Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Permohonan Maaf
Udara malam di teras belakang mansion itu terasa lebih sejuk dibanding ruangan dalam. Angin pelan mengibaskan rambut panjang Rumi yang dibiarkan tergerai. Lampu taman berwarna kuning redup memantulkan cahaya samar ke permukaan swimming pool yang berkilau. Airnya bergelombang tipis karena hembusan angin, menciptakan bayangan bergoyang di wajah Rumi.
Sudah hampir satu jam ia duduk di kursi rotan dengan bantalan putih, memeluk bantal dalam dekapan, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana. Hatinya masih berdegup tak karuan ketika teringat insiden di kamar utama tadi. Bibirnya terasa panas—bukan karena sentuhan Julian, tapi karena rasa bersalah dan marah bercampur menjadi satu.
“Apa-apaan tadi itu …,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Aku harus lebih hati-hati. Aku di sini cuma pekerja, bukan siapa-siapa, dan tak ingin mencari masalah.”
Tangannya yang sempat bergetar kini mulai tenang. Namun, wajahnya masih menyimpan rona merah akibat tangis yang tertahan. Sesekali ia menengadah, menghirup udara malam, berusaha menetralkan perasaan.
Di sisi lain mansion, Julian sudah selesai mandi. Tubuh tegapnya terbalut kaus abu-abu tipis dan celana rumah berwarna hitam, yang tadi telah disiapkan Rumi. Rambutnya masih agak basah, sebagian jatuh menutupi dahi. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya tetap tajam seperti biasanya. Sakit di bagian bawah perut akibat lutut Rumi tadi memang belum sepenuhnya hilang, tapi ia memaksakan diri berdiri tegak.
Ia sempat menuju kamar bayi Kenzo, berharap bisa bertemu Rumi di sana. Namun yang ia temukan hanyalah Nia, yang sedang menepuk-nepuk pelan punggung si kecil agar tidur lebih nyenyak.
“Rumi di mana?” tanya Julian singkat.
Nia menoleh kaget, tapi cepat menjawab sopan. “Tadi saya lihat beliau keluar, Pak … sepertinya ke teras belakang.”
Julian mengangguk pendek tanpa komentar lebih. Ia sempat menatap wajah baby Kenzo yang tertidur, lalu melangkah pergi. Namun sebelum menuju teras, ia berbelok ke dapur. Para maid yang sedang membereskan piring bekas makan malam menunduk hormat saat ia masuk.
“Ada susu cokelat?” tanyanya datar.
Salah satu maid buru-buru mengangguk. “Ada, Pak. Mau kami buatkan?”
Julian menatap kulkas sebentar, lalu membuka sendiri. Ia menemukan sepotong brownies cokelat yang sudah dipotong rapi di wadah kaca. “Saya bawa ini.”
Susu cokelat hangat pun segera disiapkan dalam cangkir putih porselen. Julian mengambil nampan kecil, meletakkan cangkir dan piring berisi brownies di atasnya. Para maid hanya saling pandang heran, karena biasanya Tuan Julian tak pernah repot menyiapkan sendiri untuk orang lain. Namun tak ada yang berani berkomentar.
Langkah kakinya terdengar mantap saat ia berjalan menembus lorong, menuju teras belakang.
***
Rumi masih larut dalam lamunannya ketika suara gesekan pintu kaca terdengar. Ia menoleh refleks, dan matanya langsung membesar.
Julian muncul dengan nampan di tangan, wajahnya tenang namun dingin. Ia berjalan mendekat tanpa banyak kata, lalu meletakkan nampan itu di meja kecil di antara kursi. Aroma susu cokelat hangat langsung tercium, bercampur wangi brownies.
Rumi terdiam, jantungnya kembali berdebar.
“Apa … ini?” Suaranya nyaris berbisik.
Julian menegakkan tubuhnya, tatapannya lurus pada Rumi. “Susu cokelat hangat. Dan brownies. Saya buatkan untukmu.” Nada suaranya tenang, tapi dingin, seakan sedang menyampaikan hal biasa saja.
Rumi tersentak. “Buat … saya?”
Julian mengangguk sekali. “Sebagai permintaan maaf. Tentang apa yang terjadi di kamar tadi.”
Suasana seketika hening. Hanya suara dedaunan berdesir yang menemani. Rumi menunduk, jemarinya meremas ujung rok panjang yang ia kenakan.
“Saya … tidak tahu harus berkata apa,” gumamnya.
Julian menarik kursi di seberang, lalu duduk dengan posisi tegak. Ia tidak menunjukkan ekspresi hangat, namun matanya tajam penuh ketegasan. “Saya hanya ingin meluruskan. Tidak ada niat saya untuk mencium atau … melakukan hal yang membuatmu salah paham. Itu murni kecelakaan.”
Rumi menggigit bibir bawahnya. Ia tahu benar, insiden tadi memang tidak disengaja. Tapi rasa malu dan luka masa lalunya membuat ia bereaksi berlebihan.
