Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK BISA BERHENTI
Regita membuka lemarinya lebar-lebar, tatapannya kosong ke arah barisan pakaian yang tergantung rapi.
Ia berdiri di sana cukup lama tanpa melakukan apa-apa, hanya membiarkan pikirannya melayang.
"Aku pakai baju apa, ya?" gumamnya lirih, lebih kepada diri sendiri.
Jemarinya mulai menyentuh satu persatu bajunya yang tampak biasa saja.
Kaos, blus, hingga dress sederhana. Namun, tidak ada yang terasa tepat di matanya untuk dikenakan hari ini.
Ia mendesah pelan, merasa malas untuk berpikir terlalu keras.
Akhirnya, ia mengambil sebuah kaos sabrina berwarna putih gading yang tidak terlalu rendah.
Potongannya cukup sederhana, dengan aksen renda halus di bagian pinggir. "Ini kayaknya cukup, deh. Nggak terlalu heboh, tapi juga nggak kelihatan asal," pikirnya sambil memandangi kaos itu sebentar.
Rencananya, ia akan memadukan kaos sabrina itu dengan celana jins skinny biru tua yang nyaman dan sedikit membentuk tubuhnya.
Tapi saat mencarinya, ia malah menemukan jins belel dengan sobekan kecil di bagian lutut. "Hmm, yang ini lebih santai, mungkin Kevien nggak akan banyak komentar," katanya sambil mengambil jins tersebut.
Regita meletakkan pakaian pilihannya di atas tempat tidur dan melirik ke cermin.
Rambutnya tergerai acak, menandakan betapa ia belum terlalu niat untuk berdandan. Ia mengacak rambutnya sebentar dengan tangan, berpikir apakah perlu mengikatnya.
“Aku harus dandan nggak, sih?” bisiknya sambil menatap wajahnya sendiri.
Pipinya masih tampak sedikit kemerahan, mungkin efek memikirkan Aksa tadi pagi.
Tapi ia buru-buru menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu. “Regita, fokus! Ini cuma nonton, bukan kencan,” ia mengingatkan dirinya.
Setelah selesai memilih pakaian, ia mengambil sebotol parfum favoritnya dan menyemprotkannya ke beberapa bagian tubuh.
Aroma bunga segar segera memenuhi ruangannya, memberikan rasa percaya diri kecil dalam dirinya.
"Oke, selesai. Semoga Kevien nggak komplain soal ini," katanya sambil memungut pakaian dan berjalan ke kamar mandi untuk berganti baju.
Tapi saat hendak keluar kamar, pikirannya kembali melayang ke Aksa. Ia menggigit bibirnya. “Kenapa aku malah mikirin Kak Aksa lagi?” batinnya frustrasi.
Regita menggelengkan kepala keras-keras, mencoba menepis bayangan kakak tirinya. Ia menghembuskan napas panjang sebelum keluar kamar, bersiap menghadapi Kevien yang pasti sudah menunggunya.
Regita turun ke ruang tamu dengan langkah pelan. Setiap langkahnya terasa seperti ujian, terutama saat ia tahu Kevien sudah menunggunya di luar.
Ia menggigit bibir, merasa sedikit gugup.
"Git, kamu udah siap?" suara Ratih, Bundanya, membuat Regita terlonjak.
Ia langsung memutar tubuh, menemukan ibunya berdiri dengan senyum kecil di bibir.
“I-iya, Bun. Udah mau berangkat,” jawab Regita sambil memaksakan senyum.
Ratih melirik pakaian Regita sekilas, lalu mengangguk pelan. "Bagus bajunya, kelihatan cocok. Nonton sama Kevien, ya?" tanyanya, nadanya menggoda.
Regita terdiam sejenak, wajahnya langsung memerah. "Bunda, kok tahu?"
Ratih tertawa kecil. "Ya tahu lah, tadi Kevien bilang mau ngajak kamu pergi. Udah, jangan lupa bilang terima kasih nanti, ya," katanya sambil berjalan ke dapur, meninggalkan Regita yang masih berdiri mematung dengan pipi merona.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Regita membuka pintu depan. Kevien sudah menunggunya dengan senyum lebar sambil bersandar di motor.
“Lama amat, Git! Gue kira Lo lupa sama gue,” kata Kevien bercanda, matanya menyapu penampilan Regita. "Hmm... kelihatan cantik, kok."
Regita menunduk malu, menggigit bibir bawahnya untuk menyembunyikan senyum kecil. “Udah, ah. Yuk, berangkat,” katanya sambil berjalan menghampiri Kevien.
Kevien mengangkat helm cadangan dan menyodorkannya ke Regita. "Pakai ini dulu," katanya lembut.
Setelah Regita mengenakan helm, Kevien membantu mengencangkan talinya.
Saat tangannya menyentuh dagu Regita, gadis itu sedikit terkejut, namun Kevien tampak santai saja.
“Udah, nyaman?” tanya Kevien memastikan.
Regita hanya mengangguk. Kevien naik ke motor dan menepuk tempat di belakangnya. "Ayo naik. Pegangan yang kuat ya, jangan sampai jatuh."
