Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 07(Di Bawah Langit yang Sama)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Bintang-bintang mulai berpendar di langit malam saat Letta dalam perjalanan pulang menuju apartemennya. Di samping tempat duduknya, sebuah dokumen tergeletak—dokumen yang baru saja diserahkan Etan.
Dokumen itu berisi data para pekerja di proyek pembangunan hotel yang tengah ia tangani.
Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti. Tanpa Letta sadari, Etan sesekali meliriknya melalui kaca spion, menilai ekspresi Letta yang tampak termenung.
Setelah beberapa saat, Etan akhirnya memecah keheningan. "Apa Nona ingin pergi ke suatu tempat? Atau mungkin Nona ingin makan di luar?" tawarnya pelan, suara lembutnya berusaha menarik perhatian Letta yang sedang tenggelam dalam pikirannya, menatap pemandangan yang melintas di luar jendela mobil.
Letta perlahan mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Etan, tersadar dari lamunannya. "Hmm... Aku rasa aku hanya ingin pulang dan beristirahat malam ini," jawabnya, suaranya lembut namun penuh kelelahan.
Akhirnya, mobil yang dikemudikan Etan melaju dengan kecepatan yang lebih cepat dari sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka tiba di basement apartemen Letta.
"Kalau begitu, saya pamit, Nona," ucap Etan setelah memastikan Letta telah sampai dengan selamat.
Letta memberikan senyum tipis sebagai balasan sebelum melangkah keluar dari mobil dan masuk ke dalam apartemennya, dengan membawa dokumen yang diberikan Etan tadi.
Setibanya di apartemen, Letta memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah selesai, ia duduk di ruang tamu, menikmati ketenangan sejenak sambil menunggu pesanan makan malam yang telah dipesannya secara online.
Di tengah menunggu, tatapan Letta tanpa sengaja jatuh pada dokumen yang tadi sengaja ia letakkan di sofa ruang tamu. Tanpa ragu, ia mengambil dokumen tersebut dan mulai membukanya.
Lembar demi lembar, Letta baca dengan seksama. Hingga akhirnya, matanya berhenti pada sebuah lembar yang berisi data milik Zidan Ardiansyah. Letta terdiam sejenak.
Ia mengalihkan pandangannya, seakan ragu dan belum sepenuhnya siap untuk melihat lebih jauh. Namun, rasa penasaran yang begitu kuat membuatnya menghela napas panjang dan memberanikan diri untuk kembali menatap data milik Zidan.
Kata demi kata ia baca, hingga matanya berhenti pada keterangan status yang tertulis di sana. Letta tertegun. Di bawah kolom status, tertulis bahwa Zidan sudah menikah.
Sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, entah mengapa. Perasaan itu datang begitu tiba-tiba, menghimpit dada dan membuatnya terdiam dalam hening.
Namun tak lama, sebuah senyuman tipis terukir di wajah cantik Letta — senyuman yang justru kontras dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Ternyata dari dulu memang nggak pernah ada kesempatan," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Di tempat lain, di bawah langit malam yang sama, Zidan pun tengah dilanda kesedihan. Namun, berbeda dengan Letta, kesedihan Zidan berasal dari rumah yang seharusnya menjadi tempat ia melepas lelah.
Setibanya di rumah kecil mereka, bukan sang istri yang menyambut kedatangannya, melainkan ibu dan adik perempuannya.
"Felicia ke mana, Bu?" tanya Zidan setelah berkeliling mencari keberadaan istrinya di rumah kecil mereka.
Bu Puspa, yang sejak tadi sibuk memasak dengan dibantu anak bungsunya, baru menyadari bahwa putra sulungnya telah pulang.
"Istri kamu belum pulang sejak tadi pagi," jawab Bu Puspa tenang, meski suaranya menyiratkan kelelahan.
Jawaban itu membuat Zidan tercekat. Rasa bersalah langsung menghantam dadanya. Seharusnya Felicia tinggal di rumah, menemani ibunya yang kerap sakit dan membantu pekerjaan rumah. Bukannya justru membiarkan sang ibu yang sudah lemah menanggung semua beban sendirian.
