Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Pejuang Cahaya Kebenaran
Suara dzikir itu seperti retakan kecil di tengah keheningan neraka.
Pelan. Namun menggetarkan.
"Laa ilaaha illallah... Laa ilaaha illallah..."
Disusul lantunan ayat-ayat suci yang terdengar seperti gema dari masa yang terlupakan.
"Alif Laam Miim... Dzaalikal kitaabu laa raiba fiih...
"Hudal lil muttaqiin..."
Langit yang menghitam terasa berguncang. Suara itu datang dari kejauhan, melintasi pepohonan mati, reruntuhan rumah desa, dan lorong dimensi yang telah remuk oleh kebangkitan iblis.
Sosok itu akhirnya terlihat.
Langkahnya mantap. Ia mengenakan Bhist hijau lusuh yang tertiup angin kotor dari medan perang spiritual ini. Kufiya yang melilit leher dan bahunya pun berwarna hijau
zamrud. Sebuah masker hitam menutup setengah wajahnya, menyisakan mata yang bersinar penuh keyakinan. Di dadanya tertulis lafaz "Haqq", dan di bagian belakang bhist-nya — tertera jelas dalam huruf Arab:
"الـمـجـاهـد" — Al-Mujahid.
Di pinggangnya tergantung pedang panjang bermata dua yang dibungkus sarung kulit tua. Tak ada aura sihir. Tapi ada getar ilahi yang tidak dimiliki siapa pun di tempat ini.
Kelima anggota Mystic Guard yang masih tercekik... mulai bereaksi.
Mata Asvara melebar. Meski napasnya tercekat, ia bisa merasakan hawa... suci. Sesuatu yang bahkan tak ada dalam kekuatan sihir leluhur.
Hellhowl yang tadinya bergulat dengan cakar dan napas terakhirnya, kini hanya bisa memandangi sosok itu dengan rasa... takut dan kagum bersamaan.
Yama dalam wujud omega-nya mulai melambat, aura brutalnya terganggu oleh kehadiran ini. Nafas garangnya berubah jadi dengkuran bingung.
Sasmita, meski masih setengah membentengi Taki yang terkapar, menatap sosok itu dengan hati waspada. Tapi bahkan indra silumannya tak mampu membaca siapa dia.
Taki yang masih lemah, hanya bisa menatap dari balik pelindung kabut astral. "Siapa... dia?" bisiknya nyaris tak terdengar.
Nyai Rante Mayit menghentikan tawanya.
Sosoknya yang sebelumnya diselimuti aura iblis kini berdiri diam.
Di sekelilingnya, ratusan makhluk astral mulai resah. Beberapa memekik. Beberapa bergetar. Bahkan mayat-mayat bangkitannya mundur satu langkah.
"Siapa kau, yang melangkah ke tanah ini tanpa rasa takut..." suara Nyai Rante Mayit gemetar, bukan marah — tapi terkejut.
Sosok itu masih berjalan pelan. Tanpa kata. Hanya dzikir yang terus terlantun dari lisannya.
Dan jauh di dimensi palsu...
Ningsih membuka matanya.
Suara itu...
Suara itu masuk ke dalam dimensi Taki.
"Laa ilaaha illallah..."
Air matanya mengalir deras.
Ia berdiri pelan, tubuhnya lemas. Tapi dia tahu... ada sesuatu yang berubah.
Ada seseorang... yang datang.
Seseorang yang tidak dikenal oleh siapa pun. Tapi membawa ketenangan yang belum pernah ia rasakan selama hidup.
"Siapa... dia...?" bisik Ningsih dengan suara pecah.
Lalu ia kembali berlutut, kali ini bukan karena lemah, tapi karena harapannya tumbuh kembali.
Sementara itu...
Al-Mujahid berdiri tepat di tengah desa Gunung Jati yang kini telah menjadi neraka dunia. Ia berhenti.
Tangan kirinya menyentuh gagang pedang.
Tangan kanannya menggenggam tasbih kayu kecil.
Angin berhenti.
Makhluk-makhluk gaib menjerit tanpa sebab.
Dan untuk pertama kalinya... Nyai Rante Mayit merasa... tidak berkuasa.
Kabut kematian masih menyelimuti desa Gunung Jati. Udara penuh bisikan arwah dan bau busuk tanah yang digali paksa. Ratusan makhluk astral berdiri mengelilingi pusat kehancuran, siap menerkam siapa saja yang mencoba mendekat.
