Aku seorang gelandangan dan sebatang kara, yang hidupnya terlunta-lunta di jalanan, setelah ibuku meninggal, hidup yang penuh dengan kehinaan ini aku nikmati setiap hari, terkadang aku mengkhayalkan diriku yang tiba-tiba menjadi orang kaya, namun kenyataan selalu menyadarkanku, bahwa memang aku hanya bisa bermimpi untuk hidup yang layak.
Namun di suatu siang bolong, saat aku hendak menata bantal kusam ku, untuk bermimpi indah tiba-tiba, ada segerombolan pria berpakaian rapi, mereka menyeretku paksa, tentu saja hal seperti ini sudah biasa, aku kira aku kena razia lagi.
Dan ternyata aku salah, aku dibawa ke rumah yang megah dan di dudukan di sofa mewah berlapis emas, karena terlalu fokus pada kemewahan rumah itu.
Tiba-tiba saja aku adalah anaknya, dan besok aku harus menikah dengan duda beranak satu yang tak bisa bicara, untuk menggantikan kakakku yang kabur.
Ayo baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vie Alfredo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Tanpa pamit
Kembali pada waktu sekarang.
Divon menemui Hamis dan meminta untuk di uruskan keberangkatannya ke Singapura untuk berobat.
Ya bagaimana pun caranya agar bisa terlihat dia berhasil mengembalikan suaranya dan bisa mengungkapkan semuanya dengan mudah pada musuh - musuhnya.
Dia harus menuntaskan semua kerumitan yang ada.
Divon berangkat begitu saja, tanpa berpamitan dengan ibu , istri dan anaknya.
Dia hanya menyadari kebodohan dirinya yang percaya akan cinta, semua orang saja tahu, tapi hanya dirinya yang tidak tahu karena kebodohannya.
Dia mengabaikan ucapan orang - orang yang mengatakan Lenard sangat mirip dengan Vania, pantas saja wajah Vania juga terasa tidak asing dan menenangkan karena rupanya memang mirip dengan Harun setelah dia sadari.
Meskipun Dia bertengkar hebat namun arti persahabatan itu tidak hilang dari benak Divon, semua karena dia egois ingin memiliki Laura dengan cara apapun.
Dan menggunakan kesempatan yang ada untuk memiliki Laura.
" Bodohnya aku ini." ujar Divon.
" Aku tidak perlu tes DNA, aku tahu dia anakmu, aku hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan anakku adalah anakmu, dan istriku adalah adikmu satu ayah." gumam Divon.
Benang merah yang mengikatnya sangat rumit.
" Tuan, tuan muda dan Nyonya tidak salah, mereka justru korban dari keegoisan orang tua mereka." ujar Hamis.
Benar saja, ayah Harun juga egois menjalin kasih dengan cinta pertamanya dulu, dan kesalahan itu diulangi oleh Harun.
Vania dan Lenard adalah korban keegoisan mereka.
" Ya Hamis aku sedang ingin sendiri."
Setelah Hamis pergi, Divon menangis sejadi-jadinya, dia salah dia juga egois, dia mengambil kesempatan untuk memiliki Laura di saat Harun sedang terhimpit.
Jadi begini rasanya dikhianati ya.
Dalam hati Divon.
Divon berada di Singapura selama 6 bulan dengan dalih pengobatan pita suaranya.
Meskipun sebenarnya Vania dan Lenard tahu itu hanya sebuah drama yang sedang diperankan oleh Divon.
Dan sebenarnya pun Divon sedang mengobati hatinya yang sangat terluka, antara tersakiti dan mungkin menerima sebuah karma.
Sekarang dia malah hidup berdampingan dengan hasil dari sebuah karma itu.
Divon tidak membenci Vania maupun Lenard, karena logikanya masih bisa dia kendalikan meskipun hatinya masih belum siap menerima kenyataannya.
Divon masih mengupayakan untuk berdamai dengan hati dan pikirannya selama 6 bulan di Singapura.
Sementara itu, Vania yang belum tahu kenyataannya sedikit bingung dengan kelakuan Divon yang pergi begitu saja tanpa berpamitan.
"Charles, apa Divon marah karena aku mudah di suap dengan coklat?" tanya Vania.
" Pffft, kakak ipar masih memikirkan itu?, memang sih Divon tidak suka siap menyuap, tapi anda kan juga berhak tahu meskipun anda ini tidak masuk dalam rencana, namu kakak ipar justru sebuah peran yang ikut terseret karena identitas kakak' ipar." ujar Charles.
" Apa dia pergi selama ini, tidak pamit dan tidak berkabar, jadi aku merasa bersalah." ujar Vania.
" Sebentar lagi Divon kembali, dia kan harus bermain peran dengan totalitas." Charles menenangkan Vania.
" Ini setengah tahun, apa itu waktu sebentar?" tanya Vania.
