya terasa nyeri. Ia harus mengakhirinya sekarang, sebelum tubuhnya kehabisan energi regenerasi dan sistem sarafnya lumpuh permanen.
Ia melakukan kombinasi jurus pamungkas: kuncian cepat pada lengan baja Kaiser, sapuan kaki yang merobohkan keseimbangan Kaiser, dan pukulan tenaga dalam yang kuat.
Darma mengunci lengan Kaiser yang tidak bersenjata. Kaiser berteriak dalam sistem komunikasinya yang rusak. Darma mengangkat tangannya, siap melancarkan pukulan tenaga dalam yang akan menghancurkan reactor core Kaiser. Ia adalah Adharma, dan tugasnya adalah menghukum.
Wajah Darma yang penuh keringat dan amarah kini berada sangat dekat dengan helm Kaiser. Tiba-tiba, Darma berhenti. Bilah plasma Kaiser yang terlepas dari tangan kanannya jatuh ke pasir.
Darma melihat ke dalam visor oranye Kaiser. Ia tidak melihat monster. Ia melihat penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan.
Kaiser Jatindra, merasakan ancaman kematian, secara naluriah menarik topeng visornya. Wajahnya yang tampak lelah dan penuh bekas luka, kini terlihat jelas oleh Darma. Mata Kaiser menatap lurus ke mata Darma.
Di mata Kaiser, ada air mata kecil yang mengalir dari sudut mata kirinya yang memar.
Itu adalah air mata penyesalan. Air mata kehancuran. Air mata pengorbanan yang sia-sia.
Air mata itu melembutkan tangan Darma. Ia melihat bayangan dirinya sendiri lima tahun lalu—seorang pria yang ingin mati karena dikhianati dan ditinggalkan.
BAM!
Darma tidak memukul reactor core. Ia mengalihkan pukulan tenaga dalam-nya ke dada baja Kaiser. Pukulan itu tetap kuat, tetapi tidak mematikan. Pukulan itu hanya mematikan sistem internal armor, bukan nyawa di dalamnya.
Pasir di sekeliling mereka berterbangan tinggi akibat hantaman energi itu.
Kaiser Jatindra terhempas jauh, tubuhnya menghantam tanah dengan suara thud yang memilukan. Ia lumpuh, sistemnya mati, tetapi ia masih bernapas.
Darma terjatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit regenerasi yang berlebihan menusuk sarafnya. Ia terbatuk, darah menetes di pasir yang mulai mendingin.
Langit malam di atas mereka berubah menjadi warna ungu gelap. Pertarungan selesai.
Darma mendongakkan kepala, menatap langit sambil gemetar. Ia tidak gemetar karena lelah atau takut. Ia gemetar karena sadar.
"Setiap kali aku menang," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris hilang. "Aku kehilangan satu bagian dari diriku."
Kali ini, yang hilang bukanlah amarah. Yang hilang adalah kebutuhan untuk membunuh.
Ia bangkit pelan, tubuhnya terasa berat, setiap otot terasa nyeri. Ia berjalan ke tempat topeng tengkoraknya tergeletak di pasir. Ia memungutnya, membersihkan debu, dan memakainya kembali. Guntur Darma kembali menjadi Adharma.
Adharma berjalan menjauh, meninggalkan Kaiser yang masih bernapas, terbaring tak berdaya di tengah debu. Ia tidak menoleh. Kaiser, sang MIA yang brutal, membiarkan Adharma pergi, seolah paham bahwa perang mereka bukan lagi antara dua orang, tapi dua ideologi yang hancur di gurun.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya sebagai Adharma, ia tidak membunuh musuhnya. Bukan karena moralitas suci, tetapi karena hormat. Ia menghormati rasa sakit dan pengkhianatan yang pernah dialami Kaiser sebagai seorang prajurit.
Bersambung....