Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Setelah panggilan telepon yang penuh emosi, Mehmet dan Stela segera bersiap.
Mehmet memastikan Stela mengenakan pakaian yang nyaman dan hangat.
Meskipun Stela merasa tubuhnya masih lemas dan mual, semangat yang dibawa oleh kabar bahagia ini memberinya kekuatan.
"Kita hanya bawa yang penting. Ponsel, dompet, dan yang ini," ucap Mehmet, mengambil alat tes kehamilan dari wastafel dan menyimpannya di sakunya seolah itu adalah benda paling berharga di dunia.
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti diwarnai oleh aura berbeda.
Mehmet mengemudi dengan jauh lebih hati-hati dari biasanya, sesekali melirik Stela yang duduk di sampingnya sambil tersenyum menahan rasa haru.
Setibanya di rumah sakit, Dokter Siska, seorang spesialis kandungan yang sudah mereka kenal, menyambut mereka dengan wajah tersenyum.
Mehmet menjelaskan kronologi kejadian pagi itu dengan antusiasme yang luar biasa.
Pemeriksaan segera dilakukan. Stela berbaring di tempat tidur, sementara Mehmet berdiri di sisinya, menggenggam tangannya erat. Detak jantung mereka berdua berpacu saat Dokter Siska mulai mengoleskan gel dingin dan menggerakkan transduser USG di perut Stela.
"Lihat, Bu Stela, Pak Mehmet," ujar Dokter Siska dengan lembut, menunjuk ke layar monitor di samping.
Di layar hitam putih itu, terlihat sebuah kantung kecil yang jelas, dan di dalamnya, bintik kecil yang berdenyut-denyut.
"Selamat, Pak Mehmet, Bu Stela. Janinnya sehat, detak jantungnya bagus. Usianya kira-kira delapan minggu," jelas Dokter Siska, suaranya dipenuhi nada selamat.
Stela tidak bisa menahan tangisnya lagi. Melihat denyut kehidupan kecil itu, keraguan dan ketidakpercayaan yang ia rasakan tadi pagi sepenuhnya hilang, digantikan oleh keajaiban yang tak terhingga.
Mehmet membungkuk dan mencium kening Stela, air matanya ikut menetes.
Setelah pemeriksaan selesai dan Stela kembali duduk, Dokter Siska menyerahkan sebuah buku kecil berwarna merah muda.
"Ini, Bu Stela. Ini adalah Buku Pink (Buku Kesehatan Ibu dan Anak) Anda. Mulai sekarang, buku ini akan menjadi 'teman' terbaik Anda. Semua catatan perkembangan, janji temu, dan kondisi kesehatan Anda dan janin akan ada di sini," kata Dokter Siska, menjelaskan fungsi buku itu.
Stela menerima buku itu dengan kedua tangan yang gemetar.
Ia membuka halaman depannya, melihat namanya dan nama Mehmet tertulis di sana.
Buku itu terasa dingin di tangannya, namun memancarkan kehangatan tak terlukiskan.
Ini adalah bukti resmi, penanda bahwa mereka benar-benar akan menjadi orang tua.
"Terima kasih banyak, Dokter," ucap Mehmet, suaranya serak.
"Kami, tidak tahu harus berbuat apa."
"Tenang, Pak Mehmet. Tugas Anda sekarang hanya memastikan Bu Stela bahagia, tidak stres, dan selalu makan makanan bergizi. Karena morning sickness masih akan kuat beberapa minggu ke depan," nasihat Dokter Siska sambil tersenyum.
Saat berjalan keluar dari ruang praktik dokter, Mehmet merangkul bahu Stela dengan lembut.
Stela mendekap erat buku pink itu di dadanya. Perjalanan yang penuh drama, ancaman, dan kekacauan seolah sudah terbayar lunas dengan selembar buku berwarna merah muda ini.
Mereka berjalan keluar dari rumah sakit, siap menyambut lembaran baru dalam hidup mereka.
Setelah mendapatkan kepastian dari dokter dan membawa Buku Pink, Stela dan Mehmet berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil mereka.
Wajah Stela tampak lebih segar, meskipun ada sedikit rasa lelah.
Saat Mehmet membuka pintu mobil untuknya, Stela menoleh.
"Apa kita langsung ke kantor?" Tanya Stela sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
Mehmet menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia mencium punggung tangan Stela.
"Tidak ada kantor hari ini, Sayang. Kita libur. Aku sudah membatalkan semua jadwalku. Kamu butuh istirahat, tidur, dan makan makanan yang benar."
"Tapi pekerjaan amal..."
"Pekerjaan amal bisa menunggu. Prioritas utamaku sekarang adalah Nyonya Mehmet dan calon baby Mehmet," potongnya sambil tersenyum lebar.
Stela tersenyum bahagia mendengar suaminya menomor-satukan dirinya.
"Lalu, kita mau ke mana?"
"Kita akan pulang. Tapi, ayo kita cari bakso dulu. Aku tidak mau lagi ada drama bakso. Tapi kali ini, jangan makan pedas, Sayang. Dokter melarang makanan pedas dan asam untuk sementara, demi lambungmu," ujar Mehmet, memasukkan dirinya ke kursi pengemudi.
Stela tertawa kecil. Ia tahu Mehmet pasti sangat khawatir.
Ia mencondongkan tubuhnya ke samping, mendekati Mehmet yang sudah menyalakan mesin.
