Hubungan antara Raka dan Jena memang baik-baik saja. Tetapi saat seorang teman kelas Jena memberitahu bahwa Raka sedang bersama seorang perempuan, membuat Jena merasa curiga bahwa Raka menjalin suatu hubungan dengan perempuan itu yang mana perempuan itu adalah sahabat Jena.
Namun kenyataannya, bukan dengan sahabat Jena melainkan dengan seseorang yang bahkan Jena tidak kenal. Dengan begitu, Jena akhirnya memutuskan hubungan dengan Raka dan bahkan Jena membuat kesepakatan dengan seorang lelaki bernama Jevan supaya menjadikan dia sebagai pacar pura-pura Jena.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Perkataan Manda terus terngiang-ngiang dipikiranku. Aku juga tak tahu kenapa terus memikirkan perkataannya, padahal biasanya aku jarang memikirkan perkataan yang membuatku sedih.
"Jena" panggil Tasya yang membuat lamunanku buyar.
"Kenapa?"
"Lo kenapa sih? kalau ada masalah coba cerita sama gue."
Aku terdiam sambil memikirkan apakah aku harus bercerita atau tidak kepada Tasya.
"Ayo cerita, gue janji gak akan kasih tahu ke siapapun."
Aku menatap Tasya sambil menghela nafas. "Memangnya gue kelihatan kayak cewek murahan ya?"
"Enggak. Siapa yang bilang kayak gitu?"
Aku hanya menggelengkan kepala, jika aku memberitahu nantinya masalahnya akan tambah besar. Sebab aku tahu pasti Tasya akan memarahi orang itu.
"Gue gak mau kasih tahu, soalnya gue takut kalau lo marah sama dia."
"Gue janji gak akan marah sama orang itu."
"Manda yang bilang kayak gitu."
Setelah mendengar perkataanku, Tasya langsung buru-buru pergi dan tentunya aku juga ikut menyusulnya karena aku sangat yakin bahwa Tasya akan memarahi Manda.
"Tasya! lo kan udah janji buat gak marahin dia."
"Orang kayak gitu harus dikasih pelajaran, Jen."
Aku menahan Tasya. "Udah biarkan aja, lagipula sekarang gue gak apa-apa."
"Serius gak apa-apa?" tanya Tasya memastikan lalu aku mengiyakannya.
Skip
Sesampainya di kelas, Raka dan Jevan langsung datang menghampiriku dan bertanya mengapa tadi aku menangis. Tentunya aku berbohong dan menjelaskan kepada mereka bahwa aku teringat film sedih yang aku tonton semalam.
"Sya, sehabis bersih-bersih diperbolehkan untuk pulang gak sih?"
"Katanya sih boleh pulang setelah ada pengumuman," kata Tasya.
"Jen, nanti pulang bareng ya," kata Raka.
"Enggak, aku mau pulang sendiri aja."
Jevan tertawa saat melihat Jena menolak ajakan Raka. Jevan pikir dengan keduanya berbaikan lagi akan menjadi peluang besar untuk Raka, tetapi dugaan Jevan salah besar.
"Ka, lebih baik kamu pulang bareng Naura aja. Soalnya kasihan dia lagi sakit."
"Enggak mau, lagian dia bisa pulang pakai supir pribadinya," ujar Raka.
Beberapa menit kemudian, terdengar pengumuman bahwa seluruh murid diperbolehkan pulang. Serentak semuanya mengambil tas masing-masing dan segera keluar dari kelas.
"Sya, mau main dulu gak?"
"Main kemana?"
"Ke rumah gue, soalnya udah lama kan lo gak main ke rumah gue."
"Ya udah boleh."
Akhirnya kita berdua bergegas pergi dengan mengendarai angkutan umum.
...****...
Raka POV
Tiba-tiba Mamah menelponku dan menyuruhku untuk pulang bersama Naura dikarenakan hari ini supir pribadi Naura sedang pergi ke kampung halamannya. Dengan terpaksa, aku harus menuruti perintah Mamah karena jika tidak, mungkin Mamah akan memarahiku.
Saat aku hendak pergi menuju kelas Naura, pandanganku seketika teralihkan pada Jena dan Tasya yang sedang berjalan menuju arah gerbang. Kemudian aku berlari mengejar keduanya. Sebenarnya tujuan aku hanya satu, yaitu ingin basa-basi saja dengan Jena.
"Kalian mau kemana?"
"Mau ke rumah Jena," jawab Tasya.
"Hati-hati ya di jalannya." Aku melirik kearah Jena tetapi dia tidak merespon dan hanya menundukkan kepalanya.
