dr. Pramudya Aryatama, Sp. An. harus terpaksa menikahi saudari sepupu dari mendiang istrinya karena desakan keluarga, juga permintaan terakhir Naina. Belum lagi putranya yang berusia 2 tahun membutuhkan kehadiran seorang ibu.
Bisakah dr. Pram menerima Larasati sebagai istrinya, sedangkan ia sendiri masih begitu terpaku pada kenangan dan cintanya pada mendiang istrinya? Lalu bagaimana Larasati harus menghadapi sosok pria seperti dr. Pram yang kaku juga dingin dengan status dirinya yang anak yatim piatu dan status sosial jauh di bawah keluarga pria itu.
Banyak hal yang membentengi mereka, tetapi pernikahan membuat mereka menjadi dua orang yang harus saling terikat. Bisakah benih-benih perasaan itu hadir di hati mereka?
Jangan lupa subscribe biar dapat notifikasi updatenya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling Memaafkan
Keyza Leoni Aryatama melangkahkan kakinya dengan anggun dan tegas menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Tujuannya kemari hanya satu, menemui dr. Pramudya Aryatama--putra bungsu Aditya Aryatama itu. Beberapa orang yang mengenalnya sempat menyapanya yang hanya dibalas anggukan singkat oleh wanita itu.
"Pram ada?" tanya Keyza ketika ia berdiri di depan ruang adiknya dan bertemu asisten sang adik.
Lelaki muda itu mengangguk, "ada, Mbak."
Keyza mengangguk dan membuka pintu ruangan dr. Pram. Netra wanita itu menajam dan tegas, menyusuri ruangan sang adik dan menemukan pria itu berbaring di sofa.
"Tidak pulang selama dua hari dan meninggalkan istri sendirian di rumah, sesibuk apa sebenarnya dr. Pram ini?"
Keyza berucap dengan nada menyindir. Duduk di kursi depan meja kerja adiknya. Tangan wanita itu bersedekap, netranya memicing tak senang pada pria yang mulai membuka matanya itu.
"Kenapa kemari, Mbak?" tanya dr. Pram lesu, wajah pria itu tampak lelah.
Keyza menggeleng, "kalau ada masalah itu diomongin, bukan malah kucing-kucingan begini sama istri."
Dokter Pram bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk menyandar di sofa. Tangannya memijit kepala yang berdenyut.
"Mbak sudah tahu semuanya dari Papa, bukan?" gumam dr. Pram melirik sang Kakak.
“Aku sudah mendengarnya dari Papa dan Om Leon kemarin" sahut Keyza datar.
“Tapi Laras tidak tahu, bukan? Dia tidak tahu bahwa pernikahan kalian bagian dari rencana itu. Dia mencintaimu, Pram.”
Dokter Pram menggeleng, "aku gak tahu, Mbak. Aku memang menikahi Laras karena permintaan terakhir Naina dan juga permintaan Mama, tapi ...."
"Mendengar langsung bahwa Om Leon menjual Laras atas dasar tanah dan kesepakatan dengan Papa, aku merasa kecewa karena aku tidak tahu sama sekali. Yang membuatku lebih kecewa karena Laras juga tahu hal itu, tapi selama hampir satu tahun pernikahan ini dia tidak pernah membicarakan apapun itu padaku ...."
“Kau pikir dia tidak merasakan sakit juga?” Keyza bersuara sedikit lebih keras.
“Laras berusaha, Pram. Dia berusaha memperbaiki hubungan kalian, mencoba membuatmu bahagia dan berusaha agar kau juga mencintainya. Dia tidak tahu apapun kalau kesepakatan Om Leon itu bersangkutan dengan pernikahan kalian. Bukankah yang lebih tersakiti di sini adalah Laras?” Keyza bangkit dan berjalan duduk di sofa samping pria itu.
Pria itu terdiam lama, menatap tangan dengan cincin tersemat di jemarinya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana. Setiap kali aku mencoba mendekatinya, bayangan kehilangan Naina dan perasaan takut itu kembali hadir. Aku merasa terjebak. Kesepakatan di balik pernikahan kami baik Naina dan Laras juga membuatku kecewa, Mbak.” Pria itu tampak frustasi, mendongakkan kepalanya ke atas dengan kepala menyandar di punggung sofa.
Keyza menarik napas dalam-dalam. Menepuk lengan adik lelakinya itu.
“Pram, kau harus berbicara dengan Laras. Katakan padanya apa yang kau rasakan. Jangan biarkan rasa kecewa itu menghancurkan kalian berdua. Laras butuh mendengar apa yang kamu rasakan, dan kalian butuh bekerja sama untuk menyelesaikan ini.”
Pram menatap kakaknya, melihat keseriusan di matanya. Ia tahu Keyza benar. Menghindar tidak akan menyelesaikan apapun. Ia harus berbicara dengan Laras, harus mencoba memperbaiki semuanya.
“Baiklah,” ujar dr. Pram akhirnya berkata, suaranya pelan namun mantap.
“Aku akan pulang dan berbicara dengan Laras. Aku hanya berharap semuanya tidak terlambat.”
Keyza tersenyum tipis, “belum terlambat, Pram. Selama kau masih mau berusaha, selalu ada harapan.”
Pram mengangguk, merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Ia harus mencoba, demi masa depan dan kebahagiaan keluarganya. Ia tidak bisa terus menghindar dari masalah ini. Dokter Pram bangkit dari kursinya, siap pulang dan menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari.
..._______...
Malam itu, Dokter Pram tiba di rumah lebih awal dari biasanya. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Pria itu melangkah perlahan ke ruang tamu, matanya mencari-cari sosok Laras. Ia menemukan Laras duduk di sofa, memegang sebuah buku, tetapi tatapannya kosong menatap dinding.
