ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: Dua Jiwa Menuju Rumah yang Sesungguhnya
Angin pagi bertiup pelan, mengayunkan tirai putih yang menggantung di sepanjang sisi teras vila. Laut membentang luas di hadapan mereka, biru dan tenang, dengan burung-burung camar melintas rendah di atas permukaan air.
Di meja sarapan yang disusun dengan rapi, aroma kopi dan roti panggang mengisi udara. Buah-buahan tropis ditata dalam mangkuk rotan, dan suara halus alat makan beradu menjadi musik latar yang lembut bagi percakapan mereka.
Elina duduk menyamping, rambutnya masih setengah basah, mengenakan gaun santai warna putih gading. Tatapannya menatap laut, namun telinganya sepenuhnya tertuju pada Adrian yang kini duduk di depannya, menyisip kopi dengan tenang.
"Setelah liburan ini," ucap Adrian, suaranya rendah namun terdengar jelas, "kita akan pindah ke rumahku. Rumah pribadi, bukan kediaman keluarga Leonhart."
Elina menoleh, keningnya mengerut pelan.
"Di sana hanya akan ada satu pengasuh dan satu pelayan tetap. Tapi kalau kau tak nyaman, kita bisa memberhentikan mereka."
Elina diam sejenak, memikirkan tawaran itu. Ia membayangkan ruang yang lebih tenang, lebih pribadi, hanya dia, Claire, dan Adrian. Ia tidak terlalu suka dilihat terlalu dekat oleh orang lain. Bahkan ketika tersenyum pun, ada hal-hal yang ia ingin simpan hanya untuk dirinya sendiri.
"Aku setuju kalau... tidak perlu ada pengasuh atau pelayan," katanya akhirnya. "Aku lebih nyaman begitu. Tapi mungkin aku akan sedikit kewalahan."
Adrian mengangguk pelan. "Itu sebabnya aku ingin kau tahu, kau tidak perlu memaksakan diri. Jika kau merasa harus berhenti bekerja, kau bisa melakukannya."
Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sebuah kartu dari dompet kulitnya, berwarna hitam pekat, dengan logo emas kecil di sudutnya, dan meletakkannya di meja, dekat piring Elina.
"Elina, ini kartumu. Gunakan untuk semua keperluanmu. Kebutuhan bulanan, pakaian, bahkan jika kau ingin belanja hal-hal yang tak penting sekalipun."
Elina menatap kartu itu dengan sorot mata rumit. Ia tidak menyentuhnya. Hanya menatap seolah itu adalah sesuatu yang berat, bukan ringan.
"Aku menghargainya," katanya pelan. "Tapi... aku ingin tetap bekerja."
Adrian mengangkat alis sedikit, lalu tersenyum samar. "Baik. Tapi aku tetap akan mengirim uang setiap bulan. Kau bisa abaikan kalau tidak mau memakainya. Dan ambillah ini!" sambil kembali menyodorkan kartu itu kepada Elina.
Awalnya Elina tampak ragu, namun akhirnya ia mengalah... ia mengambil kartu, "Aku akan menggunakannya dengan bijak!"
Adrian menggeleng pelan, "Tidak perlu... gunakan itu, habiskan jika perlu!" berbicara dengan mimik wajah yang serius.
Dan akhirnya Elina tertawa singkat, "Baiklah Tuan Leonard, aku akan menggunakan ini hingga sisa terakhir!" sambil menggoyangkan kartu pelan, lalu menyuap sepotong mangga ke mulutnya.
Adrian kembali bersandar. Pandangannya kali ini lebih ringan. "Ngomong-ngomong... kau bisa menyetir?"
Elina terlihat berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Belum pernah. Tidak ada kesempatan."
Adrian meneguk kopinya, lalu menatapnya dalam. "Kalau begitu, aku akan daftarkan kau ke kursus. Hanya agar kau punya kebebasan untuk pergi kapan pun dan ke mana pun tanpa harus bergantung pada siapa pun."
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Atau, kalau kau lebih nyaman dengan supir pribadi, aku bisa siapkan itu juga."
Elina tersenyum kecil, ekspresi lembut yang seperti terbit bersama matahari pagi. "Aku akan coba belajar. Sepertinya menyenangkan menyetir sambil mendengarkan musik sendiri... tanpa penumpang."