" Iya kan juga, kita tunggu saja dia kembali." Ujar Charles.
Dan Lenard pun beberapa kali menangis karena merindukan papahnya.
Vania juga sangat kesal, boleh saja dia marah pada dirinya, tapi kenapa dia juga tidak menghubungi anaknya sekali pun.
Tapi Vania juga tidak mau terlarut dalam kesedihannya, dia pun menyibukkan diri dengan mendirikan rumah pelatihan untuk anak-anak gelandangan yang dibantu oleh Ruben dan juga Luwis.
Karena memang itu adalah Ide yang diwujudkan oleh Luwis.
Di Singapura.
" Tuan, ini kegiatan nyonya selama 6 bulan ini, nyonya mendirikan rumah pelatihan, dibantu oleh Ruben dan Luwis." ujar Hamis melapor.
" Siapa?" Tanya Divon.
" Ruben dan Luwis tuan." jawab Hamis bingung.
" Apa mereka tidak tahu kalau aku ini hanya pergi sementara bukan selamanya, tampaknya mereka sangat biasa saja tanpa aku, setelah ada Vania Lenard juga tidak begitu rewel." Ujar Divon.
"Tuan, tapi tuan muda terus menangis karena merindukan anda." ujar Hamis.
Divon hanya diam, dia memandangi foto Lenard dari pertama lahir , dia mulai mengoceh, tengkurap, merangkak, berdiri dan berjalan ke arahnya sambil memanggil Papah.
Air mata Divon mengalir begitu saja.
" Kau tahu Hamis, aku sangat mencintai Lenard, saat aku tahu dia terlahir dengan sangat menggemaskan, makhluk kecil itu menangis sambil menggenggam jariku, dengan mata indah yang jernih, jemari-jemari yang lemah dan kecil, dia seperti keajaiban, aku melimpahkan semua cintaku pada anakku itu yang tidak pernah kucurigai sama sekali darahnya." Divon mengusap wajahnya dengan kasar.
" Apa sekarang anda tidak mencintainya lagi?" tanya Hamis.
" Dia tetap anakku Hamis, itu tidak akan merubah cintaku padanya, karena aku yang membesarkan anak itu." tegas Divon.
" Anak itu sifatnya mirip aku bukan?" tambah Divon.
" Iya Tuan, lalu bagaimana dengan nyonya?" Hamis memang suka banyak tanya, itu bukan karena dia kepo, itu agar tuannya mengungkapkan semuanya agar beban dihatinya tidak di pendam sendiri.
" Vania, dia juga tidak bersalah, dia istriku dia juga adik sahabatku aku akan menjaga dan melindunginya, hanya itu yang bisa aku lakukan." ujar Divon.
" Apakah andai akan menceraikan nyonya?" tanya Hamis lagi.
" Hamis, kau ini kenapa?" Divon tersadar jika Hamis terus mengorek isi hatinya.
" Saya sangat senang ada nyonya di kediaman Sandreas, yang tadinya rumah itu sangat dingin tanpa kehangatan, sekarang sudah mulai hangat, nyonya selalu melakukan hal yang lucu dan saya sebagai orang anda saya mengakuinya sebagai nyonya saya." Ujar Hamis berkata jujur.
" Rupanya kau juga sudah jatuh padanya juga Hamis." ujar Divon.
" Heheh, saya pikir dia anak yang naif, melakukan pernikahan ini hanya untuk hidup enak dan menghambur - hamburkan uang sesuka hati, karena kebanyakan orang yang mendadak kayak kan seperti itu menurut saya ." Ujar Hamis.
" Hem, apa dia tidak menghamburkan uang?" Divon tidak memperhatikan sampai ke sana.
" Tidak Tuan, nyonya selalu mengeluarkan uang untuk hal-hal seperlunya saja, sangat sederhana, meskipun nyonya bukan wanita yang bisa melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang, dia hanya bisa melakukan hal-hal kecil, seperti senam bersama dengan para pekerja, lalu makan-makan 2 Minggu sekali dengan pekerja, bermain ke Playground bersama tuan muda, namun hal itu sangat berdampak positif bagi orang - orang disekitarnya." ujar Hamis senyam-senyum sendiri mengingat kelakuan Vania.
Tiba-tiba Divon tertawa lepas, benar juga yang dikatakan oleh Hamis anak itu memang suka melakukan hal yang sia-sia.
" Dia juga membuat kita hampir mati masal karena masakannya." sahut Divon tertawa.
" Apa anda tidak rindu dengan nyonya dan tuan muda Tuan ?" tanya Hamis.
" Hem, bohong kalau aku bilang tidak, namun kenyataan pahit itu sedikit menggoyahkan hatiku Hamis, bisakah aku membersamai mereka setelah kenyataan itu aku ketahui." Ujar Divon.