“Bu, biar Zidan aja yang lanjutin. Ibu istirahat, ya,” ucap Zidan sambil mengambil alih pekerjaan dapur dari tangan ibunya.
“Iya, Bu. Biar Aya sama Abang yang siapin makan malam,” timpal Zayana Ardiansyah—atau yang biasa dipanggil Aya, adik perempuan Zidan.
Bu Puspa hanya tersenyum lemah. “Nggak usah, bentar lagi juga selesai. Mending kalian bersih-bersih dulu, nanti kita makan bareng, ya.”
“Bu…” Zidan hendak membalas, namun ucapannya terhenti saat mendengar suara langkah kaki mendekat.
Tanpa perlu menoleh, ia tahu siapa yang datang. Ketiganya menoleh ke arah pintu dapur, memperhatikan sosok Felicia yang baru saja masuk. Wanita itu melangkah santai, seolah tak terjadi apa-apa.
“Belum selesai masaknya? Kalau gitu aku mandi dulu, ya. Bu, Mas,” ucap Felicia ringan, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Zidan mengepalkan tangan. Dadanya panas. Malam ini, entah mengapa, batas sabarnya seakan menguap. Ia menahan diri tak bicara di depan ibu dan adiknya. Tanpa sepatah kata, ia langsung menyusul Felicia ke kamar mereka.
Begitu masuk, pintu ditutup pelan tapi tegas. Zidan menatap istrinya tajam.
“Dari mana kamu seharian ini?” suaranya dingin, penuh tekanan. “Keluyuran sampai malam begini, bukannya jaga Ibu malah kamu biarin Ibu ngerjain semuanya sendiri.”
Felicia yang sedang membuka lemari pakaian menoleh sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya tanpa rasa bersalah. “Aku kan udah bilang, aku ada arisan. Nggak mungkin aku ninggalin acara gitu aja, Mas.”
Zidan menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang mulai mendidih. “Tapi kamu tinggal serumah sama Ibu. Kamu tahu Ibu lagi sakit, Fel. Masa kamu tega ninggalin dia seharian?”
Felicia menoleh, kali ini dengan sorot mata yang tak kalah tajam. “Mas pikir aku seneng tinggal di rumah sempit ini, ngerawat ibu yang tiap hari ngeluh soal sakitnya? Aku juga capek, Mas! Aku butuh hiburan. Aku butuh... hidup!”
Zidan terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan, menyisakan luka yang tak tampak. Ia tahu, rumah ini sederhana. Ia tahu, kehidupannya jauh dari glamor.
Tapi ia tak pernah menyangka, Felicia akan mengucapkannya dengan begitu gamblang — seolah tak ada lagi yang layak diperjuangkan di antara mereka.
“Aku kerja mati-matian buat kita, Fel,” ucapnya lirih. “Aku nggak pernah ngeluh soal pengorbanan. Tapi apa kamu pernah pikirin sedikit aja tentang aku? Tentang Ibu?”
Felicia menatapnya datar. “Mas kerja, iya. Tapi hasilnya apa? Hidup kita tetap gini-gini aja. Aku pengen hidup yang lebih dari sekadar cukup.”
Zidan menutup mata sejenak, menahan perih. “Jadi ini soal uang, ya?”
Felicia tidak menjawab. Ia hanya membalikkan badan, melangkah keluar dari kamar, menutup pintu tanpa sepatah kata dan masuk ke kamar mandi. Suara air mengalir tak lama kemudian, seolah menyapu habis sisa percakapan yang menggantung di udara.
Zidan berdiri di sana, menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lelah menjalari tubuhnya—lelah bukan karena pekerjaan, tapi karena hati yang tak lagi menemukan tempat pulang.
Zidan melangkah mundur pelan. Ia bersandar di dinding, membiarkan tubuhnya meluncur turun hingga duduk di lantai, di antara senyap dan riuhnya suara air dari kamar mandi. Pikirannya melayang—pada ibunya, pada Aya, dan pernikahannya.
Zidan menatap tangannya, seolah mencari makna atas apa yang telah ia pertahankan selama ini. Rumah ini, pernikahan ini, hidup yang katanya pilihan—semua terasa semakin hampa.
TBC...