Regita mengangguk lagi dan duduk di belakang Kevien, sedikit canggung. Tangannya ragu-ragu untuk memegang pinggang Kevien.
“Lo takut jatuh, kan? Ya udah, pegangan aja nggak apa-apa,” kata Kevien sambil menoleh sedikit, senyum jahilnya terlukis di wajahnya.
Dengan malu-malu, Regita akhirnya memegang sisi jaket Kevien. Motor pun melaju, membawa mereka menuju bioskop.
Sepanjang perjalanan, Regita sibuk dengan pikirannya sendiri.
Namun, angin malam yang menyapu wajahnya perlahan membuatnya merasa lebih santai.
Kevien yang sesekali melontarkan candaan ringan juga berhasil membuatnya tersenyum.
“Aneh, kenapa aku malah merasa nyaman sama Kevien? Tapi... kenapa aku masih memikirkan Kak Aksa juga?” batinnya berperang.
Regita menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya dengan memperhatikan jalanan yang ramai di malam hari.
Kevien menoleh sekilas ke belakang, memastikan Regita baik-baik saja. “Lo nggak apa-apa, kan? Nggak kedinginan?” tanyanya.
“Enggak, gue baik-baik aja,” jawab Regita cepat, walau sebenarnya perasaan di dalam hatinya jauh dari kata tenang.
Kevien tersenyum kecil dan kembali fokus pada jalan.
Sementara itu, Regita terus bergulat dengan perasaan yang semakin sulit ia mengerti.
Mereka tiba di bioskop tak lama kemudian. Kevien memarkir motornya dengan hati-hati, lalu membantu Regita turun.
Ia membuka helm Regita dengan senyum lebar.
“Udah sampai, Princess. Siap nonton?” tanya Kevien sambil menatap mata Regita.
Regita tersipu, sedikit menghindari tatapan Kevien. “Iya, siap kok. Tapi... kita nonton film apa, sih?” tanyanya mencoba bersikap santai.
Kevien tertawa kecil. “Gue udah beli tiket tadi, film action. Tapi jangan khawatir, ada sedikit romantisnya juga. Siapa tahu Lo suka.”
Regita memutar bola matanya. “Ya ampun, kenapa nggak kasih tahu duluan? Kalau nggak suka gimana?”
“Kalau nggak suka, gue beliin popcorn jumbo biar Lo nggak ngeluh lagi,” sahut Kevien sambil berjalan menuju pintu masuk, membuat Regita tertawa kecil.
Mereka masuk ke dalam bioskop yang mulai ramai.
Kevien dengan santai memegang pergelangan tangan Regita agar tidak terpisah di kerumunan.
Regita yang awalnya kaget membiarkan saja, mencoba menenangkan diri dari jantungnya yang berdetak kencang.
Di konter makanan, Kevien memesan popcorn dan minuman. “Lo mau rasa apa? Manis atau asin?” tanya Kevien.
“Manis aja,” jawab Regita pelan.
Kevien mengangguk, lalu menambahkan, “Oke, satu manis buat Lo, satu asin buat gue. Minumnya soda aja ya?”
Regita mengangguk lagi. Kevien tersenyum puas.
Setelah selesai, mereka berjalan ke dalam studio.
Kevien membawa popcorn dan minuman di kedua tangan, sementara Regita hanya berjalan di sampingnya dengan canggung.
Saat duduk, lampu studio mulai meredup. Kevien menaruh popcorn di kursinya lalu menoleh ke Regita.
“Git, jangan ragu-ragu ya. Kalau Lo mau popcorn gue, tinggal ambil aja. Gue nggak pelit, kok,” katanya dengan nada menggoda.
Regita hanya tersenyum kecil. “Thanks,” gumamnya, walau dalam hati ia masih merasa aneh dengan perhatian Kevien.
Film dimulai. Kevien tampak santai menikmati adegan demi adegan, sesekali terkekeh saat ada dialog lucu.
Namun, perhatian Regita terpecah. Sebagian otaknya mencoba fokus pada film, sementara sebagian lain memikirkan hal-hal lain—tentang Kevien, tentang Aksa, dan tentang perasaannya sendiri.
Di tengah film, Kevien tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit. “Git, Lo suka nggak filmnya?” bisiknya.
Regita mengangguk pelan. “Lumayan seru.”
Kevien tersenyum. “Bagus deh. Kalau Lo bosen, bilang aja. Gue bisa ngajak Lo keluar cari makanan.”
“Enggak kok. Gue suka,” balas Regita sambil tersenyum kecil.
Kevien mengangguk puas, lalu kembali fokus ke layar. Tapi sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Regita, menikmati ekspresi gadis itu saat terpukau oleh adegan film.
“Gila, kenapa gue bisa senyaman ini sama Regita? Apa gue beneran suka sama dia?” Kevien bertanya dalam hati, tapi ia tak berani menjawabnya sekarang.
Sementara itu, Regita merasa hatinya semakin kacau. Ia mencoba menikmati waktu bersama Kevien, tapi kenangan dan bayangan tentang Aksa terus menghantui pikirannya.
“Kenapa Kak Aksa nggak bisa keluar dari kepala aku? Padahal Kevien tuh baik banget…” batinnya berkecamuk hingga film usai.