Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
"Atau lo mau jilat ludah sendiri, Za?" tanya Kevin yang sejak tadi diam saja.
Arza terdiam beberapa saat, lalu memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Kayaknya gue gak bisa lepasin dia." Brian dan Bayu tersentak kaget mendengar ucapan Arza. Termasuk Kevin.
"Dia? Dia… siapa?" Arza hanya melirik singkat Brian sebelum kembali menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Enak, Za?" tanya Kevin tiba-tiba.
Arza menoleh pada sahabatnya. "Apa?"
"Jilat ludah sendiri." Ekspresi Arza langsung keras mendengar itu.
Kevin menarik sudut bibirnya sinis lalu berkata lagi. "Dia udah bersinar setelah susah payah bangkit meski diinjak bagai sampah sama lo, Za. Gue harap lo tau diri dan gak usah ganggu dia lagi. Bukannya ini yang lo mau dari awal?"
Tangan Arza mengepal. "Lo gak usah ikut campur!"
"Sekarang gue harus ikut campur," Arza langsung menatap tajam pemuda itu, sedangkan Kevin malah menarik sudut bibirnya tipis.
Brian dan Bayu hanya mengamati berusaha memahami apa yang sedang dibicarakan kedua temannya, tapi mereka tetap tidak paham. Brian menghela napas sambil menoleh ke ponsel dari saku celananya.
Dari pada pusing lebih baik ia memeriksa ponselnya, namun seketika kedua matanya melebar ketika membuka salah satu aplikasi chat.
"Tumben banget Gery bikin story foto cewek," gumam Brian saat melihat story teman satu tongkrongannya itu.
"Serius lo? Coba gue lihat, udah puber juga tuh cowok kaku." Bayu merapat penasaran melihat layar ponsel Brian yang menunjukkan seorang gadis memakai topi berwarna kuning dengan caption bertuliskan "Lucu".
"Cewenya kayak kenal," gumam Brian pelan yang disetujui Bayu.
Sedetik kemudian mereka berdua saling tatap sebelum kembali melihat foto itu lagi dan kali ini Brian memperbesar foto itu agar terlihat jelas.
"Gila! Ini Zia?!" umpat mereka bersamaan. Kevin dan Arza langsung menoleh.
Brian berseru heboh, "Buset, buset, ternyata Gery lagi jalan sama Zia. Beneran pasti ada sesuatu sama mereka. Pantas aja waktu itu Zia berani peluk Gery di tengah lapangan. Anjir Gery, ternyata seleranya modelan cewek reog cakep kayak gini."
"Fix sih ini mereka pasti ada hubungan," ujar Bayu.
Bayu dan Brian masih asyik dengan ponsel yang menampilkan foto Zia. Ocehan heboh mereka terhenti ketika ponsel yang dipegang Brian sudah berpindah tangan.
Entah sejak kapan Arza sudah berdiri di samping mereka dengan mata yang menyorot tajam layar ponsel Brian, hawa panas langsung mengelilinginya. Arza membuang napas kasar, meremas ponsel itu. Auranya benar-benar mengerikan dan tiba-tiba melempar ponsel Brian begitu saja.
"Shit!" Untung refleks Brian cepat sehingga ponselnya dengan sigap dia tangkap. Brian menghela napas lega. Ia lalu menoleh pada Arza kesal. "Sialan Arza! Gue tahu lo lagi bad mood, tapi jangan HP gue juga lo jadiin pelampiasan! Ini mahal tahu."
Wajah Arza sangat keras, ia sama sekali tidak menanggapi Brian. Arza memutar tubuhnya lalu melangkah menuju kamarnya dengan diiringi bantingan pintu yang memekakkan telinga.
Arza mengambil ponselnya lalu membuka draft nomor-nomor yang ia blokir. Arza mendengus pelan lalu membuka blokiran salah satu nomor itu. Ia menekan ikon panggil dan untuk pertama kalinya Arza menghubungi nomor itu yang dulu selalu ia abaikan.
Dan panggilannya diangkat, namun respons dari si pemilik nomor itu sanggup membuat raut wajah datar Arza berubah menjadi mengerikan.
"Halo, halo. Ini siapa ya?"
"Brengsek!" Raung Arza marah lalu membanting ponselnya hingga hancur berantakan.
Arza mendongak sambil mengatur napasnya yang tersengal. Tatapannya sangat dingin seolah bisa membekukan apa saja yang dilihat dari sudut bibirnya.
Zia.
Kali ini ia benar-benar akan membuat gadis itu berhenti melakukan drama seperti ini.
***
Sementara itu, di sisi lain rumah, suasana sore terasa begitu hening bagi Zia. Gadis itu baru saja selesai menonton televisi di ruang tamu, ketika mendengar suara bel rumah berbunyi. Zia mengerutkan kening. Ia tidak merasa menunggu siapa pun hari ini.
"Gue buka dulu ..." gumamnya lirih sambil melangkah menuju pintu.
Begitu pintu terbuka, napas Zia langsung tercekat. Di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan rambut hitam rapi, wajah tampan yang terlalu percaya diri, dan senyum miring yang selalu sukses membuat darah Zia naik satu tingkat. Leonis.
Namun bukan itu yang membuat Zia terbelalak, melainkan benda besar yang dibawa pemuda itu. Sebuah buket mawar merah sebesar pelukan manusia. Benar-benar besar, sampai-sampai Zia yakin tetangga sebelah pun bisa melihatnya dari jauh.
Leonis menaikkan sebelah alisnya. "Lo bengong gitu kenapa? Kaget ya? Gue tahu, gue emang sering bikin lo speechless."
Zia memandang buket itu lalu memandang Leon lagi. "Leon... itu... buat siapa?"
Leonis mendengus kecil, lalu menyodorkan buket itu ke arah Zia. "Ya buat lo lah. Masa gue bawain bunga segede gini buat tetangga?"
Zia memerah seketika. Pipinya panas, tapi bibirnya justru mengerucut kesal. "Lo tuh ya... siapa juga yang minta?! Ini besar banget! Gue harus naruh di mana?! Dan lo ngapain ke rumah gue?!"
"Ketemu lo lah, masa iya gue ke sini mau ketemu nyokap lo?" Leonis mencondongkan tubuh, wajahnya mendekat sedikit hingga Zia otomatis mundur selangkah. "Gue tahu lo suka kedatangan gue, Zia."
"Gue ... gue gak bilang gue suka!" Zia berbalik, berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin merah. Ia meraih buket itu dengan hati-hati. "Dan jangan deket-deket gitu! Nyebelin!"
Leonis tertawa pelan, suaranya rendah dan terdengar terlalu percaya diri. "Gue tunangan lo, Zia. Masa gue gak boleh deket? Lagian lo lucu kalau lagi marah."
Zia hampir tersedak udara sendiri. "Leonis! Lo—"
"Liat tuh." Pemuda itu menunjuk wajah Zia sambil menyunggingkan senyum tengil. "Pipinya merah. Lo masih bilang gak suka sama gue?"
Zia menarik napas panjang, mencoba mempertahankan sedikit harga diri yang tersisa. "Gue merah bukan karena lo. Ini panas."
"Hmm, iya, iya." Leonis mengangguk seolah mengerti, padahal jelas ia sedang mengejek. "Panas karena gue kan?"
"Leonis!"
Pemuda itu malah terkekeh, kemudian mengacak rambut Zia dengan gerakan sok akrab. "Gue masuk ya? Gue bawa sesuatu lagi buat lo."
"Apaan lagi?! Jangan bilang lebih gede daripada bunga ini!"
Leonis hanya menjawab dengan kedipan mata nakal. "Lo liat aja, gue jamin lo makin suka nanti sama gue."
Zia ingin melempar bantal, tapi ia terlalu sibuk menutupi wajah yang justru semakin terbakar.