Kenzo awalnya adalah siswa SMA biasa, namun karena pacarnya dibunuh, ia bangkit melakukan perlawanan, menggunakan belati tajam dan menjadi pembunuh berantai.
‘Srett…srett… srett… srett’
Remaja itu memenggal kepala setiap orang, dan Kepala-kepala itu disusun di ruang pribadi hingga membentuk kata mengerikan "balas dendam".
BALAS!
DENDAM!
Ruangan itu seolah seperti neraka yang mengerikan!
Kenzo dijebloskan ke penjara sejak saat itu! Di penjara, Kenzo, yang telah berlatih seni bela diri sejak kecil, bertarung melawan para pengganggu penjara dengan seluruh kekuatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Axel Yang Menyusul Pangeran Kael
Saat itu juga, delapan puluh satu narapidana hukuman mati mengeluarkan aura pembunuh yang dingin dan mengerikan, belum pernah ada yang menyamai sebelumnya. Pertarungan brutal yang barusan dipimpin Darah Elang membakar naluri bertarung paling liar dalam diri mereka. Mereka kini seperti sekawanan serigala kelaparan—tatapan mereka merah membara, dipenuhi semangat haus darah, seperti harimau gila yang mencium aroma mangsa.
Dengan teriakan yang mengguncang udara, mereka menyerbu ke depan seperti gelombang ganas yang tak tertahankan.
Pasukan sang Pangeran Kael, yang baru saja kehilangan tiga tokoh terkuatnya, sontak terpaksa mundur setengah langkah. Ketakutan telah menyelimuti mereka, apalagi setelah menyaksikan kebrutalan Kenzo dan kawan-kawannya. Putus asa merayap dalam dada mereka—karena meski mereka berhasil menumbangkan delapan puluh satu narapidana itu, apa gunanya? Tenaga mereka akan habis, dan tak akan mampu menahan keganasan Darah Elang beserta para algojo berdarah dingin lainnya. Kematian sudah jadi kepastian, dan melawan hanya akan menunda ajal... lima menit, atau bahkan lebih cepat.
Dari sisi lapangan, Kenzo dan para pengikutnya menyeringai sinis. Bagi mereka, musuh yang telah kehilangan semangat juangnya bukan lagi ancaman—meski itu para narapidana paling berbahaya sekalipun. Mereka hanyalah pecundang.
Menerima isyarat diam dari “Kayden”, Baron melangkah perlahan menjauh dari kerumunan. Ia mengabaikan pertempuran sengit yang pecah di sekitarnya, berjalan tenang ke sisi lain lapangan. Di sana berdiri seorang pria—mantan penguasa Gedung Timur—dengan tatapan kosong dan kehilangan arah.
Sebagian besar narapidana sadar akan kehadiran Baron, tapi tak ada satu pun yang berusaha menghentikannya. Mungkin mereka berpikir tak ada gunanya, atau kematian sang Pangeran Kael sudah tak bisa dihindari, sehingga diselamatkan atau tidak tak akan mengubah apa pun. Atau, bisa jadi mereka merasa kematian itu justru jadi bentuk pembebasan terakhir bagi sang Pangeran Kael, agar tak lagi harus menanggung ejekan dan kehinaan.
Baron berdiri di belakang sang Pangeran Kael. Ia tersenyum samar—senyum yang sulit diartikan. Mungkin, tak pernah terpikir oleh siapa pun bahwa penguasa Gedung Timur akan menemui ajal di tangan Baron, si pendekar tanpa nama besar.
Naik dan turunnya kekuasaan, seperti ombak, tak pernah berhenti bergulir. Di medan sekejam ini, tak ada kata belas kasihan bagi pihak yang kalah. Hanya kemenangan yang dipuja dan diingat.
Baron perlahan memegang kepala dan dagu sang Pangeran Kael.
Krak!
Suara tulang patah terdengar nyaring. Leher sang Pangeran Kael remuk seketika. Tubuhnya limbung, jatuh perlahan ke tanah begitu tangan Baron melepaskannya.
Mungkin, suara itulah penghormatan terakhir bagi kehidupan yang penuh kejayaan—dan juga kegilaan.
