Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Salah Rumah
"Pak, bagaimana caranya kita bisa tinggal di rumah ini? Ini terlalu penuh dan sesak," ucap Ratna tampak kebingungan.
Robin menarik tangan Ratna. "Please, jangan panggil aku 'pak' lagi. Kita ini sudah menikah."
"Ah, lalu harus panggil apa? Abang apa Mas?" canda Ratna.
"Kamu nyamannya dengan apa?"
Ratna terlihat merenung sejenak. "Suami pertama dan kedua kupanggil 'mas." Ratna kembali melirik pria di sampingnya.
Robin mengernyitkan wajah. "Aku tak mau disamakan dengan mereka. Panggil aku Abang aja," ucapnya memainkan rambut putihnya itu.
Ratna mengangguk kecil. "Baik lah, Abang ..."
Robin tergelak pelan, sedikit geli dengan pilihan itu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
'Terima aja, Robin. Itu kan permintaanmu sendiri,’ batinnya sambil tersenyum canggung.
Rumah kecil tipe 36 itu tampak terlalu mewah untuk ukuran mereka. Sofa kulit cokelat tua menyambut tepat di hadapan pintu. Di bawahnya, karpet tebal membentang, menenggelamkan langkah kaki. Lemari pajangan berisi keramik antik bersaing tempat dengan meja makan bergaya modern minimalis. Vas bunga segar menghiasi sudut, dan aroMa terapi menyeruak dari lilin kecil yang menyala temaram.
Pemandangan ini membuat Ratna terdiam di ambang pintu.
“Abang…” Ratna menatap Robin dengan ekspresi tak percaya. “Ini sebenarnya rumah siapa?”
Robin menutup pintu pelan, menguncinya sambil mengumpat dalam hati dan menyalahkan kelakuan Wirya yang kelewat niat.
“Ah, tentu saja ini rumah kita." Robin sendiri merasa tak yakin.
Ratna menoleh perlahan. “Tapi ini terlalu mewah, dan semuanya tak baru, bahkan sendoknya masih terbungkus plastik.”
Robin menggaruk pelipisnya. Mencoba mencari alasan yang mungkin bisa masuk akal dengan cepat.
"Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu sendiri kan, keseharianku ini hanya sebagai driver ojek online. Sebenarnya rumah ini bukan dari hasil keringatku sepenuhnya."
"Rumah ini diberikan oleh sahabatku. Katanya aku telah banyak menolongnya. Sekarang dia sudah sukses dan menjadi orang penting. Sebagai balas jasa, dia memberikan rumah ini kepadaku," ucapnya lagi bersiap dengan pertanyaan baru yang mungkin muncul.
Ratna mendengarkan dengan seksama. Ia masih merasa itu sesuatu yang tak masuk akal. "Beneran begitu?"
Robin mengangguk patuh beberapa kali.
"Baik sekali temanmu ya, Bang?"
Robin tersenyum kikuk melebarkan senyuman hingga membuat semua gigi putih dan rapinya terlihat dengan jelas.
"Rumah ini terlalu sesak, Bang. Tapi, mau gimana lagi. Rumah ini pemberian sahabatmu. Rezeki kan gak boleh ditolak. Ya, kita terima saja, kan, Bang," Ratna mencoba bersikap lapang dada sambil melirik perabot mahal yang tampak kontras dengan kehidupan mereka.
Robin menarik napas lega. "Iya, pelan-pelan kita tata ulang. Kalau kamu nggak suka karpetnya, buang aja. Mau diganti alas plastik pun juga boleh," godanya.
Ratna tertawa kecil. “Alas plastik bunga mawa itu ya Bang?”
“Warna hijau aja. Biar matching sama jaket kebesaran dan kesayanganku,” balas Robin santai.
Ratna meringis, lalu duduk di tepi sofa. “Wah, ini empuk banget. Bisa langsung tidur di sini meski ga ada kasur.”
“Kalau kamu tidur di sofa, aku tidur di mana dong?” Robin menjongkok di depannya.
“Di lantai,” canda Ratna sambil menoyor pelan bahu Robin.
Mereka tertawa bersama, sejenak melupakan semua misteri yang membungkus tempat itu. Namun, dalam hati Ratna masih bergemuruh dipenuhi tanda tanya.
Ia bangkit dan membuka pintu salah satu kamar. Ruangan itu tampak begitu rapi, seperti belum pernah dihuni. Sprei putih membentang sempurna tanpa kerutan, lemari besar berdiri megah di sisi dinding, dan di atas meja rias, tergantung sebuah lukisan klasik yang jelas terlihat mahal.
Kamar itu terasa penuh bukan karena barangnya banyak, tapi karena semuanya terlihat terlalu mewah untuk ukuran rumah sekecil ini. Di pojok atas, sebuah pendingin ruangan mengilap tanpa noda, sepertinya benda itu baru saja dipasang di sana.
“Bang...” panggilnya pelan.
Robin datang menghampiri. “Kenapa lagi?”
“Bang, aku rasa kita salah rumah. Atau mungkin temanmu sedikit kurang akal, mau memberikan semua ini padamu?"
Robin terdiam sebentar. “Mungkin, dia memang niat ngadoinnya full paket. Mungkin dia tahu aku akan menikah, jadinya ... ya dikasih bonus."
Ratna mengangguk. Setengah percaya, setengah tidak. Tapi wajahnya masih jelas menyiratkan rasa penasaran yang ia coba untuk redam.
“Udah, yuk. Ganti baju, istirahat. Besok kita belanja bahan dapur. Aku udah nggak sabar merasakan pijatan lembut dari tanganmu," ucap Robin mencoba mengalihkan pikiran Ratna.
Robin menarik tangan Ratna, mengajaknya duduk di atas ranjang yang super empuk itu. Begitu tubuhnya menyentuh kasur, Ratna langsung menggoyangkan badan ke kanan dan kiri, wajahnya berseri-seri seperti anak kecil menemukan bantal baru.
"Empuk banget," ucapnya sambil tertawa kecil.
Robin tersenyum, lalu mengusap pipi Ratna dengan lembut. Tangannya yang lain meraih ikat Rambut Ratna dan perlahan melepaskannya. Rambut hitam legam itu langsung terurai, sebagian jatuh dan menempel di pipi yang mulus meski garis senyum mulai terlihat jelas.
Ratna mengerjap beberapa kali, lalu menatap Robin sambil mengangkat alis. "Bang… kita ini belum mandi, lho."
Robin terkekeh kecil. Tangannya masih membelai lembut rambut Ratna. Ia menunduk perlahan, jarak wajah mereka semakin dekat, napas hangatnya terasa di kulit Ratna.
Robin semakin mendekatkan wajahnya, terfokus pada bibir yang terlihat menggoda untuk dicicipi. Ketika bibir itu saling bertemu, sebuah nada dering asing terdengar memecahkan suasana yang hampir saja mempererat mereka.
Ratna sontak menoleh ke arah sumber suara. Sebuah ponsel berdesain mahal tergeletak di meja kecil di sudut kamar. Ratna terdiam. Ia tak tahu suaminya memiliki ponsel seperti itu.
Robin buru-buru berdiri, meraih ponsel tersebut dan menatap layarnya. Ekspresinya berubah tegang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia langsung melangkah keluar kamar.
"Bang? Siapa?" tanya Ratna pelan, tapi Robin sudah lebih dulu menghilang di balik pintu kamar.
Ratna memandangi pintu yang tertutup rapat. Hening. Bahkan suara langkah kaki Robin sudah tak terdengar setelah pintu bagian luar terbuka lalu tertutup lagi.