Stela mencium pipi suaminya dengan lembut.
"Terima kasih, Met. Aku akan jadi ibu yang patuh."
Mehmet membalas ciuman itu dengan senyum haru.
"Aku tahu, Sayang. Sekarang, mari kita cari bakso paling enak, tapi plain."
Mobil sport Mehmet pun melaju meninggalkan area rumah sakit, membawa sepasang suami istri yang sedang berbahagia dengan harapan baru di hati mereka.
Setengah jam kemudian, mobil Mehmet berhenti di depan warung bakso terkenal yang buka sejak lama di pusat kota.
Warung itu ramai, tapi untungnya mereka mendapatkan meja di sudut yang lebih tenang.
Mereka duduk berhadapan. Mehmet sudah siap dengan semua larangan dokter.
Seorang pelayan datang menghampiri mereka berdua.
"Mau pesan apa, Bapak, Ibu?" tanya pelayan itu ramah.
Stela mengangguk antusias. Ia sudah membayangkan semangkuk kuah panas sejak tadi.
"Saya mau bakso urat puyuh," pesan Stela.
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Dan tolong tambahkan dua goreng di kuahnya."
Mehmet tersenyum bangga melihat Stela masih sangat bersemangat tentang bakso.
"Dan yang paling penting, Mbak," potong Stela, menunjuk wajahnya sendiri,
"Tolong tidak pakai sambal. Tidak ada pedas sama sekali. Terima kasih."
Mehmet mengangguk setuju pada pelayan itu. "Ya, untuk saya juga, bakso urat saja, dan sama-sama tidak pedas."
Setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan pergi, Mehmet menatap Stela dengan tatapan lembut.
"Lihat? Siapa bilang baby Mehmet membuatmu kehilangan selera makan?" goda Mehmet.
"Tentu saja tidak! Aku hanya perlu memastikan semua nutrisi masuk untuk dia," jawab Stela, mengusap perutnya yang masih rata dengan senyum.
"Dan aku senang kamu mau makan bakso polos juga. Kita tim tanpa sambal!"
"Demi kamu dan anak kita, aku rela tidak makan pedas selamanya," janji Mehmet, meraih tangan Stela di atas meja.
Mereka menunggu dengan sabar, menikmati momen tenang berdua, sepenuhnya terlepas dari drama perusahaan, ancaman mantan suami, dan rencana jahat yang mungkin sedang disusun di luar sana. Yang terpenting bagi mereka saat ini adalah semangkuk bakso hangat dan kesehatan calon buah hati mereka.
Tak lama kemudian, dua mangkuk bakso yang mengepul panas diletakkan di meja mereka. Aroma gurih kaldu dan daging urat yang khas langsung menyeruak, menggugah selera.
Stela tidak membuang waktu. Ia mengaduk kuahnya pelan, mencicipi kuah plain yang ternyata tetap kaya rasa, dan segera menyendok bakso urat serta gorengan yang sudah lembek terendam kuah.
"Ya ampun, Met. Ini sungguh kenikmatan surga," gumam Stela setelah suapan pertamanya, matanya terpejam. Semua rasa mual dan lemasnya seolah lenyap seketika.
Mehmet tersenyum puas melihat istrinya makan dengan begitu lahap.
Ia juga mulai menikmati baksonya, merasa senang karena Stela mendapatkan asupan yang ia butuhkan.
Stela makan dengan kecepatan yang mengagumkan.
Bakso urat, bakso puyuh, dan gorengan di mangkuk pertamanya lenyap dalam waktu singkat. Ia menyeka mulutnya dan mengambil napas dalam-dalam.
"Masih lapar?" tanya Mehmet, sedikit terkejut melihat mangkuk Stela sudah kosong.
Stela mengangguk polos. "Sepertinya baby Mehmet sedang sangat lapar."
Ia memanggil pelayan yang kebetulan lewat.
"Mbak, tolong tambahkan lagi dua mangkuk bakso urat seperti tadi, tidak pedas!" pinta Stela dengan senyum lebar.
Menikmati bakso hangat, Stela berhasil menambah dua mangkuk lagi untuk dirinya sendiri.
Mehmet menggelengkan kepalanya, antara geli dan kagum.
Ia hanya menghabiskan satu mangkuk miliknya, sementara istrinya, yang baru saja divonis morning sickness dan butuh istirahat, melahap tiga mangkuk bakso seolah tak terjadi apa-apa.
"Aku rasa kita harus segera membeli lemari pendingin khusus untuk persediaan bakso di rumah," canda Mehmet, sambil mendorong gelas minumannya ke dekat Stela.
"Minum, Sayang. Jangan sampai tersedak."
"Ini semua demi pertumbuhan janin yang optimal, Met," bela Stela dengan mulut penuh, matanya menunjukkan kebahagiaan murni. Ia tidak peduli lagi tentang diet atau penampilan, yang penting saat ini adalah memenuhi keinginan calon anaknya.
Setelah tuntas dengan mangkuk ketiga, Stela menyandarkan punggungnya ke kursi dengan napas lega.
"Nah, sekarang aku benar-benar kenyang. Ayo pulang!"
Melihat Stela yang begitu bahagia dan sehat, Mehmet merasa semua drama dan masalah yang mereka hadapi sungguh tidak berarti.
Kebahagiaan kecil ini, di warung bakso pinggir jalan, adalah segalanya baginya.