Namun semua itu tidak berarti apa-apa bagi sosok berjubah hijau yang berdiri tak lebih dari tiga langkah dari iblis tertua tanah Jawa: Nyai Rante Mayit.
Langkahnya berhenti, tepat di tengah arena maut.
"Wahai yang menyebut namanya Raras Sukesi..."
Suaranya dalam, lirih, namun bergetar sampai ke akar-akar gaib yang merambat di bawah bumi.
"Engkau bukan dewi. Bukan leluhur. Dan bukan pula ibu bagi siapa pun. Kau adalah fitnah zaman, sisa kutukan yang ingin menyatu dengan darah manusia. Tapi hari ini... cukup."
Nyai Rante Mayit menyipitkan matanya, bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang tidak mengandung belas kasihan sedikit pun.
"Lelaki bersorban... berani sekali kau bicara dengan bahasa langit. Tapi tak ada Tuhan di tempat ini. Hanya aku dan dunia sungsangku."
Al-Mujahid mengangkat tangan kanan perlahan.
Tak terlihat apa pun. Tapi... di kejauhan, kelima anggota Mystic Guard yang lehernya dicekik oleh kekuatan gelap... tiba-tiba terlepas.
"HAAAGH!!"
Hellhowl terjatuh sambil memegangi tenggorokannya.
Asvara langsung mundur, wajahnya pucat dan terkejut.
Sasmita memeluk Taki yang masih setengah sadar.
Yama menggeram rendah, setengah sadar dalam wujud manusia-siluman.
Mereka semua... terlepas.
Padahal tidak ada satu pun sihir terlihat dari Al-Mujahid.
"Apa yang kau lakukan...?!" bentak Nyai Rante Mayit. Aura hitam meledak dari tubuhnya.
Tangan-tangan halus dari alam sungsang keluar dari balik punggungnya, menjulur seperti akar pohon beringin. Makhluk-makhluk gaib di sekitarnya meraung keras, mencoba mengepung.
Namun tak satu pun berani menyentuh Al-Mujahid.
Ia melangkah satu langkah maju.
Tasbih di tangan kirinya bergetar.
"Dengan nama Allah yang memegang langit dan bumi... Aku datang bukan sebagai penyelamat. Tapi sebagai saksi bahwa kebenaran tak akan padam oleh sihir sekuat apa pun."
Langit menggelegar.
Kilatan petir tanpa suara menyambar jauh di atas awan hitam.
"Kau pikir ayat-ayat sucimu bisa melawan arwah leluhur yang aku bangkitkan?! Mereka menguburku hidup-hidup!" teriak Nyai Rante Mayit dengan wajah penuh luka kebencian.
"Aku adalah ibu dari kematian. Tidak ada dzikir atau doa yang bisa menyentuhku!"
Al-Mujahid tetap tenang.
Ia mencabut pedang dari sarungnya.
Cahaya hijau muda berpendar lembut dari mata pedang itu, bukan terang seperti kilat... tapi hangat, menusuk ke dalam.
"Inilah Saif Al-Haqq. Pedang Kebenaran. Ia tidak memancung kepala manusia. Tapi membelah kabut antara hak dan batil."
Makhluk-makhluk astral berteriak, terbakar oleh cahaya pedang itu.
Nyai Rante Mayit sendiri mundur setengah langkah.
Untuk pertama kalinya...
Dia takut.
Sementara itu di realitas palsu...
Ningsih terduduk lemas. Tapi saat dzikir dan lantunan ayat mulai menguat, realitas itu perlahan... retak.
CRAAK!
Retakan seperti kaca menyebar di udara semu.
"Allahu akbar..." bisik Ningsih sambil menangis.
"Tolong aku..."
Kembali di medan nyata.
Kelima anggota Mystic Guard kini bisa berdiri kembali, meski masih lemas.
Asvara berbisik ke Sasmita, "Dia siapa...?"
Sasmita menggeleng. "Bukan dari kita. Tapi dia... benar-benar membawa cahaya."
Hellhowl mencengkeram gitar-axenya, masih bingung, matanya merah menyala, "Ini... bukan kekuatan biasa."
Yama mendesis rendah, "Dia... bukan manusia biasa. Bukan paranormal. Tapi bukan iblis juga."
Nyai Rante Mayit menggeram.
"Jika kau pikir bisa menghentikan aku... silakan. Mari kita uji siapa yang pantas menulis ulang dunia ini!"
Dan pertempuran sesungguhnya... akan segera dimulai.