Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Kedatangan Tamu
Puput membungkus rambut basahnya dengan handuk. Mandi sore sekaligus keramas cukup mendinginkan hati sekaligus menyegarkan badan tentunya. Sempat jengkel cukup lama di hati gara-gara kejadian di dekat Polsek. Arogansi pengemudi mobil Pajero yang tidak memikirkan keselamatan pengguna jalan lain.
Ibu sempat heran dan bertanya ulang kenapa masih siang sudah pulang kerja. Beruntung tidak berkepanjangan setelah Puput beralasan ada tugas lapangan dan diperbolehkan langsung pulang. Sekalian menjelaskan masalah yamg terjadi di sekolah Rahmi yang sudah selesai dengan islah.
"Ck, buruan atuh Siput. Katanya mau cerita. Dari kantor mula aku udah kayak jemuran gak kering-kering." Omel Via yang menunggu sembari rebahan di atas kasur sejak Puput berada di kamar mandi. Pulang dari tempat kerja ke rumah hanya untuk mandi. Buru-buru melesat ke rumah sahabatnya itu yang berjarak kurang dari 1 km. Banyak hal yang ingin diketahunya.
"Yey...salah sendiri datangnya pas aku mau mandi. Sudah tahu kalau tuan putri mandinya suka lama." Puput naik ke atas kasur dengan berpakain santai, kaos oblong warna hitam dan celana selutut. Membiarkan rambutnya yang masih basah tergerai.
"Tadi aku nolongin dulu mbak-mbak yang mau diper kosa pria mabok." Puput mulai mengobati rasa penasaran sahabatnya itu. Menceritakan secara detail dari awal sampai harus mengantarkan korban pulang ke rumah neneknya.
"Kasihan ya...mau liburan di rumah nenek malah dapat kejadian gak mengenakkan. Tapi alhamdulillah selamat berkat kamu, Put." Via tulus berempati. Bangga juga dengan kemampuan beladiri Puput sehingga bisa menolong sesama.
"Eh...gimana nasib anunya si brengsek itu. Masih berfungsi gak ya?!" Via berubah merinding. Membayangkan alat vital yang ditendang oleh Puput sehingga melumpuhkan lawan. Tanpa sadar tangannya menangkup miliknya sendiri dengan wajah meringis.
"Gak tau....aku gak periksa anunya," ujar Puput yang lalu sigap menghindar karena sudah diprediksi kalau Via bakal memukulnya dengan guling.
Benar saja. Via meradang kesal dengan jawaban menyebalkan Puput. Guling yang didekapnya dipakai untuk membantai sang sahabat. Namun Puput keburu menghindar sembari tertawa-tawa.
"Sekarang ceritain soal briefing tadi. Beneran kolot ya Pak Rama itu?! Soalnya killer gitu ngasih hukuman." Puput naik lagi ke atas kasur busanya. Duduk sila sembari memeluk bantal.
"Huh....SALAH BESAR." Via membuat gerakan menibas lehernya dengan tangan. "Si boss datang sama asistennya, namanya Damar. Masih pada muda bo.....keliatannya sih masih single. Tapi gak tau ya...cowok cakep and tajir mah meski dah punya anak 2, penampilannya tetep kayak bujangan. Kayak si-----" menggantungkan ucapan sembari menaik turunkan alisnya.
Puput memutar bola matanya. Tahu siapa orang yang dimaksud Via. Jefry, pria tampan pengusaha rumah makan Padang yang mengejar-ngejarnya. Mengaku bujangan dan mengajak menikah dengan menjanjikan akan memberikan hadiah mobil dan rumah. Namun Puput bergeming dengan pendiriannya, belum siap menikah. Sampai suatu hari bertemu tanpa sengaja di Taman Safari Bogor saat liburan. Si Jefri sedang bersama dua orang anak dan seorang perempuan dewasa yang menggelayut di lengan. Membuat pria itu gelagapan dan pura-pura gak mengenalinya.
