Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 : Terdiam tak Berdaya
“Apa masalahmu, Tuan Rogers?” Emilia memperlihatkan raut tak suka karena Hardin menyebutkan nama lengkapnya.
“Kenapa? Bukankah itu namamu?” balas Hardin tenang.
“Kau tahu aku sudah menikah. Nama belakang suamiku adalah Olsen.”
“Kau yakin akan tetap memakai nama belakang itu?”
“Apa maksudmu?”
Hardin menaikkan sebelah alis, lalu tersenyum samar. “Seperti yang kau katakan tadi. Aku mengetahui banyak hal.”
“Kau terlalu sok tahu,” cibir Emilia ketus.
“Sok tahu. Namun, yang jelas aku selalu memastikan kebenaran setiap laporan yang masuk.”
Emilia mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Hardin, sambil melipat tangan di dada. “Apakah aku begitu mengganggumu, Tuan Rogers?”
“Ya.”
Emilia langsung membuang muka, mendengar jawaban lugas yang Hardin berikan. Demi mengurangi rasa jengkel, dia memilih melihat-lihat setiap ruangan di sana.
“Di sini ada dua kamar tidur utama. Namun, mendiang kakekku membuat mezzanine. Kau bisa memakainya untuk kamar Blossom.”
Emilia melihat ke atas, lalu mengangguk. “Di mana kamar mandinya?”
Hardin menunjuk ke bagian paling belakang. “Kau ingin melihatnya?”
Emilia menggeleng. “Tidak usah. Lain kali saja,” tolaknya, seraya menoleh ke sebelah kanan, yang merupakan dapur. Dia melangkah masuk ke sana.
Seperti ruangan lain. Dapur itu juga hampir seluruhnya bernuansa kayu sehingga menghasilkan aroma khas alam yang sangat menenangkan. “Dapur ini lebih luas dibandingkan milik ibu mertuaku,” ucap Emilia. “Apa kau belum memasang lampu di sini?” tanyanya, seraya menoleh kepada Hardin, yang berdiri di ambang pintu.
“Sudah, tapi ada sedikit masalah. Akan kusuruh orang untuk memperbaikinya sebelum kalian pindah,” jawab hardin, kemudian berjalan menghampiri Emilia.
“Aku suka ruangan dengan jendela besar seperti itu.” Emilia mengarahkan perhatian pada jendela kaca, yang membuat ruangan tidak terlalu gelap. Pasalnya, pantulan cahaya lampu dari luar, menerobos masuk lewat jendela itu sehingga membuat suasana jadi temaram.
“Jendela itu bisa dibuka. Sirkulasi udara akan lebih baik ketika kau memasak,” terang Hardin.
“Bagus sekali. Ini rumah yang nyaman. Aku menyukainya. Siapa yang merancang bangunan ini?” tanya Emilia, seraya menyandarkan sebagian tubuh pada counter kitchen.
“Aku,” jawab Hardin penuh percaya diri.
“Yang benar saja.” Emilia menanggapi dengan nada tak percaya.
“Kenapa? Apa aku terlihat meragukan bagimu?”
Emilia menggeleng. “Apakah ada orang yang pandai dalam segala hal?”
“Ada. Orang itu sedang berdiri di hadapanmu,” ujar Hardin enteng.
Seketika, Emilia tertawa renyah mendengar ucapan pria dengan rambut sedikit acak-acakan itu. Dia tak tahu apa yang lucu, tetapi merasa terhibur.
Sesaat kemudian, tawa Emilia perlahan memudar, menyadari Hardin yang menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. “Kenapa?” tanya wanita dengan mantel abu-abu itu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya berusaha untuk tidak mengakui ini,” jawab Hardin, tanpa mengalihkan pandangannya.
“Mengakui apa?”
“Mengakui bahwa kau sangat cantik, tapi menjengkelkan.”
Emilia langsung melayangkan tatapan protes. Namun, itu tidak berlangsung lama karena tersadar bahwa malam sudah makin larut.
“Aku harus segera pulang,” ucap Emilia, hendak berlalu dari hadapan Hardin.
Namun, tiba-tiba Hardin menahan dengan cara meletakkan tangannya di sisi kiri dan kanan Emilia, membuat wanita itu terkurung. “Kebiasaan burukmu adalah pergi sebelum perbincangan usai,” ucap Hardin, pelan dan dalam.
“Perbincangan apa lagi? Bukankah masalah tanah sudah selesai?” Emilia bersikap sok tenang. Padahal, ada debaran tak menentu dalam dada, yang sulit untuk dikendalikan.
