Laura dan Morgan telah menjalin hubungan sejak mereka duduk dibangku SMA. Bahkan, Morgan berjanji ketika dewasa kelak dirinya akan menikahi Laura. Namun nasib berkata lain, tiba-tiba saja Morgan dijodohkan oleh orang tuanya dengan wanita lain.
Bagaimana nasib Laura kedepannya? Yuk simak kisah mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Menerima Hanif
Laura berlari menuju kursi kerjanya dan menangis di mejanya. Gadis itu tak sanggup lagi jika harus membayangkan bagaimana Morgan dan Rani tinggal serumah. Laura tidak ingin berharap lebih, meskipun dalam hati kecilnya ia percaya kalau Morgan tidak pernah menyentuh Rani.
Meski begitu, Laura juga tidak bisa kembali dengan Morgan yang sudah beristri.
Hanif datang menghampiri Laura, pria itu sebelumnya telah melihat Laura dan Morgan dibalik kaca kantor.
Hanif menyodorkan tisu kepada Laura dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hanif tidak ingin membuat suasana semakin canggung, terlebih lagi Laura saat itu sedang menangis.
Zoey datang mendekat dan meminta Laura untuk tidak menangisi Morgan.
“Jangan menangis, Laura. Morgan tidak pantas kamu tangisi, hapus air matamu. Kalau dilihat anak-anak yang lain bagaimana?”
Laura mengusap air matanya dengan tisu pemberian Hanif.
“Aku sudah tidak apa-apa, Zoey. Bisa tinggalkan aku sendirian?” tanya Laura.
“Baiklah, aku akan pergi. Tapi, kamu harus tenang ya.”
Disisi lain.
Morgan kembali ke rumah orang tuanya dan untungnya saat itu kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah. Kedatangan Morgan ke rumah itu hanya ingin beristirahat dikamarnya yang sudah sebulan lebih tidak ia tempati.
“Kak Morgan!” Rani tiba-tiba datang dan berlari menghampiri Morgan yang hendak masuk ke dalam kamarnya.
Tanpa menoleh sedikitpun, Morgan masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya agar Rani tidak bisa masuk.
“Kak Morgan, buka!” Rani dengan marah memukuli pintu Morgan hingga menimbulkan kebisingan.
Morgan mengambil headphone dan saat itu juga menutup telinganya dengan benda tersebut. Kemudian, Morgan memutar lagu agar ia tak mendengar suara Rani.
“Kak Morgan, buka pintunya sekarang juga! Aku ingin bicara empat mat dengan Kakak,” ucap Rani.
Rani terus berteriak, hingga ia pun kelelahan karena suaranya hampir habis memanggil Morgan yang tak kunjung membukakan pintu untuknya.
Dengan sedih, Rani berjalan ke arah ruang keluarga dan duduk termenung disofa ruangan itu.
Rani menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis meratapi sikap Morgan yang selalu dingin padanya.
“Sebenarnya salahku apa? Kenapa Kak Morgan tidak pernah melihatku sebagai istrinya? Aku pikir setelah menikah, hidupku akan bahagia. Akan tetapi, aku malah mengalami kesialan bertubi-tubi,” gumam Rani.
Cukup lama Rani menangis diruangan itu, sampai akhirnya Rani memutuskan untuk pulang dan akan menunggu Morgan pulang ke rumah mereka.
Rani tidak ingin mertuanya tahu bahwa ia dan Morgan tidak pernah bahagia selama menjalin biduk rumah tangga yang baru seumur jagung itu.
Beberapa jam kemudian.
Ikhsan dan Dewi baru saja tiba di rumah. Mereka terkejut melihat mobil milik putra semata wayang mereka sudah terparkir rapih di depan rumah.
Keduanya berpikiran kalau Morgan datang bersama Rani, dengan buru-buru mereka berdua masuk ke dalam rumah untuk menyapa keduanya.
“Morgan, kamu sudah lama disini?” tanya Dewi sambil menoleh ke arah kiri dan kanan mencari Rani.
Morgan tidak ingin berlama-lama di rumah setelah tahu kedua orang tuanya telah kembali.
Saat itu juga Morgan pamit dengan alasan ia pulang untuk mengambil barangnya yang tertinggal di kamar dan bergegas kembali ke rumah.
