“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Jadi Pion atau Target?
Suara detik jam dinding terdengar nyaring di ruang kerja Arka yang sunyi. Malam telah larut, namun ketegangan di ruangan itu belum juga reda. Laras duduk di kursi, berhadapan langsung dengan Arka, sementara Ira berdiri di samping jendela.
Arka membuka map cokelat di tangannya, lalu meletakkannya perlahan di atas meja, tepat di hadapan Laras. Gerakannya tenang, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan—semacam empati yang dibalut kemarahan yang belum sepenuhnya padam.
“Aku sudah menyerahkan semuanya ke pengacara,” kata Arka, suaranya dalam, dingin, namun tegas. “Semua bukti yang kamu kumpulkan, Laras. Sudah masuk proses.”
Laras menunduk, menatap map itu. Tangannya gemetar saat menyentuhnya.
“Foto-foto editan yang dijadikan senjata untuk mengancammu,” lanjut Arka. “Bukti transfer palsu, email rekayasa, bahkan laporan keuangan yang dibuat seolah-olah kamu menyalahgunakan dana klien.”
Ira sontak membalikkan badan. “Itu—itu semua... Edward?”
Arka mengangguk. “Semua berasal dari satu sumber.”
Laras menahan napas. Jemarinya mencengkeram erat map itu. Ia tak berani membuka isinya. Ia tahu, apa yang tertulis di dalamnya akan menyayat lebih dalam dari semua yang telah ia alami.
“Aku juga sudah serahkan rekaman CCTV dari rumah Edward,” ujar Arka. Kali ini, suaranya menegang. “Semua interaksi kalian terekam. Termasuk saat dia mengancammu… dengan kata-kata yang—” Rahangnya mengatup, menahan amarah yang menggelegak. “Yang cukup untuk menjerat dia atas kekerasan psikis.”
Laras mulai menangis. Ia tak sanggup lagi menahan perih yang menggumpal di dadanya. “Aku... aku cuma ingin dia berhenti... aku cuma ingin dia keluar dari hidupku…”
“Dia tidak hanya menyakitimu, Laras,” kata Arka pelan, tapi tegas. “Dia sudah melukai terlalu banyak orang.”
Laras terdiam.
Ruangan tenggelam dalam keheningan.
Ira menatap Arka, alisnya berkerut. “Apa maksudmu?”
Arka menghela napas panjang, lalu menarik selembar kertas dari saku map—bukti Edward melakukan bisnis ilegal, dan salinan laporan kecelakaan empat tahun lalu. Ia meletakkannya di atas map yang belum sempat Laras buka.
“Dia menjual barang palsu,” ujar Arka perlahan. “Dan dia menabrak seseorang hingga koma karena kelalaiannya saat berkendara.”
Tubuh Laras menegang. Bibirnya gemetar.
“Polisi kehilangan jejaknya waktu itu karena pelaku mengganti identitas. Nama aslinya: Edwin Raharja.”
“Edwin…?” Laras mengulang lirih, menatap Arka seolah tak percaya. “Tunggu... kau bilang… Edward itu…”
“Ya,” Arka menatapnya lurus. “Edward adalah Edwin.”
Laras tersentak. Dunia seolah runtuh di kepalanya. Ia berdiri mendadak, kursinya terjungkal ke belakang.
Bayangan Edward mengusap bibirnya perlahan kembali muncul dalam benaknya. Gerakan itu terasa familiar, seolah ia pernah melihat kebiasaan itu di tempat lain—pada pria lain. Dan sekarang Laras ingat, ia pernah melihat Edwin melakukannya... saat mereka berada di ruangan Bayu, ketika Bayu masih koma.
“Tidak... Tidak!” ia berteriak. “Kau bohong! Itu nggak mungkin!”
Ira menghampirinya, berusaha meraih bahunya, tapi Laras menepisnya.
“Selama ini aku—aku… aku menikahi pria yang membuat Bayu koma? Aku dan Boni berjuang untuk biaya perawatan Bayu. Boni bahkan hampir kehilangan rumahnya. Dan dia? Dia cuma kabur? Ganti nama? Menyiksaku secara mental, mengancamku dengan fitnah-fitnah itu...!?”
Laras jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya bergetar hebat. Air mata mengalir deras, tapi sorot matanya tidak padam—justru kini menyala dengan amarah membara.
“Dia bukan manusia... Dia monster.”
Ira mengernyit. "Bayu? Maksudmu pria yang ditabrak Edward itu... Bayu?"
Laras mengangguk tanpa kata.
Ira tak bertanya lebih jauh. Tapi dari kata-kata Laras, dan reaksinya saat tahu Edward adalah pelaku kecelakaan Bayu, ia tahu Bayu bukan orang biasa bagi Laras.
Arka bangkit dari duduknya, lalu berlutut di samping Laras. Tangannya menyentuh bahu gadis itu dengan lembut, penuh rasa lindung.
“Aku janji, Laras,” bisiknya, seperti sebuah sumpah. “Kali ini dia nggak akan lolos. Kamu nggak sendiri lagi.”
Laras menatap Arka. Tatapan mereka bertemu—dan untuk pertama kalinya, Laras melihat ketenangan di dalamnya. Sebentuk keberanian yang selama ini hilang dari dirinya.
“Terima kasih…” bisiknya lirih. “Terima kasih, Kak Arka…”
Namun jauh di lubuk hatinya, Laras tahu, perang ini belum usai.
Karena ketika kebenaran dibuka, luka lama ikut menganga.
Dan dendam yang telah lama ditahan…
Akhirnya punya wajah.