"Woy...napa senyam senyum kaya wong edan." Via mengeplak tangan Puput yang diperhatikannya sedang menatap tembok. Tatapan menerawang dengan bibir tertarik membingkai senyum.
"Kamu sih...jadinya kan inget si Jefry." Puput membela diri. Beralih meminta Via melanjutkan cerita.
"Ughh, penampilan dan wajahnya kulll.....kas 4 pintu. Nyess pokoknya. Aku aja betah natapnya, apalagi si Septi tuh....heuhh so genit," Via melanjutkan dengan gerak mata dan bibir super ekspresif gaya emak-emak julid.
"Eits tapi jangan salah ya, itu hanya kesan pertama. Setelah Pak Rama ngasih skorsing sama kamu, aku jadi ilfeel deh. Tanpa nunggu klarifikasi langsung jeder vonis. Mentang-mentang boss seenaknya saja. TERLALU!" Via berdiri mencak-mencak melampiaskan rasa kesal.
"Biarin lah, kerja suasana baru di lantai bawah. Gaji juga baru." Puput tertawa sumbang. Membayangkan gajinya akan berkurang. Harus putar otak nyari tambahan pemasukan mengingat kebutuhan ketiga adiknya tidak cukup mengandalkan jualan sang ibu. "Moga aja ada hikmahnya," sambungnya berusaha bijak. Ia menutup percakapan begitu terdengar adzan magrib. Kemudian bergiliran melaksanakan shalat.
"Via, makan dulu di sini. Jangan dulu pulang." Ibu menahan Via yang datang ke dapur untuk berpamitan.
"Iya, Mbak. Gak ngiler liat ini?" Aul menunjukkan isi cobek yang sedang diuleknya. Bumbu ayam geprek dengan cabe rawit yang banyak. "Ini request Teh Puput, cabenya 15," sambungnya sembari memasukkan ayam goreng tepung yang masih hangat untuk digeprek. Ia dan sang kakak memang hobi makanan pedas.
"Wuahh mantap jiwa. Boleh lah....dipending dulu pulangnya." Via dengan semangat membantu menyiapkan piring dan membawanya ke ruang tv. Acara makan malam sambil lesehan di karpet.
"Diih....katanya mau pamit sama Ibu." Puput yang baru selesai menerima telepon, menatap heran sahabatnya yang ssdang mengisi gelas dengan teh panas.
"Rejeki jangan ditolak, Put!" Via tersenyum miring sembari mengendus-ngendus ayam geprek yang sudah jadi.
...***...
"Yakin mau ikut?!" Rama bertanya ulang pada Cia yang sudah bersiap mengenakan sweater. Padahal ia khawatir jika saja sang adik masih syok untuk keluar rumah. Ditambah hawa selepas magrib serasa dingin padahal cuaca cerah. Rencana sekarang akan pergi ke rumah orang yang sudah menolong adiknya itu. Enin yang paling cerewet mengingatkan sejak siang.
"Iya, Kak. Aku udah gak papa kok. Pengen banget ketemu....siapa namanya? Lupa." Cia mengerutkan kening tanda berpikir. Tadi pagi tidak begitu memperhatikan dengan detail sosok orang yang menolongnya. Haya ingat wajahnya memang cantik putih, memakai setelan kerja dengan rambut dikuncir.
"Puput---" Rama menjawab yakin. Masih ingat ucapan Enin yang mengulang cerita sampai tiga kali. Katanya merasa kesengsem sama gadis jagoan itu. Ia hanya sabar menjadi pendengar setia nenek kesayangannya itu.
"Aku pengen berterima kasih langsung, Kak. Siapa tahu orangnya menyenangkan, bisa jadi teman." Cia melanjutkan ucapannya penuh harapan. Di kota kecil ini ia sama sekali belum punya teman. Sepupunya yang tak lain anaknya Bibi Ratih juga tidak ada. Karena sedang kuliah di Bandung, hanya pulang sebulan sekali.
