Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil Pemeriksaan
Suasana di dalam kamar VVIP-203 masih diliputi ketenangan ketika seorang perawat mengetuk pintu perlahan. Miranda yang tengah mengelus lembut lengan menantunya dan Arsen yang sedang duduk bersandar, semua menoleh secara bersamaan.
Perawat itu melangkah masuk setelah Arsen membukakan pintu. Wajahnya tenang namun tampak membawa pesan penting.
“Permisi,” ucapnya sopan. “Pak Arsen, dokter Andra meminta Anda untuk menemuinya di ruangan beliau. Hasil pemeriksaan sudah keluar barusan”
Arsen mengangguk singkat, menoleh pada Anita lalu ke arah ibunya yang segera memahami maksud dari tatapan tersebut.
“Aku akan menemui dokter sebentar. Mama, bisa tolong temani Anita dulu?” pintanya pelan.
Miranda tersenyum tenang dan mengangguk. “Tentu, Nak. Pergilah. Mama akan di sini sampai kau kembali.”
Arsen melirik sejenak ke arah Anita yang masih memandanginya.
“Papih….”
Arsen mendekat, membungkuk untuk mengecup kening istrinya dengan penuh kasih,
“Tidurlah selagi aku keluar”
Kemudian melangkah mengikuti perawat yang menunjukkan jalan.
Mereka menyusuri lorong rumah sakit menuju lantai administrasi medis. Lorong yang berbeda dari lorong observasi, lebih sunyi, dengan aroma antiseptik yang lebih kuat dan cahaya putih terang dari lampu-lampu neon di langit-langit. Perawat berhenti di depan pintu berlabel "Ruang Dokter – dr. Andra, SpOG," lalu mempersilakan Arsen masuk setelah mengetuk.
“Silakan,” kata suara dari dalam, lembut namun jelas terdengar.
Arsen membuka pintu perlahan. Di dalam, dokter Andra duduk di balik meja kerjanya yang tertata rapi, mengenakan jas putih dengan papan nama tergantung di dada kirinya. Ia mempersilakan Arsen duduk di kursi depannya dengan isyarat tangan yang sopan.
“Silakan duduk, Pak Arsen.”
“Terima kasih, Dokter,” balas Arsen, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan.
Dokter Andra membuka map berwarna biru muda yang berada di atas meja, berisi seluruh rangkaian pemeriksaan Anita, termasuk hasil ultrasonografi dan laporan laboratorium terbaru.
Sebelum masuk ke pembahasan utama, dokter Andra memulai dengan beberapa pertanyaan ringan.
“Apakah sebelumnya istri Anda pernah melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan atau klinik?” tanyanya tenang.
Arsen menggeleng. “Belum, Dokter. Ini pertama kalinya karena dia merasakan gejala yang cukup berat. Sebelumnya, kami hanya mengandalkan hasil testpack.”
“Jadi, Anda menyimpulkan bahwa istri Anda hamil hanya berdasarkan testpack?” tanya dokter kembali, nadanya masih ramah namun mulai menunjukkan urgensi.
“Benar, Dokter. Kami melakukan dua kali pemeriksaan mandiri di rumah, dan dua-duanya menunjukkan hasil positif. Garis dua,” jawab Arsen perlahan, suaranya menurun di akhir kalimat.
Dokter Andra mengangguk pelan. Ia menutup mapnya sesaat, lalu menyandarkan punggung pada kursi dan menautkan jemarinya.
“Testpack memang sering menjadi langkah awal deteksi kehamilan, namun perlu Anda pahami bahwa hasil testpack tidak selalu berarti adanya kehamilan yang sehat dan berkembang,” ucapnya tenang.
“Maaf dok. Sebelumnya bukan karena saya tak ingin membawa istri saya untuk memeriksakan kandungannya, namun istri saya pernah memiliki pengalaman buruk terhadap seorang dokter, jadi dia belum berani untuk bertemu ahli medis”
“Begini pak Arsen, hal itu diluar dari pembahasan saya. Jika istri anda memang pernah memiliki trauma maka itu adalah tugas psikolog bukan dokter seperti saya. Tapi yang saya harus garis bawahi disini adalah soal pemeriksaan, saya pikir dugaan awalnya ibu Anita hanya terkena hiperemesis gravidarum karena anda mengatakan dengan sangat yakin jika istri anda tengah hamil. Tapi, garis dua bisa muncul karena kadar hormon kehamilan—HCG—yang meningkat. Namun peningkatan hormon itu bisa disebabkan oleh beberapa hal lain.”
Arsen mengernyit. Sebuah rasa tak nyaman mulai menyelinap dalam hatinya.
“Maksud Dokter?” tanyanya perlahan.
