Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GREPE
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk dari celah tirai kamar hotel di Yogyakarta. Febi menggeliat pelan, menyadari bahwa ia masih berada dalam pelukan hangat Arkan. Lengan kekar pria itu membungkus pinggangnya erat, napasnya teratur di belakang telinga Febi.
Ia mencoba bangkit perlahan, namun Arkan justru menarik tubuhnya makin dekat dan berbisik dengan suara serak yang baru bangun tidur.
"Udah bangun? Tapi aku belum selesai mimpiin kamu..."
Febi mendesis pelan, menahan tawa sekaligus kesal.
"Mas, kita harus siap-siap. Hari ini mau keliling Jogja, kan?"
"Iya sih. Tapi... wisata paling indah itu kamu."
"Ih mas kamu itu gombal banget deh pagi-pagi."
"Biarin. Kan aku gombalnya cuma sama kamu, sayang." Arkan semakin mengeratkan pelukannya.
"Mas, lepasin dong. Aku mau mandi."
"Kita mandi bareng, yah..." goda Arkan.
"Dasar mesum. Ingat yah mas, kita belum suami istri. Jadi nggak usah ada gerakan berlebihan."
"Kalau cium boleh?"
"Itu... hmmmm..."
Tanpa menunggu jawaban, Arkan kini berada di atas Febi. Febi yang berada di bawah menatap wajah kekasihnya itu, tetap tampan meskipun baru bangun tidur dan perutnya yang six pack seperti roti. Tanpa sadar Febi meraba perut itu.
Arkan tergoda dan kemudian mencium Febi dengan lembut. Ia melumat bibir ranum itu perlahan namun pasti menjelajahi rongga mulut Febi.
Suasana menjadi panas. Febi mulai terbawa suasana. Ia merasakan milik Arkan menegang di bawah sana. Ada yang mengganjal di bagian intinya.
"Mpphh... masss..." panggil Febi pelan.
Namun Arkan tidak mendengar, ia terus melanjutkan lumatannya. Kemudian beralih ke leher Febi. Ia mengecup leher itu sampai Febi merinding. Tangan Arkan tak tinggal diam. Ia meremas salah satu gunung kembar Febi dengan lembut di balik baju kost tipis itu.
Febi menggigit bibirnya, menahan desahan yang akan keluar.
"Jangan ditahan, sayang. Mendesah saja." kata Arkan yang sudah bergairah sejak tadi.
"Aaahhhhh..." akhirnya Febi mendesah juga karena tanpa sadar tangan Arkan sudah menyelinap masuk ke dalam CD Febi entah sejak kapan.
Ia memainkan dua jarinya di bawah sana. Membuat Febi frustrasi dalam kenikmatan.
"Aahhh… mas…"
"Apa, sayang? Apa ini enak?"
"Ahh i..iyaaa mas… aku… ah… rasanya ingin… pipis."
"Keluarkan saja, sayang..." Arkan terus memainkan inti Febi di bawah sana.
Sampai Febi dibuat kejang. Ia klimaks di pagi hari ini. Ia mengatur napasnya. Arkan berseringai melihat wajah kekasihnya itu. Tapi adik kecilnya masih tegang. Ia ingin dimanja juga.
"Sayang… apa kamu ingin menyentuhnya? Dia memberontak dari tadi."
Febi menatap bagian bawah Arkan yang benar-benar berdiri tegak di balik boxer itu. Rasanya seperti sesak.
"Aku… aku takut mas."
"Nggak usah takut, sayang. Dia nggak gigit kok. Kamu coba yah..."
Arkan menuntun tangan Febi menyelusup masuk ke dalam boxer-nya. Awalnya kaku, tangan Arkan menuntun Febi untuk menaik-turunkan adik kecil itu sampai Febi bisa sendiri.
Akhirnya setelah satu jam grepe-grepe, mereka mengakhiri dengan sesi mandi masing-masing.
**
Perjalanan mereka dimulai dari Candi Prambanan. Febi berjalan pelan menyusuri relief dinding kuno, matanya berbinar. Arkan memotretnya diam-diam.
"Kamu tahu nggak? Kamu lebih indah dari sejarah manapun yang pernah aku pelajari."
Febi mengangkat alis.
"Mas Arkan, ini Prambanan. Jangan cemari dengan rayuan murahan, ya."
"Rayuannya sih murahan, tapi yang dirayu mahal. Nggak bisa diganti."
Usai dari Prambanan, mereka menuju Hutan Pinus Mangunan. Di antara pohon-pohon tinggi yang sunyi, Arkan menggandeng tangan Febi.
"Feb... Kamu yakin udah nggak mikirin dia?"
"Siapa? Roni?" Febi menatap tajam. "Udah lama selesai. Sekarang cuma ada kamu. Tapi jangan ke-PD-an juga ya."
Arkan tertawa puas. Hatinya tenang. Ia bukan pilihan cadangan. Ia lelaki yang dipilih.
**
Sementara itu di Jakarta, rumah keluarga Raisa penuh dekorasi putih emas. Tamu mulai berdatangan. Di tengah keramaian, Roni duduk kaku, mengenakan batik lengan panjang, sementara cincin mahal dalam kotak beludru tergenggam di tangannya.
Raisa masuk dengan kebaya modern, senyum lebarnya penuh kemenangan.
"Akhirnya... hari yang kutunggu juga datang." bisiknya sambil memeluk lengan Roni.
Roni membalas senyum, tapi matanya kosong. Ia seperti tubuh yang hadir tanpa jiwa.
Prosesi lamaran dimulai. Cincin disematkan. Foto-foto diambil. Orang-orang bersorak. Tapi di hati Roni, ada yang tak ikut merayakan.
Saat semua sibuk makan, