Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sudah satu bulan sejak Puri dan Yudha pindah ke Australia, mencoba membangun kehidupan baru yang lebih tenang dan jauh dari masa lalu yang menyakitkan.
Dalam suasana yang lebih stabil, Yudha berusaha merawat Puri dengan sepenuh hati, memastikan ia merasa aman dan dicintai.
Hari itu, Yudha mengajak Puri untuk kontrol kandungan ke klinik bersalin.
Suasana klinik di Australia terasa hangat dan tenang. Mereka disambut oleh seorang dokter wanita yang ramah dan profesional.
Setelah melakukan pemeriksaan rutin pada kandungan Puri, sang dokter mengamati hasil USG dan kemudian menatap pasangan muda itu sambil tersenyum.
"Semua terlihat baik, bayi dalam kandungan tumbuh dengan sehat," kata dokter.
Puri mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Namun kemudian, dokter melanjutkan dengan suara lembut,
"Saya ingin bertanya, apakah kalian masih sering berhubungan suami istri secara emosional dan fisik?"
Puri tampak sedikit gugup, sementara Yudha meraih tangannya untuk memberinya rasa aman.
Dokter kemudian menjelaskan dengan profesional,
"Dalam fase kehamilan seperti ini, interaksi emosional dan kedekatan fisik antara pasangan sangat penting. Bukan hanya untuk kesehatan ibu, tapi juga perkembangan janin. Saya bukan bicara hanya soal hubungan seksual, tapi juga kebersamaan, perhatian, komunikasi, dan dukungan dari suami."
Yudha mengangguk paham. "Kami masih beradaptasi, Dok. Tapi saya berusaha selalu ada untuk Puri."
Dokter tersenyum mengangguk. "Itu hal yang baik. Jangan ragu untuk sering datang ke klinik ini.
Di sini kami tidak hanya memeriksa fisik, tapi juga siap membantu dari sisi emosional dan mental. Kehamilan bukan hanya perjalanan seorang ibu, tapi perjalanan bersama suami istri."
Puri menatap Yudha sejenak, hatinya terasa hangat oleh kata-kata dokter dan kehadiran Yudha yang tak pernah menjauh.
Meskipun luka masa lalu belum sepenuhnya hilang, ia mulai menyadari bahwa dirinya tidak lagi harus menanggung semuanya sendirian.
Yudha membalas tatapan Puri dan berkata pelan, "Kita jalani ini bareng-bareng, ya."
Puri hanya mengangguk, air matanya menetes perlahan dan kali ini bukan karena luka, tapi karena harapan.
Setelah pulang dari rumah sakit, suasana di apartemen terasa sunyi namun hangat. Angin sore Australia berhembus lembut dari jendela, menyapu tirai yang bergerak pelan.
Yudha duduk di samping Puri, yang tengah bersandar di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang mulai membesar.
Yudha menatap wajah Puri yang terlihat lebih tenang dari biasanya, meski ada sedikit keraguan di matanya. Setelah beberapa detik diam, ia bertanya dengan suara pelan namun tulus,
"Pur, apakah kamu... sudah mulai mencintai aku?"
Puri terdiam. Pertanyaan itu membuatnya menoleh perlahan ke arah Yudha. Tatapan matanya lembut namun masih menyimpan luka lama. Ia tidak langsung menjawab.
Ia hanya menatap mata suaminya, mencoba menggali keberanian dalam hatinya yang masih belajar menyembuhkan.
"Aku... nggak tahu," jawab Puri pelan, jujur, suaranya nyaris berbisik.
"Tapi aku... nyaman. Dan setiap hari, aku merasa sedikit lebih ringan saat Mas Yudha ada di sampingku."
Yudha mengangguk pelan. Ia tidak memaksa senyum, tidak memaksa jawaban lebih.
Ia tahu, cinta bukan tentang seberapa cepat hadir, tapi seberapa tulus tumbuh.
"Aku nggak minta kamu cinta aku sekarang, Pur," ucap Yudha lembut.
"Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku akan terus ada di sini, sampai kamu siap. Karena kamu dan bayi kita... adalah rumah yang ingin aku jaga."
