Setelah terpeleset di kamar mandi, Han Sia, gadis modern abad 25, terbangun di tubuh Permaisuri Han Sunyi tokoh tragis dari novel yang dulu ia ejek sebagai “permaisuri paling bodoh”.
Kini terjebak di dunia kerajaan kuno, Han Sia harus berpura-pura sebagai permaisuri yang baru sadar dari koma, sambil mencari cara untuk bertahan hidup di istana penuh intrik dan penghianatan. Namun alih-alih pasrah pada nasib, ia justru bertekad mengubah sejarah. Dengan kecerdasan modern dan lidah tajamnya, Han Sia siap membalikkan kisah lama dari permaisuri lemah menjadi wanita paling berkuasa dan akan membuat mereka semua menyesal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - “Sayap yang Terbuka di Bawah Langit”
Langit pagi berwarna merah keemasan, burung-burung beterbangan di atas dinding istana Hui yang tinggi. Di antara kerumunan rakyat yang berkumpul untuk menyaksikan sisa pesta kerajaan, kabar mengejutkan sudah menyebar lebih cepat dari angin.
“Permaisuri Han Sunyi bangkit dari koma.”
“Ia datang di pesta ulang tahun raja!”
“Selir Agung Wei Ning terbongkar meracuni sang raja!”
Desas-desus itu bergema di setiap sudut ibu kota. Para pedagang membicarakannya, para prajurit berbisik di balik helm mereka, dan para pelayan istana gemetar menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun satu hal pasti malam itu, istana yang dulunya berdiri megah di bawah bayang-bayang kebohongan kini retak oleh kebenaran yang diserukan seorang wanita.
Han Sunyi berjalan di sepanjang jalan batu menuju gerbang selatan. Jubah putihnya menari tertiup angin pagi, rambut hitamnya terurai sebagian, dan di belakangnya, tiga dayang setianya Nuan, Yuyi, dan Yuyu mengikuti langkahnya dengan penuh hormat.
Zhi Dao berjalan di samping mereka, tidak lagi mengenakan seragam pengawal kerajaan, melainkan pakaian sederhana berwarna gelap. Pedangnya telah ia tinggalkan di istana, seperti meninggalkan masa lalu yang tak lagi ingin ia bela.
“Yang Mulia…” Yuyi berbicara pelan, suaranya serak karena menahan emosi. “Kita benar-benar meninggalkan tempat ini?”
Han Sunyi berhenti sejenak, menatap ke arah menara istana yang puncaknya masih diselimuti kabut. Ia menghela napas panjang.
“Ya,” ujarnya lembut. “Kita meninggalkan kebohongan. Bukan rumah.”
Nuan menatapnya kagum. “Tapi, Yang Mulia… setelah ini kita akan ke mana?”
Han Sunyi tersenyum samar, mata beningnya memantulkan cahaya pagi.
“Dunia luas, Nuan. Selama kita masih hidup dan punya tujuan, setiap tempat bisa menjadi istana kita.”
...****************...
Sementara itu, di dalam istana...
Raja Hui Song duduk terpaku di singgasananya. Aula besar yang semalam penuh dengan tawa dan tepuk tangan kini sepi. Hanya sisa lentera yang masih menyala, dan di hadapannya, surat cerai itu masih tergeletak dengan segel naga merah yang membara seperti darah.
Tangannya gemetar saat menyentuh kertas itu. Di hatinya, perasaan marah, malu, dan kehilangan berputar seperti badai.
Wei Ning berlutut di bawah tangga singgasana, rambutnya berantakan, riasan wajahnya luntur karena air mata.
“Yang Mulia! Semua itu tidak benar! Hamba dijebak!” jeritnya.
Raja Hui Song menatapnya dingin. “Cukup, Wei Ning.”
Suara itu tak lagi lembut seperti dulu. “Bukti yang ia bawa terlalu jelas. Bahkan laporan yang kau bakar… ditemukan.”
Wei Ning menunduk, tubuhnya gemetar hebat.
“Hamba… hanya ingin melindungi Anda.”
“Dengan racun?” potong Hui Song, suaranya dingin menusuk. “Dengan kebohongan tentang anak yang bahkan bukan darahku?”
Wei Ning membeku. Mata raja kini tajam seperti pedang yang hendak menebas.
“Bawa dia ke ruang pengadilan istana. Biarkan para tetua kerajaan memutuskan hukumannya.”
Pengawal datang, menyeret Wei Ning yang berteriak histeris.
“Yang Mulia! Anda akan menyesal! Dia akan menghancurkan Anda juga!”
Pintu aula menutup keras, meninggalkan Raja Hui Song seorang diri.
Ia menatap ke arah tempat duduk kosong di sampingnya kursi permaisuri.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan kesunyian yang menusuk, menyadari sesuatu yang dulu tidak pernah ia pahami:
Cahaya yang hilang tidak akan kembali, bahkan jika seluruh istana bersujud memanggilnya.
----
Di luar gerbang istana...
Han Sunyi dan rombongannya tiba di gerbang selatan. Matahari mulai naik, menyinari jalan menuju lembah. Beberapa penjaga yang dulu ia suap diam-diam memberi hormat dan menunduk saat melihatnya lewat. Tidak ada yang berani menahan.
“Gerbang ini…” bisik Zhi Dao lirih, “tempat pertama kali Anda masuk ke istana beberapa tahun lalu.”
Han Sunyi tersenyum samar. “Dan sekarang, tempat terakhir kali aku melangkah keluar darinya.”
Ia berhenti sebentar, menatap pilar batu bertuliskan lambang kerajaan Hui.
Lalu, dengan suara lembut namun tegas, ia berkata,
“Mulai hari ini, aku bukan lagi bagian dari mereka. Aku akan membangun tempat baru bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kebenaran.”
Yuyu menatapnya penuh semangat. “Apakah Anda ingin mendirikan paviliun sendiri, nona?”
Han Sunyi mengangguk kecil. “Ya. Sebuah tempat untuk melatih mereka yang terluka oleh sistem yang busuk tabib, prajurit, bahkan wanita istana yang ditinggalkan. Dunia ini butuh cahaya, dan aku sudah cukup lama menjadi bayangan.”
Zhi Dao tersenyum, wajah tegasnya sedikit melembut. “Kalau begitu, izinkan aku menjadi pedangmu, Yang Mulia. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi.”
Han Sunyi menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Tidak perlu panggil aku Yang Mulia lagi. Panggil saja Sunyi.”
Zhi Dao menunduk dalam, bibirnya menahan senyum kecil. “Baik… Nona Sunyi.”
----
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar ibu kota, di sebuah lembah yang dikelilingi bunga liar dan sungai jernih. Han Sunyi berdiri di tengah padang, angin meniup rambutnya lembut.
“Tempat ini…” katanya, “akan menjadi awal kita yang baru.”
Ia membuka kotak kecil dari dalam lengan bajunya segel warisan cahaya yang dulu bersinar di lengannya. Ketika ia letakkan di tanah, cahaya lembut memancar membentuk lingkaran pelindung di sekeliling mereka.
“Aku menamainya Paviliun Cahaya Phoenix,” ujar Sunyi dengan senyum penuh arti. “Karena seperti burung phoenix, kita telah mati dan lahir kembali dari api kebohongan.”
Ketiga dayangnya berlutut, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Permais— maksud kami… Nona Sunyi, kami akan selalu di sisi Anda.”
Han Sunyi menatap mereka lembut. “Kalian bukan dayang lagi. Kalian saudara seperjuanganku.”
Mereka tertawa kecil, merasakan kehangatan yang belum pernah ada di istana.
Bersambung