“Ini bukan tentang urusan tanah.”
“Lalu?”
Hardin terdiam, tanpa mengalihkan pandangan dari Emilia.
“Jangan menatapku seperti itu,” protes Emilia pelan.
Namun, Hardin tidak menggubris. Dia justru makin mendekat, memangkas jarak dengan Emilia. “Katakan padaku,” pintanya, setelah terdiam beberapa saat. “Apakah ada sesuatu yang benar-benar kau inginkan saat ini?”
“Aku tidak tahu.”
“Bagaimana mungkin kau tidak tahu apa yang dirimu inginkan?”
“Aku hanya sedang membiasakan diri, untuk membatasi dari segala keinginan.”
“Kenapa?”
“Karena aku takut kecewa.”
Hardin terdiam sejenak, barulah menanggapi jawaban Emilia. “Kau dikecewakan harapan yang terlalu besar”
Emilia menggeleng pelan. “Kenapa kita harus membahas ini? Kau ingin membuatku terganggu?”
“Tentu saja tidak.”
“Lalu?”
“Sebaliknya,” ucap Hardin pelan dan dalam.
Emilia kembali menggeleng, diiringi sorot tak mengerti. “Aku harus pulang sekarang.”
“Kau sengaja datang menemuiku.”
“Ya, tapi bukan untuk membahas hal konyol seperti ini.”
Hardin menggumam pelan. “Bagaimana kau bisa berpikir bahwa aku akan membiarkanmu bertindak sesuka hati? Kau memanjat pagar pembatas area peternakan. Apakah seperti itu caramu bertamu?”
“Kau tidak mempermasalahkan itu, sewaktu kita masih berada di dekat pintu gerbang,” protes Emilia.
“Aku melihat kau sangat ketakutan sehingga yang terlintas dalam pikiranku hanya ingin menolongmu," kilah Hardin.
“Omong kosong,” cibir Emilia.
“Ya. Ini hanya omong kosong. Sama seperti yang kau lakukan selama ini.”
Emilia menautkan alis karena tak mengerti. “Apa maksudmu?”
Hardin tak langsung menjawab. Dia tersenyum kalem, seraya makin mendekat sehingga benar-benar tak ada jarak antara dirinya dengan Emilia. “Kau pikir aku tidak bisa membaca bahasa tubuhmu? Apa yang membuat Blossom mengatakan bahwa kau bergerak seperti cacing saat mandi?”
“Sudah kutegaskan, dia hanya mengada-ada!” bantah Emilia penuh penekanan, meski dengan suara cukup pelan. “Lagi pula, jika tak ada lagi hal penting yang ingin kau katakan …. Biarkan aku pergi.”
“Bagaimana jika aku menolak permintaanmu?”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?”
“Aku ingin kau tetap di sini.”
“Jangan gila!”
Emilia berusaha mendorong Hardin agar menjauh. Namun, tenaganya tidak cukup kuat. Dia justru makin terkunci dalam kungkungan pria itu.
“Lepaskan aku, Tuan Rogers! Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri dengan melakukan ini padaku.”
“Memangnya, kau tahu apa yang akan kulakukan padamu?”
Emilia yang awalnya berontak, langsung terdiam mendengar pertanyaan itu. Apakah dia terlalu percaya diri?
“Jangan khawatir. Aku tidak serendah itu. Aku menyukai timbal balik. Simbiosis mutualisme. Jadi, jika kau tidak menghendakinya, maka aku tak akan memaksa, meskipun aku tahu kau sangat menginginkan itu.”
“Jangan sok tahu.”
Hardin tersenyum kalem. Tatapannya tampak berbeda kali ini. Begitu lembut dan penuh arti, terasa benar-benar memanjakan hati.
“Aku tahu, kau bukan tipikal wanita yang mudah tergoda. Entah bagaimana caramu membentengi diri. Aku hanya penasaran, sekuat apa seorang Emilia Patricia dalam ….” Hardin seperti sengaja menjeda kalimatnya. Dia menatap lekat, lalu tiba-tiba membelai lembut pipi Emilia.
“Berani sekali kau menyentuhku!" protes Emilia.
“Ingat wajah ini baik-baik, Emilia. Laporkan aku pada ibu mertuamu. Katakan bahwa Hardin Rogers sudah berani menyentuh serta ….”
Emilia tersentak. Dia terbelalak sesaat. Namun, makin lama sorot matanya kian sayu, hingga akhirnya terpejam. Wanita itu tak berdaya. Terdiam karena dibungkam oleh ciuman dari seorang Hardin Rogers.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..