Saat berusia tiga tahun, kedua orang tua Sherinda memutuskan untuk berpisah. Sherinda tinggal berdua bersama ibunya, sedangkan sang ayah sudah menikah lagi dengan mantan kekasihnya dulu.
Seiring berjalanannya waktu, semakin hari kesehatan ibu Sherinda menurun. Dokter memvonis ibu Sherinda terkena kanker usus stadium akhir.
Karena tidak memiliki uang, akhirnya Sherinda memutuskan meminta bantuan ayahnya untuk membiayai pengobatan ibunya.
Sang ayah mau membantu, Asal Sherinda mau di jodohkan dengan anak rekan bisnisnya. Mau tak mau Sherinda pun mengiyakan, asal sang ayah mau membantu membiayai pengobatan ibunya.
Siapakah sosok laki-laki yang ingin di jodohkan dengan Sherinda?
Yuk simak cerita selanjutnya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Tok
Tok
Tok
Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar begitu keras dan membuat jantung Sherinda berdegup kencang. Ketukan itu terdengar tiga kali, seolah menekankan urgensi dari orang yang ada di balik pintu.
Sherinda langsung beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah gontai menuju pintu.
Ceklek...
Pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Zein, lelaki yang semalam telah merebut kehormatannya.
Wajah Sherinda tampak datar, namun di dalam hatinya bergolak. "Ada apa?" tanya Sherinda dengan suara yang berusaha ditekan agar tetap tenang.
"Aku ingin memberikan ini untukmu, sebagai bayaran atas kesucianmu yang sudah aku renggut," ucap Zein dengan nada dingin, sambil menyodorkan selembar cek ke arah Sherinda.
Seketika, emosi Sherinda memuncak. Matanya terpejam rapat, menahan air mata yang hampir jatuh. Napasnya dihela panjang, mencoba mengendalikan amarah yang membara.
Tangan gemetar ketika menerima cek dari Zein, tubuhnya menegang seolah terkena sengatan listrik. "Dari mana kamu tahu aku butuh uang?" tanya Sherinda dengan suara parau, menatap mata Zein yang kosong dan dingin.
"Tidak peduli apakah kamu butuh atau tidak, anggap saja ini sebagai kompensasi," jawab Zein, masih dengan nada dingin yang menusuk kalbu.
Sherinda menunduk, merasakan airmata yang mulai menetes membasahi pipinya. Selembar cek di tangannya menjadi lambang penghinaan yang tak termaafkan, namun juga menjadi pengingat akan luka yang telah dia terima.
Sherinda merasa hancur. Tangannya bergetar saat menutup pintu kamarnya perlahan, membiarkan Zein berdiri sendirian di luar sana.
Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung ambruk di lantai, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Hatinya tercabik-cabik oleh kata-kata pedas yang baru saja keluar dari mulut Zein.
Sedih dan marah bercampur menjadi satu, namun Sherinda mencoba untuk tidak menyalahkan kejadian semalam. Dia tahu, sebagai seorang istri, memang tugasnya untuk melayani suaminya. Namun, bukankah seharusnya Zein bisa lebih menghargai dan memperlakukannya dengan baik? Bukankah seharusnya Zein meminta maaf karena telah melukai perasaan Sherinda, bukan malah memberinya uang seolah-olah ia adalah wanita murahan? Tenggorokan Sherinda terasa tercekat oleh isak tangisnya.
Hati ini merasa kecil, dilecehkan, diinjak-injak oleh orang yang seharusnya melindunginya. Terbaring di lantai, ia meratapi nasibnya yang harus menghadapi penghinaan yang menyakitkan ini. Semoga saja, suatu hari nanti, Zein akan menyadari kesalahannya dan benar-benar meminta maaf dari hati yang tulus. Hingga saat itu, Sherinda akan tetap menangis dan berdoa untuk hati yang terluka ini.
Sherinda meremas cek 1milliar tersebut dan merobeknya menjadi beberapa bagian. Dia memang membutuhkan uang, namun dia tidak mau menerima cek tersebut. menggunkan uang itu sama saja dia merendahkan harga dirinya sendiri di hadapan suaminya.
Sementara itu di luar kamar, Zein hanya mengendikkan bahunya dan berlalu begitu saja dari kamar Sherinda.
"Bukan salahku, aku sudah baik ingin meminta maaf. Tapi dengan sombongnya dia tidak mau menerimanya" ucap Zein yang sama sekali tidak merasa bersalah. Ia merasa tindakannya sudah benar, dengan memberikan kompensasi untuk sang istri.