Ikhsan dan Dewi pada akhirnya tak banyak tanya. Sebelum Morgan kembali, mereka lebih dulu memberikan beberapa lembar uang untuk Morgan.
Morgan tentu saja menolak, namun kedua orang tuanya bersikukuh dan Morgan pun akhirnya menerima uang pemberian mereka berdua.
Morgan pun bergegas pergi dan ternyata pria itu tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan, ia ingin mampir ke sebuah cafe yang dulu pernah ia datangi bersama Laura.
Disaat yang bersamaan, Laura sedang berada di cafe tersebut bersama dengan Hanif.
Laura sebenarnya tidak datang seorang diri, ia datang bersama Zoey. Namun, Zoey tiba-tiba pulang karena ada sesuatu di rumahnya yang membuat Zoey mendadak pergi meninggalkan Laura bersama Hanif.
Laura terlihat canggung karena hanya ia dan Hanif saja di meja itu tanpa adanya Zoey.
Kira-kira Zoey kembali lagi tidak ya? Aku canggung kalau hanya berduaan dengan Hanif. (Batin Laura)
“Kamu mau pesan apa, Laura?” tanya Hanif mencoba mencairkan suasana seraya menyodorkan menu pada Laura.
“Cappucino dan pancake,” jawab Laura.
Hanif pun memesan menu yang sama dan memberikan menu tersebut kepada pelayan.
Sambil menunggu pesanan datang, Hanif mencoba mengajak Laura mengobrol ringan agar suasana tak semakin canggung.
“Habis ini, kamu mau kemana? Pulang atau mampir dulu ke suatu tempat?” tanya Hanif.
“Hhmm.. Sepertinya aku langsung pulang, Nif. Cucianku di rumah numpuk, kalau tidak aku kerjakan sepulang dari sini yang ada aku tidak ada pakaian ganti,” jawab Laura tertawa kecil.
Dari kejauhan, rupanya Morgan melihat keduanya yang terlihat asik mengobrol satu sama lain.
Morgan ingin sekali melabrak mereka, namun Morgan sadar kalau dirinya tidak berhak melakukan itu.
Morgan pun duduk dan hanya bisa memperhatikan mereka dari kejauhan.
“Laura, apa kamu masih belum menerimaku?” tanya Hanif penasaran yang entah kenapa ia tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali menyatakan perasaannya kepada Laura.
Laura menjadi bingungnya, ia menoleh ke arah sekitar dan tak sengaja melihat Morgan sedang duduk sendirian sedang menatapnya.
“Laura...” Panggilan Hanif membuat Laura terkesiap.
“Iya, Nif. Kenapa?” tanya Laura yang nampak tak nyaman.
“Kamu boleh kok menolak ku lagi dan aku akan terus menanyakan hal yang sama padamu, sampai aku sendiri lelah dengan diriku sendiri,” pungkas Hanif.
Laura hanya diam dan menunduk karena bingung harus bagaimana. Sampai akhirnya pesanan mereka datang dan Laura memfokuskan perhatiannya kepada minum serta cemilan miliknya.
“Laura, apa kamu sakit?” tanya Hanif ketika melihat keringat Laura yang terus bercucuran sebesar biji jagung.
Hanif mengeluarkan tisu miliknya dan memberikannya kepada Laura.
“Kalau sakit, apa tidak sebaiknya kita pergi ke klinik atau ke rumah sakit?” tanya Hanif khawatir.
Laura mengusap keringatnya dan entah setan apa yang merasuki dirinya. Gadis itu dengan suara gemetar menerima perasaan Hanif.
“A.. Aku menerima perasaan kamu, Nif.” Laura hanya ingin Morgan tak mendekatinya lagi dan berusaha menerima cinta Hanif setelah sekian tahun ia menolak Hanif.
Hanif terdiam sejenak, pria itu sangat terkejut bercampur senang mendengar jawaban Laura.
Setelah sekian lama menunggu dan ditolak berulang kali, Laura akhirnya membalas perasaannya.
“Kamu serius membalas perasaanku, Laura?” tanya Hanif yang sangat antusias itu.
“Iya Nif, aku serius. Kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa,” jawab Laura yang sesekali menoleh ke arah Morgan.
Morgan saat itu terlihat sangat sedih, karena mereka berdua terlihat sangat dekat. Morgan sangat ingin berada diposisi Hanif yang terlihat bahagia bersama Laura.