“Saya marah pada diri saya sendiri,” katanya pelan. “Bukan hanya pada Bapak. Saya merasa … lengah. Saya tidak ingin … ada yang mengira saya sengaja menggoda Bapak.”
Julian mengamati wajahnya, kemudian mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dengar baik-baik. Saya tidak menuduhmu menggoda. Saya juga tidak pernah menaruh niat terselubung padamu, Rumi.”
Nada dingin itu menegaskan, tapi justru membuat dada Rumi semakin sesak. Ia menoleh, menatap permukaan kolam yang berkilau.
“Bapak bilang begitu … tapi bagaimana dengan orang lain? Bagaimana kalau mereka salah paham melihat … kedekatan ini?” Suaranya tercekat. “Saya sudah kehilangan segalanya. Suami saya, anak saya … saya tidak ingin kehilangan harga diri juga.”
Julian menatapnya lama. Ada getaran aneh di dadanya mendengar kepedihan itu, tapi wajahnya tetap kaku.
“Saya masih punya istri,” katanya akhirnya, suaranya berat tapi jelas. “Tisya. Meski dia koma, dia tetap istriku. Saya tidak berniat selingkuh, apalagi denganmu.”
Kata-kata itu menampar hati Rumi. Ia mengangguk kecil, meski matanya berkaca.
“Baik. Kalau begitu … saya tenang mendengarnya.” Ia menoleh pada Julian, sorot matanya serius. “Saya ingin memastikan, Bapak tidak keberatan saya jadi pelayan pribadi. Karena saya … tidak ingin ada yang mengira saya mencoba mengambil kesempatan.”
Julian menahan tatapannya. Lalu ia menjawab tegas, “Kamu dipekerjakan karena masalah suamimu, bukan karena hal lain. Jadi kerjakan tugasmu, tanpa perlu memikirkan apa yang tidak-tidak.”
Ada jeda panjang setelah kalimat itu. Rumi menunduk, menghela napas berat.
“Saya sudah menutup hati saya, Pak. Tidak ada lagi ruang untuk siapa pun …,” bisiknya lirih. “Sekarang hidup saya hanya tentang bertahan, melanjutkan hari.”
Julian terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menimbulkan perasaan asing yang tak ingin ia akui. Ia menegakkan punggungnya, kembali menjaga ekspresi dingin.
“Kalau begitu, jangan menangis di hadapan orang lain. Itu hanya membuatmu terlihat lemah,” ucapnya.
Rumi menoleh, sempat ingin membantah. Tapi saat melihat tatapan dingin itu, ia hanya bisa menghela napas. “Saya akan ingat itu Pak.”
Julian berdiri, merapikan kausnya yang agak kusut. “Minum susunya sebelum dingin. Brownies juga … makanlah. Kamu butuh tenaga kalau mau bertahan. Dan, jangan lama-lama di luar, nanti kamu masuk angin.”
Rumi mematung. Ia tidak menyangka pria sedingin itu masih sempat memikirkan tenaganya. Namun sebelum ia bisa berterima kasih, Julian sudah melangkah pergi, meninggalkan aroma aftershave yang samar tertiup angin malam.
Ia hanya bisa menatap punggung tegap itu menghilang ke balik pintu kaca.
Di dalam mansion, suasana makin terasa tegang. Para maid saling berbisik, heran melihat Tuan Julian sendiri yang membawa nampan ke teras. Ada aura aneh yang membuat mereka tak berani mendekat.
Nia yang baru turun dari kamar bayi sempat menatap ke arah teras, melihat Rumi masih diam di kursi dengan cangkir di tangan. Ia bisa merasakan hawa berat yang menyelimuti malam itu, meski tidak tahu pasti apa yang terjadi.
Di kamarnya sendiri, Julian duduk di tepi ranjang, menatap kosong pada foto pernikahan di nakas. Tatapan Rumi, tangis yang ia tahan, kata-katanya yang penuh luka—semua berputar dalam kepalanya.
Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, ia merasa terganggu oleh sesuatu yang tak bisa ia kendalikan: hatinya sendiri.
***
Rumi akhirnya menyeruput susu cokelat itu perlahan. Kehangatannya merambat ke tenggorokan, sedikit menenangkan hati yang resah. Ia menggigit sepotong brownies, meski selera makannya belum sepenuhnya kembali.
“Aku cuma pekerja … hanya pekerja …,” ulangnya pada diri sendiri, seakan meneguhkan hati.
Namun di lubuk terdalam, ada sesuatu yang bergolak. Ia benci mengakuinya—bahwa dinginnya Julian, justru membuat ia merasa dilihat, diperhatikan, meski hanya sebatas seorang majikan pada pekerjanya.
Malam itu, swimming pool memantulkan cahaya lampu seperti permukaan kaca. Tapi bagi Rumi, hati dan pikirannya sama sekali tidak jernih.
Dan bagi Julian, kamar luasnya terasa lebih dingin dari biasanya.
Suasana mansion pun tetap tegang, seolah menyimpan rahasia yang tak seorang pun berani ungkapkan.
Bersambung ... ✍️
Ooh derry dimana k engkau...