Aku tak mengerti mengapa dia kembali cuek padaku, padahal semalam kita telah jalan-jalan bersama dan bisa dilihat juga bahwa dia bahagia dekat denganku. Tapi anehnya sekarang dia seperti sedang menghindar dariku.
"Kalau gitu aku kesana dulu ya," ucapku sambil menunjuk ke kelas Naura.
"Kenapa kesana? emang lo gak pulang?" tanya Tasya.
"Gue mau ke kelas Naura, mau pulang bareng sama dia."
"Pelan-pelan bawa motornya, soalnya Naura lagi sakit," kata Jena.
Aku tersenyum karena akhirnya Jena berbicara kepadaku. Aku jadi penasaran, mengapa Jena dan Naura terlihat begitu dekat padahal mereka belum lama berteman.
"Oh iya, semalam dimarahin sama orang tua kamu gak?"
"Semalam? memangnya kalian kemana?" tanya Tasya penasaran.
"Sya, ayo pulang." Jena menarik tangan Tasya dan membawanya pergi menuju gerbang.
Melihat Jena seperti itu membuatku ingin tertawa. Apalagi saat dia menarik-narik Tasya layaknya anak kecil, bagiku itu yang menjadi bagian terlucu.
"Kak Jevan!" panggil Naura sambil berjalan ke arahku.
"Apa?" tanyaku dengan ekspresi wajah dingin.
"Kata Papah, aku disuruh pulang bareng sama Kakak."
"Ya udah ayo!" aku segera mengajaknya pergi menuju parkiran.
Skip
Kini aku telah sampai di rumah Papahnya Naura. Ya, sekarang aku akan tinggal disini. Meskipun rumah ini sangat besar, kurasa aku tidak akan nyaman berada disini.
"Ini rumahnya?" tanyaku, namun Naura tidak menjawab dan langsung masuk kedalam rumah.
Menyebalkan, itulah kata yang keluar dari mulutku saat melihat Naura. Sikapnya yang sombong membuatku jadi tak menyukainya. Pantas saja tidak ada teman sekelas yang ingin menjadi temannya.
"Raka!" panggil Mamah. Lalu aku turun dari motor dan langsung menghampirinya.
"Ada apa, Mah?"
"Naura kok kelihatannya kayak gak baik-baik aja. Apa kamu berantem ya sama dia?"
"Bukan karena berantem, Mah. Tapi dia lagi sakit, tadi juga pingsan di sekolah."
Mamah menyuruhku untuk membelikan obat di apotek dan lagi-lagi aku harus menuruti perkataannya. Sejujurnya aku sangat malas. Namun apa boleh buat, aku harus menuruti perintah Mamah agar sang tuan putri cepat sembuh.
Beberapa menit kemudian, aku kembali ke rumah setelah membelikan obat untuk Naura. Tadinya aku ingin memberikan obat tersebut ke Mamah agar nanti diantarkan kepada Naura. Namun karena Mamah saat ini sedang membereskan barang, jadi akhirnya akulah yang mengantarkan obatnya ke kamar Naura.
Tok! Tok!
Tak butuh waktu lama, Naura membuka pintu kamarnya. Kamarnya sangat berantakan, lebih tepatnya banyak sekali box yang berada di lantai.
"Ada apa?" tanya Naura.
Aku memberikan obat kepada Naura. Anehnya dia berterima kasih kepadaku. Kupikir orang seperti dia tidak pernah sekalipun mengatakan kata terima kasih.
"Kok kamar lo berantakan banget."
Naura menoleh ke belakang. "Setiap hari kamar aku emang kayak gitu, soalnya aku harus bikin video unboxing."
Aku sangat syok mendengarnya. Pantas saja Naura pingsan saat di sekolah dan ternyata dia kecapean karena harus bekerja tiap hari.
"Lebih baik sekarang lo istirahat aja. Lo kan tadi habis pingsan, takutnya lo makin sakit."
Naura menatap Raka lalu dia mengangguk mengiyakan perkataan Raka.
"Udah makan?"
"Udah tadi di sekolah," jawab Naura.
"Ya udah sekarang makan lagi. Sebelum makan obat kan harus makan dulu."
"Iya, nanti aku makan."
Sesudah berbincang-bincang dengan Naura, aku segera masuk ke kamarku. Saat masuk ke kamar, barang-barang milikku sudah tersusun persis seperti di kamarku yang dulu. Namun, aku merasakan ada yang kurang dari barang-barang milikku. Ya, aku tidak melihat ada fotoku beserta, Bagas, Mamah dan Papah yang berada diatas laci. Aku hanya memaklumi saja, karena sepertinya Mamah memang sengaja tidak membawa foto itu ke rumah ini.