Adrian tertawa tipis. "Kedengarannya seperti caramu melarikan diri dari dunia."
"Mungkin," Elina menoleh, mata mereka bertemu. "Tapi sekarang, sepertinya aku tidak lagi ingin lari sejauh itu."
Untuk sesaat, keheningan kembali menyelimuti mereka. Tapi kali ini bukan karena canggung. Melainkan karena rasa saling mengerti yang perlahan tumbuh, seperti akar pohon kecil di tanah basah, diam, namun pasti.
...****************...
Matahari telah cukup tinggi ketika Adrian menawarkan untuk berjalan-jalan menjelajah pulau. Elina sempat ragu, tapi tatapan teduh dan sikap tenang Adrian membuatnya mengangguk.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berpasir yang membelah rimbun dedaunan tropis. Dahan-dahan kelapa bergoyang di atas kepala, dan burung-burung eksotis bersahutan dari kejauhan. Elina mengenakan topi jerami dan gaun ringan, sementara Adrian menggulung lengan kemejanya, menyamakan langkah dengannya tanpa terlihat memimpin.
Mereka tidak banyak bicara di awal perjalanan, hanya saling menatap sesekali, lalu tertawa kecil saat langkah mereka nyaris bertabrakan. Waktu berjalan lambat di pulau ini. Segala yang biasanya rumit terasa... tak terlalu penting.
Di tepi sebuah laguna kecil yang tersembunyi, airnya jernih dan berkilau diterpa matahari, Adrian berhenti. Ia duduk di atas batu besar dan menepuk sisi kosong di sebelahnya.
Elina ikut duduk, menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. "Tempat ini... terlalu indah untuk nyata."
"Kadang yang terlalu indah justru membuat kita takut," gumam Adrian. "Takut bangun dan menyadari semuanya hanya mimpi"”
Elina menatapnya sekilas. "Kau takut juga?"
Adrian tersenyum, tapi matanya jujur. "Aku takut kehilangan sesuatu sebelum aku benar-benar tahu bagaimana cara menjaganya."
Mereka duduk dalam diam setelah itu. Tak ada yang perlu dijelaskan. Diam mereka bukan kekosongan, melainkan kedekatan yang baru mulai mengakar.
Menjelang malam, angin laut bertiup lebih sejuk. Mereka kembali ke vila, mandi, dan mengenakan pakaian bersih yang nyaman. Elina memilih duduk di beranda, membiarkan kakinya menggantung di sisi dek kayu, sementara cahaya lampu gantung temaram menyinari wajahnya.
Adrian menyusul tak lama kemudian, membawa dua gelas minuman lemon dingin. Ia menyerahkan satu pada Elina lalu duduk bersandar di tiang penyangga, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit.
"Aku tahu ini bukan pernikahan seperti di novel," katanya tiba-tiba. "Bahkan kita tidak benar-benar... memilih satu sama lain."
Elina menunduk, menggenggam gelasnya dengan dua tangan. "Tapi kita ada di sini."
Adrian menoleh padanya, menatap wajahnya yang diterangi cahaya lembut dari vila.
"Dan setiap hari... aku merasa lebih ingin memilihmu," ucapnya pelan.
Kata-kata itu menggantung di udara. Elina tidak langsung menjawab. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang melembut, seperti tirai yang sedikit terbuka, memperlihatkan ruang dalam yang lama tersembunyi.
"Mungkin... kita memang tidak memulai dengan cara yang biasa," bisiknya. "Tapi aku tidak ingin terus merasa seperti ini hanya sekadar kewajiban. Aku ingin merasakannya. Ingin mempercayainya."
Adrian mendekat, duduk di sebelahnya. Mereka sama-sama menatap laut yang gelap, berkilau seperti permukaan cermin pecah.
"Kalau begitu... izinkan aku membuatmu percaya. Bukan dalam sehari. Tapi perlahan, dengan cara yang bisa kau terima."
Elina menoleh. Wajah mereka hanya berjarak beberapa jari. Dalam cahaya malam dan semilir angin, mereka tampak seperti dua orang asing yang baru saja bertemu... dan dua orang lama yang telah saling mengenal seumur hidup.
Lalu ia bersandar ke bahu Adrian, tanpa kata.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, tanpa sandiwara, tanpa tekanan, tanpa perintah dari siapa pun, mereka benar-benar merasa seperti pasangan.