***
Lantai tertinggi sebuah gedung.
Ruang kerja Edward dibungkus ketenangan semu, namun udara di dalamnya tebal oleh tekanan. Lampu gantung redup. Jendela besar menghadap ke kota yang mulai tenggelam dalam malam.
Edward duduk diam. Bahunya kaku, satu tangan memegang gelas kristal berisi bourbon yang tak disentuh sejak dua puluh menit lalu. Punggungnya bersandar ke kursi eksekutif kulit hitam. Tapi pikirannya jauh dari sini.
Pintu diketuk. Sekali. Lalu terbuka perlahan.
“Tuan,” ucap suara laki-laki, tenang namun terdengar seperti sedang menahan napas.
Ronald, sekretarisnya. Pria paruh baya berdasi gelap, wajahnya tertahan ragu.
Edward tidak menoleh. “Masuk. Bicara.”
Ronald menelan ludah. Map hitam di tangannya tampak berat—bukan karena isi fisiknya, tapi karena isi laporannya.
Ia berjalan ke meja, meletakkannya pelan. “Proses perceraian dengan Ny. Laras... mengalami percepatan.”
Edward masih tak menanggapi.
Ronald melanjutkan, “Hakim menyetujui permintaan tim kuasa hukumnya untuk mempercepat sidang. Mereka membawa bukti valid, Tuan. Rekaman, pernyataan psikolog, surat tekanan mental, serta... perjanjian awal yang dianggap cacat hukum karena unsur paksaan.”
Hening.
Edward menghembuskan napas panjang. Matanya masih tak berpaling dari jendela. Tapi cengkeraman di gelas bourbonnya semakin erat. Kaca itu bergetar.
“Laras benar-benar menggigit.” Suaranya rendah, dalam, seperti suara ancaman yang merayap dari dalam perut bumi.
Ronald membuka lembar kedua. Suaranya makin berat.
“Dan... ada tambahan laporan dari pihak kejaksaan.”
Edward akhirnya menoleh. Matanya menajam, menusuk.
“Lanjutkan.”
Ronald ragu sejenak. Tapi tak punya pilihan.
“Mereka berhasil menghubungkan identitas lama Anda—Edwin—dengan beberapa transaksi ilegal di masa lalu. Termasuk aktivitas bisnis gelap saat Anda masih menggunakan nama itu. Perusahaan cangkang. Pengalihan dana. Saksi-saksi lama mulai bicara.”
Gelas bourbon pecah dalam genggaman Edward.
Ronald terlonjak, namun tetap berdiri.
Darah menetes dari tangan Edward. Tapi ia tak peduli. Tatapannya menyala. Napasnya berat.
“Mereka menggali terlalu dalam.”
Ia berdiri, menatap Ronald lurus-lurus. Suaranya datar, tapi setiap kata seperti bom waktu.
“Siapkan tim legal. Buka semua rekam jejak Laras. Kontak semua koneksi lama. Pastikan satu celah saja bisa kita jadikan palu.”
“Dan soal tuntutan?” Ronald memberanikan diri bertanya.
Edward berjalan perlahan ke jendela. Bayangannya membentang seperti monster di kaca.
“Kita tarik mundur semua laporan atas nama Edwin dari sistem. Kalau perlu... musnahkan saksi. Bungkam mulut yang mulai bicara.”
Ronald mengangguk pelan. Tapi matanya menyiratkan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
“Baik, Tuan.”
Saat Ronald keluar dan menutup pintu rapat-rapat, tangannya masih gemetar. Suara klik dari kunci otomatis membuat jantungnya berdegup lebih keras, seolah menegaskan satu hal:
Ia baru saja keluar dari kandang harimau... dan mungkin tidak akan masuk kembali dengan selamat.
Di balik pintu itu, Edward—atau Edwin—berdiri sendiri dalam bayangan. Tangan kirinya berdarah, meneteskan merah ke lantai marmer. Tapi bibirnya melengkung ke atas. Senyum yang tak membawa kehangatan—melainkan ancaman.
Perang baru saja dimulai.
Sedangkan di luar, Ronald diam sejenak di koridor sunyi. Hanya suara kipas pendingin yang mengisi hening. Map hitam masih di genggamannya, tapi yang berat kini adalah pikirannya.
"Jika dia jatuh... aku ikut hancur bersamanya."
Ia mengembuskan napas panjang, mencoba tenang, namun gagal. Setiap rahasia yang ia ketahui tentang Edward lebih tajam dari peluru. Dan semakin hari, Edward terlihat semakin tak terkendali.
"Tapi jika aku pergi... jika aku buka suara—aku tahu apa yang akan terjadi."
Bayangan wajah rekan-rekannya yang dulu “menghilang” perlahan-lahan mengambang dalam pikirannya. Semua yang pernah membelot, semua yang pernah mencoba melawan. Tak satu pun ditemukan kembali.
Ronald menatap pintu di belakangnya. Di balik sana, sosok yang dulu ia kagumi kini berubah menjadi monster yang tak ragu mengoyak siapa pun yang dianggap pengkhianat.
Ia melangkah pelan, menyusuri lorong dengan kepala penuh pilihan. Tetap tinggal dan jadi pion... atau kabur dan jadi target.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
pantesan dicari sampe lubang semut gk ketemu ternyata ganti identitas🤔
selidiki dulu siapa Laras sebenarnya jangan kamu membenci tanpa mengenalnya,Laras itu baik sudah rela berkorban demi anakmu waktu koma, seharusnya kamu membalas semua kebaikannya bukan malah membencinya
Sherin, darma & istrinya semoga dapat ganjaran setimpal.