Dokter Andra kembali membuka map biru itu, lalu menunjukkan salah satu lembar hasil laboratorium dan gambar ultrasonografi. Arsen melihatnya sekilas, namun tidak benar-benar memahami maknanya. Ia menatap dokter dengan sorot mata penuh tanya.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan ultrasonografi dan laboratorium,” lanjut dokter Andra dengan nada hati-hati namun lugas, “kami menemukan indikasi kuat bahwa istri Anda tidak mengalami kehamilan normal. Ini yang secara medis kami sebut sebagai mola hidatidosa, atau lebih dikenal masyarakat sebagai Hamil Anggur”
Jantung Arsen seperti terhenti sesaat. Kata-kata itu terdengar asing namun terasa berat. Ia pernah mendengarnya, samar-samar dari cerita orang, namun tak pernah menyangka akan mendengarnya dalam konteks istrinya sendiri.
“Hamil… anggur?” ulangnya, hampir berbisik. “Apa maksudnya, Dok?”
Dokter Andra menyesuaikan duduknya, lalu mulai menjelaskan lebih dalam dengan suara penuh empati.
“Hamil anggur adalah kondisi di mana terjadi pertumbuhan jaringan abnormal dalam rahim. Pada dasarnya, terjadi kegagalan dalam proses pembuahan—tidak ada janin yang berkembang. Sebagai gantinya, yang tumbuh adalah jaringan plasenta abnormal yang berbentuk seperti sekumpulan anggur kecil—tumor jinak yang bisa sangat berbahaya jika tidak segera ditangani.”
Arsen menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. “J-jadi… tidak ada janin di dalam kandungannya??!”
“Benar” jawab dokter dengan pasti namun tetap lembut. “Kandungan yang dimiliki ibu Anita bukanlah janin hidup, melainkan jaringan sel abnormal yang berkembang sangat cepat. Ini bisa menimbulkan komplikasi serius—perdarahan hebat, infeksi, bahkan dalam beberapa kasus bisa berubah menjadi kanker jika tidak segera ditangani.”
Kepala Arsen berdenyut. Pandangannya menjadi kabur, seolah seluruh dunia di sekelilingnya memudar. Ia menunduk, menggenggam kedua tangannya erat di pangkuan, mencoba menghentikan gemetar yang mulai menyergap tubuhnya.
“Lalu… apa yang harus dilakukan?” tanyanya dengan suara serak.
“Kami harus melakukan tindakan kuretase segera untuk membersihkan jaringan abnormal tersebut dari rahim ibu Anita. Semakin cepat dilakukan, semakin kecil risiko komplikasi lanjutan. Setelah tindakan itu, ibu Anita juga harus menjalani pemantauan berkala untuk memastikan bahwa kadar HCG-nya kembali normal dan tidak ada sisa jaringan yang tertinggal.”
Arsen terdiam cukup lama. Matanya kosong, seolah tak mampu mengolah kenyataan pahit yang baru saja diterimanya. Anak yang mereka harapkan… bukan anak. Bahkan bukan janin. Hanya jaringan yang tumbuh akibat kesalahan pembuahan.
“Apakah… apakah istri saya tahu tentang ini?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Saya belum menyampaikannya secara langsung,” jawab dokter Andra. “Saya ingin berbicara dengan Anda lebih dahulu. Saya memahami bahwa kabar ini sangat mengguncang, dan saya ingin Anda siap mendampingi ibu Anita ketika kami harus menjelaskan hal ini padanya.”
Arsen termenung, walau masih terlihat linglung, Ia mencoba berbicara, namun suaranya tercekat. Ia hanya mampu berkata singkat, “Saya mengerti…”
Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa detik yang terasa seperti seabad. Arsen merasa seperti sedang melayang, pikirannya berkecamuk—antara rasa kecewa, takut, dan keinginan untuk tetap kuat.
“Bolehkah saya… kembali ke kamar?” tanyanya pelan.
“Tentu,” jawab dokter Andra, berdiri dari kursinya. “Dan tolong beri tahu saya kapan Anda siap. Kita bisa berbicara bersama ibu Anita kapan pun Anda rasa waktunya tepat. Tapi saya tidak terlalu lama, sehingga operasi pengangkatan tumor bisa dilakukan sesegera mungkin”
Arsen mengangguk kali ini, lalu bangkit dari kursi dengan gerakan kaku. Ia berjalan keluar ruangan dokter seperti robot, langkahnya lambat dan berat, seolah setiap gerakan adalah perjuangan.
Lorong yang tadi dilaluinya bersama perawat kini terasa lebih sunyi, lebih sempit. Cahaya lampu terasa menyilaukan, dan suara-suara samar rumah sakit—derit roda brankar, langkah kaki petugas—terdengar jauh di telinganya.
Namun dia tidak kembali ke kamar inap istrinya, Arsen justru berbelok ke arah lain yang mana semakin menjauh dari tempat Anita berada.
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.