"Sudah siap?!" Damar melonggokkan kepala dari ambang pintu utama. Mobil Pajero sport Dakkar sudah mengkilap setelah dicuci steam. Semua karena perintah Enin yang harus perfect saat bersilaturahmi ke rumah Puput. Tidak suka melihat mobil warna hitam itu berdebu bekas perjalanan Jakarta - Ciamis. Malu, katanya.
Damar mengulum senyum melihat Rama disuruh Enin membawakan parcel buah. Hal itu jelas tertangkap oleh mata Rama saat memasukkan parcel tersebut ke dalam bagasi.
"Eh lo ngapain senyam senyum?!" Sama-sama mengenakan hoodie warna berbeda, Rama menyipitkan mata menatap sahabatnya itu.
"Itu...bawa parcel segala, kayak mau lamaran....eh apa mau nengok orang sakit." Damar tak lagi bisa menahan tawa. Dilepaskan tanpa rasa bersalah. Sebagai laki-laki metropolitan dan terbiasa sendiri, sangat menggelikan dengan barang bawaan yang disiapkan Enin. Selain parcel, Cia menenteng goodie bag berisi cake.
Hanya dibalas Rama dengan dengusan dan tonjokkan ke bahu Damar.
"Burukeun (cepetan), Rama, Damar! Malah ketawa-ketawa....keburu malam." Enin melongokkan kepala dari kaca. Sudah duduk manis bersama Cia di jok penumpang tengah.
"Siap Enin!" Damar memutari mobil menuju pintu driver. Menghentikan senda guraunya. Begitu pula Rama segera masuk ke dalam mobil.
Menurut google map, jarak tempuh ke rumah Puput sejauh 4 km. Tidak sulit, hanya tinggal mengikuti jalan raya yang lurus ke ke arah utara. Karena letak rumah yang dituju berada di jalur jalan nasional
"Stop! Ini rumahnya." Cia menutup ponselnya setelah navigator mengatakan sudah tiba ditujuan.
Sampailah di depan rumah minimalis dengan halaman yang ada pohon mangga dan pohon jambu merah. Tanaman dalam pot-pot juga berjajar di dekat teras. Bisa terlihat dari pagar tembok yang tidak terlalu tinggi.
"Dek, maaf mau nanya." Rama menghentikan langkah remaja laki-laki yang akan membuka selot pagar besi. "Apa benar ini rumahnya Puput?!"
Tidak lantas menjawab. Remaja yang tak lain adalah Zaky memperhatikan dulu orang-orang yang menyusul turun dari dalam mobil dan berjalan mengarah padanya.
.
.
.
"UNESCO merupakan organisasi di bawah naungan PBB yang bergerak dalam bidang apa saja?" Puput menemani Rahmi belajar di ruang tamu. Memberikan contoh soal PKN untuk persiapan menghadapi UTS minggu depan. Buku-buku dan alat tulis berserakan di meja. Lima belas menit yang lalu Via sudah pulang usai makan malam bersama. Dan si bungsu merajuk minta ditemani belajar karena Teteh Aul belum pulang.
"Hmm, bidang Pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan." Rahmi mengingat sembari menghitung dengan jari.
"Benar. Soal berikutnya---" Puput membuka buku PKn halaman lain untuk memberi soal secara acak.
Pintu utama didorong dari luar. Zaky masuk dengan berucap salam. Puput dan Rahmi menjawabnya tanpa menolehkan wajah.
"Teh, ada tamu---"
Puput urung membacakqn soal berikutnya begitu mendengar Zaky berbicara. Baru mau membuka mulut untuk bertanya, terdengar ucap salam berikut kemunculan wajah-wajah yang tidak dikenalnya. Tapi ia belum lupa dengan dua wanita yang masuk dan melempar senyum padanya.