Bukan karena kontrak. Bukan karena nama belakang yang sama.
Tapi karena... ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.
Sesuatu yang nyaris tak berwujud, tapi nyata.
...****************...
Hari-hari berikutnya di pulau itu seperti potongan waktu yang tidak terburu-buru. Tak ada jadwal, tak ada tekanan. Hanya mereka, laut, langit, dan sisa-sisa sunyi yang pelan-pelan diisi dengan sesuatu yang baru.
Di pagi hari, mereka sering berjalan kaki menyusuri pantai yang masih lembap oleh embun. Elina, dengan rambut yang dibiarkan tergerai, mulai terbiasa menggenggam lengan Adrian tanpa canggung. Mereka akan duduk di ayunan rotan besar, bersandar berdua, mendengarkan ombak yang tak henti menyentuh pasir.
Siang harinya, Adrian mengajak Elina memasak bersama. Dapur vila sederhana tapi cukup lengkap. Elina sempat tertawa saat Adrian mencoba memotong bawang dan akhirnya menyerah karena matanya berair. Mereka makan di teras, kadang bersuap-suapan kecil tanpa sadar, kadang hanya duduk bersisian sambil bercerita tentang hal-hal sepele, film yang pernah ditonton, makanan masa kecil, atau kejadian memalukan di sekolah.
Malam harinya, mereka duduk di pinggir kolam renang, kaki terendam air hangat. Elina mulai terbiasa dengan keheningan di antara mereka, bukan keheningan yang membekukan, tapi yang memeluk. Kadang mereka hanya mendengarkan musik, berbagi earphone, tanpa satu kata pun, tapi hati mereka merasa penuh.
Pada suatu sore yang mendung, mereka sempat bersepeda mengelilingi sisi pulau. Elina mengayuh perlahan, tertawa kecil saat Adrian menyusul dan pura-pura menyalip dengan gaya kompetitif. Hujan gerimis turun, membasahi rambut dan pakaian mereka, tapi mereka tetap mengayuh, tertawa dalam basah dan kebebasan yang langka.
Hari terakhir datang seperti desir angin yang tiba-tiba terasa dingin.
Matahari belum tinggi saat Elina berdiri di ambang kamar, memandangi koper-koper yang mulai penuh. Baju-baju dilipat rapi, sandal pantai sudah dikemas, topi jerami tergantung di sisi koper.
Adrian masuk sambil membawa dua cangkir kopi. Ia mendekat, memberikannya pada Elina tanpa berkata apa-apa. Mereka duduk di tepi tempat tidur, memandangi jendela yang menghadap ke laut—pemandangan yang sebentar lagi hanya akan jadi ingatan.
"Tempat ini," ucap Elina pelan, “terasa seperti mimpi yang benar-benar terjadi.”
Adrian menoleh padanya, matanya lembut. "Maka biarlah itu jadi fondasi yang nyata. Bukan sekadar mimpi."
Elina tersenyum kecil. "Awalnya aku pikir semua ini akan jadi semacam pertunjukan. Pernikahan di atas kertas. Tapi…"
"Tapi?" suara Adrian nyaris berbisik.
"Tapi ternyata aku bisa jatuh tenang di sampingmu. Bukan karena aku harus, tapi karena aku ingin."
Adrian menggenggam tangannya perlahan. "Kita tidak perlu buru-buru memberi nama pada semua ini. Tapi aku berjanji akan menjaganya. Apa pun bentuknya nanti."
Mereka saling menatap. Tidak ada janji manis. Tidak ada deklarasi cinta besar. Tapi ada kesepakatan diam-diam di antara mata mereka, untuk tumbuh perlahan, untuk memilih satu sama lain, hari demi hari.
Saat mobil datang menjemput mereka di depan vila, Elina menoleh sekali lagi. Laut masih sama, langit masih biru, tapi ada rasa yang tak sama lagi di dadanya.
Ia menggenggam tangan Adrian erat, bukan karena takut, tapi karena ia tahu: tempat itu telah menjadi titik awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar kontrak.
Mereka mungkin tiba sebagai dua orang asing yang terikat kesepakatan.
Tapi mereka pulang sebagai dua jiwa yang mulai membuka pintu menuju rumah yang sesungguhnya: tempat di mana perasaan, perlahan, mulai menemukan akar.
Dan pulau itu... akan selalu menjadi saksi awalnya.