NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Tanda dari Langit

Hari itu langit desa mendung sejak pagi. Bukan mendung biasa, tapi mendung pekat seperti jelaga yang menggantung di langit. Reno berdiri di depan rumah, memandangi angin yang membuat dedaunan bergoyang resah. Ajo duduk di bale bambu, memainkan batu segel yang mereka dapat dari Pak Samin.

“Ren,” kata Ajo, “kau yakin malam ini waktunya?”

Reno mengangguk. “Pak Samin bilang malam bulan mati, dan itu malam ini. Tidak ada cahaya bulan sedikit pun. Hanya gelap.”

Ajo menyandarkan punggungnya. “Aku ini penakut, Ren. Tapi kalau kau butuh aku di sampingmu, aku bakal ikut. Walau kalau lihat cacing saja aku bisa lari.”

Reno tersenyum. “Aku tahu, Jo. Tapi kehadiranmu lebih penting dari keberanianmu.”

Sore itu mereka duduk lama. Ibu Reno, Bu Sari, terlihat resah. Ia memasak lebih banyak dari biasanya, dan berulang kali mengintip ke luar jendela.

“Mau ke mana kalian malam-malam?” tanya Bu Sari pelan saat Reno berpamitan.

“Ke sumur tua, Bu. Ada hal yang harus aku selesaikan.”

Bu Sari menggenggam tangan anaknya erat. “Ayahmu dulu juga bilang begitu. Tapi dia pulang dalam keadaan luka dan diam. Aku tak ingin kau mengalami hal yang sama.”

Reno menunduk, lalu mencium tangan ibunya. “Doakan saja, Bu. Aku akan kembali.”

Sebelum berangkat, Reno mengenakan kalung tulang ayam pemberian Pak Cokro, menyelipkan batu segel di saku dalam jaketnya, dan menggenggam pisau kecil warisan ayahnya. Malam turun perlahan, seperti tirai hitam yang melingkupi desa. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya suara angin dan kecipak air dari sungai kecil di kejauhan.

Mereka melewati jalanan sempit menuju sumur tua. Di sepanjang jalan, anjing-anjing melolong. Lampu-lampu rumah mati secara bersamaan seperti dikendalikan sesuatu. Ajo terus menggumam doa-doa yang ia hafal sejak kecil.

Sesampainya di sumur tua, udara terasa lebih berat. Aroma anyir darah menguar dari dasar sumur. Reno memejamkan mata, mengingat ucapan Pak Samin: “Jangan percaya apa yang kau lihat nanti.”

Ia berdiri di pinggir sumur, mengeluarkan kertas mantra, dan mulai melafalkannya pelan. Angin tiba-tiba berhenti. Suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam.

Tiba-tiba, dari balik gelap, suara tawa menggema. Suara itu nyaring, seperti perempuan, tapi bernada ganjil.

“Kau pikir kau bisa mengurungku lagi?”

Sosok kepala tanpa tubuh melayang dari balik semak. Rambutnya panjang menjuntai, wajahnya rusak, dan lidahnya menjulur ke bawah. Di lehernya menjuntai usus dan darah yang menetes tak henti.

Reno menggenggam pisau. “Aku bukan ayahku. Aku tidak akan lari.”

Palasik itu melayang cepat, menghantamkan dirinya ke arah Reno. Tapi Ajo berteriak sambil melemparkan segenggam garam ke arahnya. Sosok itu menjerit dan mundur, tubuhnya mengepul seperti terbakar.

“Garam, Ren! Pak Samin bilang garam bisa lemahkan dia!”

Reno meletakkan batu segel di bibir sumur. Ia terus melafalkan mantra meski tubuhnya gemetar. Palasik terus berteriak, kadang berubah wujud—menyerupai ayahnya, ibunya, bahkan dirinya sendiri yang berlumuran darah.

“Reno... kau membunuhku...”

“Bukan kau,” bisik Reno. “Itu cuma bayangan.”

Tiba-tiba batu segel bersinar merah. Dari dalam sumur terdengar suara ledakan kecil. Angin menderu seperti badai. Reno menjatuhkan pisau ke dalam sumur sambil melafalkan kalimat terakhir.

Seketika semuanya senyap. Angin berhenti. Sosok Palasik membeku di udara, lalu perlahan-lahan terhisap ke dalam sumur, seperti debu tertarik ke lubang gelap.

Reno jatuh berlutut. Ajo berlari mendekat, memeluknya.

“Kau berhasil, Ren... kita masih hidup!”

Reno menatap ke arah sumur. Batu segel kini pecah menjadi dua. Kalung tulang ayam di lehernya mulai berasap, lalu terbakar dan menghilang begitu saja.

Ajo terdiam. “Apa artinya itu?”

Reno berdiri pelan. “Artinya aku bukan anak biasa lagi. Aku penjaga sekarang.”

Dari langit, tetes hujan pertama turun. Tapi hujan itu tidak dingin. Ia membawa hawa segar, seperti mencuci darah dan kengerian malam itu.

Reno dan Ajo berjalan pulang dalam diam. Tapi dalam hati mereka, sesuatu telah berubah. Dan meski malam telah selesai, kisah tentang Palasik baru saja dimulai.