Dari kejauhan, Kenzo dan Harimau Gila, Gavien hanya menatap diam. Setelah kematian sang Pangeran Kael, mereka berbalik dan melangkah pergi menuju gerbang penjara tanpa sepatah kata.
Pertarungan berdarah itu berlangsung lebih dari setengah jam. Lapangan berubah jadi kuburan terbuka, penuh jasad dan anggota tubuh berserakan—semakin menambah noda merah di tempat yang dulu disebut “lapangan sepak bola.”
Tak ada pidato penutup. Tak ada ucapan kemenangan.
Di bawah pengawasan ketat lebih dari seribu penjaga bersenjata lengkap, para narapidana dari keempat Gedung berjalan pulang dengan tenang ke blok penjara masing-masing—seolah-olah yang baru saja terjadi hanya bagian dari rutinitas.
Ketika Axel, penguasa lantai satu, kembali ke selnya malam itu, dia mendapati sesuatu yang ganjil—pintu sel terbuka lebar, dan seorang tamu tak diundang tengah berbaring santai di atas ranjangnya, seolah-olah tempat itu miliknya.
Melihat sosok laki-laki itu, para pengikut Axel langsung mengepalkan tangan. Sorot mata mereka tajam, siap menyerang kapan saja. Namun, satu anggukan dari Axel membuat mereka menahan diri.
Dengan suara berat dan dalam, Axel bertanya, "Max, apa yang kau lakukan di wilayahku?"
Si Harimau Gila, Max, menoleh perlahan. Ia menatap Axel dengan tenang, tanpa gentar sedikit pun. “Masuklah. Kalau kau khawatir, suruh saja semua anak buahmu masuk juga. Aku tak keberatan.”
Axel tak langsung menjawab. Tatapannya mengunci mata Max. Lima menit ia terdiam, nyaris membatu di tempatnya. Tak seorang pun berani bersuara—baik pengikutnya maupun Max sendiri. Diam itu bukan keraguan. Itu pertimbangan dari seorang pemimpin yang tak bisa diprediksi langkahnya. Di balik sosoknya yang besar dan terlihat sederhana, Axel dikenal sebagai pribadi cerdas dan perhitungan. Kalau tidak, ia tak akan bertahan selama bertahun-tahun sebagai raja lantai pertama—tanpa ada satu pun yang berani menentangnya.
Akhirnya, ia bersuara.
“Kalian semua, keluar. Bersihkan lantai empat sekarang juga. Tak seorang pun boleh menginjakkan kaki ke lantai empat tanpa izinku. Kalau ada yang coba-coba, jangan salahkan aku kalau harus bertindak kasar!”
Anak buahnya sempat ragu. Tapi tatapan tajam dari Axel membuat mereka bungkam. Mereka bertukar pandang, lalu perlahan mengangguk dan meninggalkan tempat itu.
Begitu Axel melangkah mendekat, Max turun dari tempat tidur. Sorot matanya berubah. Aura pertempuran menyala dari tatapannya yang kemerahan, seperti api yang baru dipantik.
Axel berhenti sepuluh langkah darinya. Suaranya datar, tapi mengandung tekanan kuat.
“Dari caramu datang, sepertinya kau bukan datang untuk membujukku menyerah.”
Max menyeringai, menjilat sudut bibirnya perlahan. Tatapannya tajam, senyumnya memancarkan haus darah yang dingin.
“Kalau menurut perintah Saudara Kenzo, ya, aku seharusnya membujukmu. Dia ingin melihatmu. Mungkin, berharap kau bisa jadi bagian dari kekuatannya. Tapi dengan satu syarat—kau harus tunduk sepenuhnya, tanpa ragu, tanpa menyimpan niat lain. Jadi, soal membujuk atau tidak, itu sepenuhnya tergantung padaku.”
Axel mengerutkan dahi. “Kalau begitu, maksudmu berbeda dari perintah atasanmu. Darah Elang ingin aku bergabung, tapi kau lebih tertarik membunuhku. Apa itu artinya kau... punya niat sendiri?”
“Humph... Axel, kau tak perlu main-main dengan kata-kata.”
Max melipat tangan, lalu melangkah mendekat setapak.