*
*
*
Sandra dan suaminya tiba di rumah Zein di pagi hari yang sejuk. Ketika pintu rumah terbuka, pelayan Zein menyambut mereka dengan senyum ramah dan mengundang mereka masuk.
Mereka melangkah ke dalam rumah yang luas dan elegan, namun terasa sepi tanpa kehadiran anak dan menantu mereka.
"Pada kemana, Bi? Kenapa sepi sekali?" tanya Sandra dengan nada penasaran, sambil melirik ke sekeliling ruangan yang tampak kosong.
"Non Sherinda sudah berangkat jualan, Nyonya. Sedangkan tuan Zein masih di kamarnya," jawab sang pelayan dengan sopan, lalu membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat.
Sandra mengangguk paham, dia tidak begitu perduli dengan apa yang di lakukan Sherinda.
Ia dan suaminya kemudian duduk di sofa empuk yang berada di ruang tengah, menunggu Zein turun dari kamarnya.
Suasana rumah terasa hening, hanya terdengar suara burung-burung yang berkicau di luar sana dan suara langkah kaki pelayan yang berjalan perlahan di lantai marmer yang mengkilap.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar terbuka dan langkah kaki yang semakin mendekat. Zein muncul dari tangga dengan wajah yang tampak lesu, namun segera tersenyum ketika melihat kedua orangtuanya sudah menunggunya di ruang tengah.
"Mom, dad, ada apa kalian pagi-pagi datang kemari" tanya Zein sambil menghampiri kedua orangtuanya.
Sandra merasa tersinggung dengan pertanyaan yang dilontarkan putranya itu sebelumnya. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu tidak suka melihat mommy dan daddy datang ke sini?" ketus Sandra, wajahnya tampak cemberut.
Zein menghela nafas pelan, merasa ibunya terlalu sensitif. "Bukan begitu, mom," ujarnya lembut, "Aku hanya kaget saja melihat kalian berdua tiba-tiba datang ke rumahku tanpa memberitahu terlebih dahulu." Bram, ayah Zein, yang melihat pertengkaran antara istrinya dan anaknya, mencoba mengalihkan perhatian mereka.
"Bagaimana hubunganmu dengan Sherinda?" tanya Bram dengan tegas, menghentikan perdebatan yang mulai memanas antara Sandra dan Zein.
"Masih sama," jawab Zein acuh tak acuh, menghindari kontak mata dengan ayahnya. Wajahnya terlihat gelisah, seolah-olah dia berada dalam situasi yang sangat tidak diinginkannya saat membahas hubungannya dengan Sherinda.
Bram menghela nafas panjang, kecewa mendengar jawaban putranya. Artinya, hubungan antara Zein dan Sherinda belum ada kemajuan sama sekali. Bram merasa prihatin dengan keadaan tersebut, namun tidak bisa banyak membantu.
"Kamu masih mencari Kiara?" tanya Bram, mencoba menggali lebih dalam perasaan putranya.
Mata Zein langsung bersinar saat mendengar nama Kiara, membuat Bram semakin ingin tahu.
"Tentu saja, bukankah kalian tahu dari dulu aku sangat mencintainya? Kalian saja yang tidak pernah merestui," ujar Zein dengan nada sedikit meninggi. Dia merasa kesal karena hubungan mereka dulu sempat terhalang oleh orang tua mereka.
Sandra menyela, "Kamu tahu sendiri, Zein, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami khawatir kamu akan menyesal jika tetap bersikeras."
Namun Zein tetap bersikukuh, "Cinta tidak bisa dipaksakan, mom. Aku tidak mencintai Sherinda dan sampai kapan pun akan seperti itu" tegas Zein.
Tanpa mereka sadari ada pasang mata yang mendengar obrolan mereka. orang itu yang tak lain adalah sherinda, dia baru saja pulang dari berjualan dan tidak sengaja mendengar obrolan mereka.
"Jadi benar, Zein sudah memiliki kekasih" ucap She'd nda sambil tersenyum miris.
Bersambung.
Maaf othor sempat menghilang gaes. sudah tiga minggu othor sakit, dan sekarang baru benar-benar pulih.
pengen tak getok kepalanya si zein ini 😡 jahat banget tau 😤 dia juga sedikitpun tidak mau menikah dengan mu jika bukan karena ancaman ayahmu.
buka novel isinya begini lagi begini lagi. dijodohkan. si laki punya pacar. trus si laki jahat ke istri. si istri dibuat mencintai si suami. dibuat menderita se menderitanya.
haddeuh dh apal luar kelapa