“Laras!” Dokter Pram memanggil pelan, mencoba menarik perhatian istrinya.
Laras terkejut, menoleh ke arah sumber suara itu.
“Mas? Kamu pulang?”
Pria itu mengangguk," saya ingin bicara.”
Laras mengangguk perlahan, meletakkan bukunya dan mempersilakan dr. Pram duduk di sebelahnya. Dokter Pram duduk, lama mereka dalam hening dan Laras menanti dengan sabar.
“Saya minta maaf karena tidak pulang selama dua hari,” ujar dr. Pram memulai.
“Saya butuh waktu untuk berpikir, tapi saya sadar itu tidak adil buatmu.”
Laras menatap dr. Pram, matanya berusaha mencari kebenaran di balik kata-kata suaminya.
"Mari kita lupakan tentang apapun di balik pernikahan kita dan ... Mulai sekarang mari kita sama-sama membuka perasaan satu sama lain ...."
Laras mengulum senyum. Rasa sedihnya beberapa hari ini hilang tak bersisa mendengar ucapan pria itu yang tampak gugup. Baru kali ini dia melihat sikap sang suami yang tak berani menatap netranya.
"Aku sudah mencintai kamu, Mas. Kamu saja yang belum membuka perasaanmu itu," sahut Laras santai.
Dokter Pram menoleh, kali ini tatapan pria itu tampak lebih bersahabat, tidak datar seperti biasanya.
"Mari buat saya mencintaimu kalau begitu!" ujar dr. Pram menatap dalam Laras.
"Bukan aku yang harus membuat Mas mencintaiku, tapi hati Mas sendiri. Mari kita ubah kesepakatannya ... lupakan semua alasan di balik pernikahan ini dan anggap kita dua orang yang sudah lama saling mengenal dan berkomitmen dalam pernikahan, deal!"
Laras mengulurkan tangannya, yang disambut dr. Pram dengan tangan besar pria itu yang menerima uluran tangan Laras dengan mantap.
"Deal!" ucapnya tegas.
"Nah sekarang kamu harus minta maaf karena sudah menuduhku mengenai foto-foto yang kamu terima, Mas!"
Dokter Pram tampak berpikir, dan ingatan akan ia yang menerima foto Laras bersama pria lain dari nomor tak dikenal menyadarkannya. Ck, dia hampir melupakan yang satu itu.
"Nah, sekarang jelaskan dulu!" ujar pria itu sembari melepas kancing-kancing kemejanya.
"Dia Rendy, teman semasa kuliah. Kemarin itu kami tidak bertemu berdua, ada temanku cewek satu lagi, tapi kebetulan foto yang Mas tunjukkan itu kelihatan kalau aku sedang berdua dengan Rendy. Temanku yang cewek itu lagi ke kamar mandi waktu foto itu diambil," jelas Laras. Tangannya tanpa sadar membantu sang suami melepas kancing kemeja di pergelangan tangan pria itu.
Dokter Pram menatap Laras dalam, mencoba mencari kebenaran dari kalimat penjelasan wanita itu, dan ia mengangguk.
"Kenapa dia pakai pegang-pegang tanganmu segala kalau begitu?" Nada suara pria itu terdengar tak suka.
"Ehm itu sebenarnya aku yang pegang, Mas karena dia kelihatan lagi sedih Mamanya lagi di rumah sakit. Maaf ya, Mas!" Laras menatap memelas pria itu dengan cengiran, memperlihatkan deretan gigi rapihnya.
"Berarti ada yang mencoba untuk membuat kita saling salah paham. Kalau begitu maafkan saya karena sudah menuduhmu," ucap dr. Pram mengusap puncak kepala Laras tanpa sadar.
Keduanya saling membeku karena sentuhan di antara mereka masih memberikan efek sengatan listrik tak terduga. Laras berdehem, mencoba mencairkan suasana magis itu.
"Mas juga harus minta maaf dengannya, karena belum menyapanya sama sekali," ujar Laras menarik tangan pria itu dan meletakkannya di perutnya yang tertutup piyama tidurnya.
Dokter Pram tersentak, tangan pria itu tampak gemetar dan ia saling tatap dengan Laras yang tersenyum tertahan pada pria itu.
"I--ini ...."
"Sapa dulu, Mas!" tegur Laras karena pria itu diam saja.
Dokter Pram menarik napas yang terasa sesak karena sebuah perasaan membuncah di dadanya.
"Hai!" sapanya lirih.
Laras tertawa, astaga pria itu menyapa dengan satu kata seperti itu saja. Tawa Laras mengundang tatapan tajam dari dr. Pram yang tak senang karena merasa diejek oleh Laras.
"Gitu aja, Mas?" dengus Laras meredakan tawanya.
Tangan pria itu masih berada di perut Laras, mengusap pelan dengan ibu jarinya.
"Nanti saya sapa dia kalau saya mau menyentuh Mamanya!" bisik pria itu di depan bibirnya dan mengecup singkat di sana sebelum berlalu ke kamar.
Laras terpaku, diam dan shock akan apa yang pria itu lakukan. Wajahnya memerah dan tersadar pria itu telah pergi, ketika aroma parfum sang suami telah hilang dari sisinya.
"Dasar dokter mesum!" gumam Laras menepuk pipinya yang memerah. Selalu saja, dia masih belum anti dengan sentuhan pria itu. Masih saja wajahnya sering memerah malu seperti ini.
"Kamu senang disapa Papamu, Nak?" tanya Laras mengusap perutnya dengan senyum cerah terkembang di bibirnya.
...To Be Continue .......
bikin cerita tentang anak"laras dan pram author .....