“Sebelum kau mati, aku akan memberitahumu satu hal. Aku tidak percaya padamu. Aku tak yakin kau bisa tunduk dengan tulus. Dan aku tak mau Saudara Elang memiliki ancaman tersembunyi di sekitarnya. Terutama ancaman sepertimu—susah dikendalikan. Tapi aku bukan pengecut. Aku akan memberimu kesempatan.”
Ia mengangkat kepalan tangan kanannya.
“Lawan aku. Kali ini aku tidak akan menahan diri sedikit pun. Kalau kau bisa bertahan dari tanganku... maka aku akan pertimbangkan untuk menerimamu ke dalam Kelompok Darah Elang.”
Senyumnya berubah bengis.
“Tapi... jujur saja... kemungkinan itu hampir nol.”
Axel menatap lurus ke arah Max. “Apa semua ini ada gunanya?”
Harimau Gila hanya tertawa pelan, muram, tawa yang dingin dan menyesakkan. Ia perlahan menekuk satu tangan ke depan, sementara tangan lainnya diangkat pelan ke dada. Sekilas seperti gerakan tak berarti, namun dalam sekejap, seluruh aura tubuhnya meledak naik—tajam, garang, memancarkan niat membunuh yang begitu kental. Bahkan, di balik tekanan itu, terselip napas-napas sakral yang ganjil… seperti ada sesuatu yang melampaui dunia manusia bersemayam di dalamnya.
Axel mulai mengatur napasnya. Ia mengumpulkan seluruh tenaganya, siap untuk bentrokan besar.
Max mulai bergerak—langkah-langkahnya aneh, seperti tarian siluman. Terlihat lambat, namun dalam kenyataannya, tubuhnya bergerak begitu cepat dan tak terduga. Getaran samar merambat di setiap ruas ototnya. Bayangan-bayangan samar mulai melingkupinya, seolah-olah tubuhnya sedang berbaur dengan kegelapan.
Saat Axel menyipitkan mata untuk mengukur gerakan itu, tubuh Harimau Gila mendadak bergetar dan menerjang ke depan. Gerakannya seperti ilusi—bergerak kiri dan kanan secara bersamaan, membuat sosoknya seolah terbelah. Jarak sepuluh langkah seolah berubah jadi satu napas. Goyangan tubuh itu membuat pandangan Axel goyah seperti kamera rusak.
“Telapak Vajra!” raung Max lantang.
Dalam sekejap, kedua telapak tangannya menghantam ke depan seperti meteor menghantam bumi. Daya hancurnya menyapu segala udara di sekitarnya.
Axel, yang menatap telapak tangan itu yang tampak membesar tak wajar, merasa dadanya bergetar hebat. Tapi sebagai legenda pemukul besi, sang Raja Tinju Hitam tak pernah percaya pada tipu daya. Ia hanya percaya pada satu hal—dalam dunia pertarungan, satu kekuatan sejati bisa mengalahkan sepuluh ahli sekaligus!
Tanpa ragu, ia melontarkan dua pukulan penuh ke arah telapak tangan itu. Angin tinju yang mengaum menandakan kekuatan brutal dari tubuhnya. Inilah kekuatan yang telah menundukkan lantai demi lantai penjara selama bertahun-tahun.
Namun, justru saat tinjunya nyaris mengenai telapak lawan, bayangan itu... menghilang.
Axel bahkan tak sempat bereaksi ketika dua hantaman keras menyambar dadanya dari arah yang tak terlihat. Suara tulangnya berderak, darah menyembur dari mulutnya, dan tubuh besarnya yang hampir seberat satu kintal itu terhempas membentur gerbang besi di belakangnya, menghasilkan dentuman yang menyesakkan dada.
Max belum selesai. Dalam posisi unggul, ia mengayunkan kakinya, hendak menendang lawannya yang masih limbung. Namun kali ini, Axel sudah siap. Ia menghantamkan sikunya ke pagar di belakang, memanfaatkan pantulan kekuatan untuk melompat ke samping dan menghindar secara diagonal. Tubuhnya berhasil lepas dari lingkaran maut yang mengurungnya.