Puri menunduk, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menggenggam tangan Yudha dan kali ini tidak melepaskannya.
Dalam diam, dua hati yang sama-sama terluka perlahan mulai belajar pulih—bukan karena lupa, tapi karena ada seseorang yang memilih tinggal dan mencintai meski tak diminta.
Setelah itu Yudha berpamitan kepada istrinya untuk berangkat ke kantor.
Yudha meminta puri untuk istirahat dan tidak kemana-mana
Puri menganggukkan kepalanya dan ia meminta suaminya untuk nanti segera pulang.
****
Malam itu, Yudha pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya tertahan, namun sepanjang perjalanan pulang, pikirannya hanya dipenuhi wajah Puri.
Ia rindu, meski mereka tinggal serumah, hatinya merasa masih berjarak.
Begitu masuk ke apartemen, lampu ruang tamu sudah redup.
Di sana, di sofa yang biasa mereka duduki bersama, Puri tertidur pulas dengan baju tidur berwarna lembut yang membuatnya terlihat tenang dan rapuh. Nafasnya teratur, wajahnya damai.
Yudha berdiri mematung beberapa detik, jantungnya berdebar kencang.
Ia perlahan mendekat, duduk di samping Puri dan menatap wajah istrinya yang begitu dekat... dan begitu jauh.
Dalam keberanian yang tercampur rindu, ia menunduk dan mencium bibir Puri perlahan.
Namun tak lama, Puri membuka matanya terkejut. Refleks, ia mendorong tubuh Yudha menjauh, matanya membulat kaget, dan napasnya tercekat.
"Mas Yudha... kenapa?" ucap Puri pelan, bingung dan gugup.
Yudha langsung bangkit, tak berkata apa-apa, dan melangkah cepat menuju kamar mandi.
Suara air keran menyamarkan detak kecewanya. Di balik pintu, ia bersandar, menatap kosong ke cermin sambil bergumam lirih,
"Sepertinya aku memang nggak pernah ada di hati kamu, Pur..."
Kekecewaan itu bukan karena ditolak secara fisik, tapi karena ia merasa harapannya patah perlahan—harapan bahwa cintanya, kesabarannya, dan ketulusannya akan mulai menggerakkan hati Puri.
Sementara di ruang tengah, Puri hanya duduk terdiam.
Ia menggenggam ujung baju tidurnya, merasa bersalah tapi juga bingung.
Hatinya masih trauma, namun ia sadar... mungkin ia juga telah melukai lelaki yang kini selalu ada untuknya.
Dalam senyap itu, dua hati kembali diuji oleh luka masa lalu dan batas kesabaran masa kini.
Yudha perlahan membuka pintu kamar mandi. Udara dingin dari lantai menyentuh kakinya saat ia melangkah keluar, rambutnya masih sedikit basah.
Ia terhenti seketika ketika melihat Puri tengah duduk di ujung tempat tidur, memandanginya dengan mata yang sulit dibaca antara bingung, bersalah, dan ragu.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
"Maaf..." ucap Puri pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, menggenggam jari-jarinya sendiri.
"Aku kaget, Mas... bukan karena aku jijik atau benci... tapi karena aku belum siap."
Yudha berdiri diam, menatapnya. Hatinya masih remuk oleh penolakan tadi, tapi ia tahu, Puri bukan perempuan yang tega menyakiti.
"Aku ngerti," jawab Yudha akhirnya, suaranya datar tapi lembut.
"Aku terlalu berharap. Padahal mungkin kamu masih jauh dari siap nerima aku sebagai suami, apalagi sebagai laki-laki yang kamu cintai."
Puri mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.
"Bukan berarti aku nggak mau coba... aku cuma takut mengecewakan kamu lagi. Hati aku... belum pulih sepenuhnya."
Yudha menghela napas panjang. Ia lalu mendekat, duduk perlahan di sampingnya tanpa menyentuh.
"Aku nikahi kamu bukan karena pengen langsung dicintai. Tapi karena aku pengen kamu nggak sedih lagi."
Yudha naik ke atas tempat tidur dan langsung mematikan lampu kamarnya.