Pagi itu, matahari kembali menyinari Desa Rambahan. Udara yang semalam terasa tegang kini terasa lebih tenang. Burung-burung kembali berkicau, dan anak-anak kecil berlarian di pematang sawah sambil tertawa lepas. Seolah malam menakutkan kemarin tak pernah terjadi.

Tapi tidak bagi Reno.

Ia berdiri di belakang rumah, menatap sumur tua dari kejauhan. Meski telah disegel, Reno merasa sesuatu masih belum selesai. Ada bisikan samar di telinganya, seakan ada mata yang terus mengawasinya.

Di dalam rumah, Bu Sari memperhatikan anaknya dengan tatapan khawatir. “Kau makan dulu, Nak,” katanya sambil menyajikan sepiring nasi uduk dan telur dadar. “Kau tampak pucat.”

Reno mengangguk. Ia duduk dan mencoba makan, meski selera makannya lenyap.

Tak lama, Ajo datang dengan gaya khasnya. Celana ngatung, kaus lusuh, dan rambut acak-acakan.

“Reno!” serunya sambil nyelonong masuk. “Kabar baik! Si Bibah warung depan ngasih aku nasi bungkus gratis. Katanya, aku pahlawan desa!”

Bu Sari tertawa kecil. “Pahlawan? Kau cuma teriak-teriak semalam.”

“Eh, Bu, itu strategi pertahanan jiwa,” kata Ajo. “Kalau saya nggak teriak, bisa-bisa Palasik pikir saya bukan manusia.”

Reno tersenyum, tapi matanya tetap kosong. Ajo memperhatikan sahabatnya itu. Ia tahu Reno belum sepenuhnya tenang.

“Masih kepikiran sumur itu?” tanya Ajo.

Reno mengangguk pelan. “Aku merasa... ada yang belum selesai. Malam itu Palasik menghilang, tapi bukan berarti dia mati.”

Ajo menggaruk kepala. “Kalau dia bangkit lagi, kita hadapi lagi. Tapi kali ini, bawa kemenyan satu karung. Dan mungkin... kucing hitam. Katanya bisa usir makhluk halus.”

“Yang benar saja, Jo,” sahut Reno pelan. “Kita bukan sedang main sandiwara.”

Ajo mendecak. “Lho, lho, serius aku. Nenekku bilang, kalau ada arwah yang belum tenang, dia suka datang... lewat jendela.”

Malamnya, Reno mencoba tidur lebih awal. Tapi pukul satu malam, ia terbangun oleh suara ketukan pelan di jendela kamarnya. 'Tok... tok... tok...'

Reno membuka mata perlahan. Ruangan gelap. Ia menoleh ke arah jendela. Tirai kain tipis bergoyang pelan. Tidak ada suara lain. Hanya detak jantungnya yang berdetak cepat.

Ia berdiri dan perlahan membuka tirai. Di luar, hanya gelap. Tapi di kaca jendela, samar-samar, terlihat bekas telapak tangan. Seperti tangan kecil... tangan anak-anak.

Reno menelan ludah. Ia membuka jendela perlahan. Tidak ada siapa pun.

Keesokan paginya, ia menceritakan hal itu pada Ajo.

“Aku yakin ada yang datang semalam. Tapi bukan Palasik. Itu tangan kecil... seperti milik anak kecil.”

Ajo tampak berpikir. “Palasik bisa berubah-ubah wujud, kan? Tapi bisa juga... ada sesuatu yang lain.”

Reno mengangguk. “Mungkin ada arwah lain yang ikut terbangun ketika Palasik dilemahkan.”

Hari itu mereka memutuskan mengunjungi kembali rumah Pak Samin di bukit belakang. Kali ini, mereka membawa kue ketan dan kopi hitam sebagai bentuk hormat.

Pak Samin menyambut mereka dengan senyum lesu. “Kalian pikir semuanya sudah selesai?”

Reno menjawab, “Kami rasa belum. Ada yang datang semalam ke jendela rumahku.”

Pak Samin menatap Reno dalam-dalam. “Sumur itu bukan hanya gerbang bagi satu arwah. Ia adalah celah. Dan ketika celah itu terbuka, banyak yang bisa lolos.”

Ajo menelan ludah. “Jadi... kita ini sudah buka pintu neraka, Pak?”

Pak Samin mengangguk pelan. “Kalian telah membuka ruang antara. Bukan hanya Palasik yang terikat dengan tempat itu. Ada anak-anak yang mati tanpa nama. Ada arwah penasaran. Ada mereka yang tidak sempat berpulang.”

Reno menghela napas. “Apa yang harus kami lakukan?”

“Bersihkan sumur. Bukan hanya menyegelnya. Tapi bersihkan dari sejarah kelam. Temukan tulang-tulang yang belum dimakamkan. Mereka menunggu.”

Ajo menepuk jidatnya. “Aduh, tulang lagi. Ini kerjaannya makin seperti jadi penggali kubur, Ren.”

Pak Samin tertawa pelan. “Kadang yang hidup harus membayar hutang orang mati.”

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!