Tapi Harimau Gila seperti bukan manusia biasa. Ia melompat kembali, matanya menyala liar. Tendangan demi tendangan dilontarkannya—rute yang aneh, sudut yang tak lazim, secepat kilat dan sesulit dibaca. Ini adalah teknik kaki ciptaannya sendiri, dimurnikan dari bayangan Shaolin, yang bahkan sempat membuat Kenzo kewalahan dalam pertarungan sebelumnya.
Axel, sekuat apapun dia, perlahan mulai terdesak. Dia mencoba bertahan dengan kedua tangan, menahan lebih dari selusin serangan bertubi-tubi.
Tapi setiap tangkisan menguras kekuatannya. Lengannya berdarah, daging robek. Nafasnya terengah-engah. Langkahnya mundur tak terkendali, hingga akhirnya tubuhnya terjepit di sudut sel. Kedua tangan yang biasanya bisa menjatuhkan lawan dalam satu pukulan, kini bahkan tak mampu lagi diangkat.
Max tidak berhenti. Dia adalah tipe petarung yang menyerang tanpa jeda, yang tak memberi ruang bagi musuh untuk berpikir. Teknik kakinya adalah senjata utama—tajam, cepat, brutal. Gaya bertarungnya mirip badai yang menggilas segalanya.
Axel mengepalkan gigi. Darah mengucur dari gusinya, membasahi mulutnya dan menjadikannya merah pekat. Wajah kasarnya yang keras kini terlihat seperti topeng iblis yang menahan amarah… dan rasa sakit.
Namun seberapa ganas dan brutal pun Axel bertahan, jurang kekuatan antara mereka tak bisa dipungkiri. Harimau Gila, yang kini melepaskan seluruh kekuatan sejatinya tanpa ada niatan untuk menahan diri, berubah menjadi iblis pertempuran. Kecepatannya seperti kilat yang tak terlihat, dan kekuatannya… cukup untuk mengguncang jiwa siapa pun yang menghadapinya.
Axel—sosok yang selama ini dikenal sebagai monster lantai satu, yang dengan tangan kosong bisa membuat siapa pun tunduk—kini hanya bisa bertahan setengah mati, napasnya berat dan raganya tak mampu menyusul ritme serangan lawannya. Teknik kaki Max terlalu rumit, terlalu cepat, dan terlalu mematikan. Axel tak lagi punya celah untuk membalas, hanya bisa bertahan secara pasif… dan perlahan kehabisan waktu.
Saat Harimau Gila bersiap melancarkan tendangan berikutnya, Axel mengangkat tangannya lagi, meski sudah berlumuran darah dan hampir tak bisa digerakkan. Refleks semata—naluri seorang petarung yang menolak mati tanpa perlawanan.
Tapi kali ini, serangan Max bukan seperti yang ia duga.
Tendangan kiri yang tampaknya ditujukan ke tubuhnya tiba-tiba melenceng. Sebelum Axel sempat memahami apa yang terjadi, kaki itu justru menyapu ranjang besi di sampingnya, telapak kaki mendarat di jeruji jendela.
Dalam sekejap, Harimau Gila memantul ke udara.
Seperti setan yang melompat dari kegelapan, sosok Max melesat tepat di atas kepala Axel. Dengan raungan rendah yang nyaris tak terdengar namun membawa teror, kaki kanannya—melengkung seperti busur yang ditarik maksimal—menghantam lurus ke dada kiri Axel.
Duggghh—!
Tendangan itu... bukan sekadar pukulan. Itu adalah hukuman mati.
Kekuatan luar biasa dari jari-jari kaki Harimau Gila menghancurkan tulang dada Axel dalam satu hentakan, dan langsung menembus ke jantungnya.
Tak ada teriakan. Tak ada perlawanan. Hanya satu suara tumpul... dan keheningan panjang sesudahnya.
Kurang dari satu jam setelah kematian sang Pangeran Kael, penguasa besar lainnya dari Gedung Timur menyusul nasib yang sama—dijatuhkan tanpa ampun, tanpa kemuliaan, hanya menjadi nama berikutnya dalam daftar kematian yang panjang.
Elegi kehidupan sekali lagi mengalun—dalam dentuman, dalam darah, dalam sunyi yang mencekam.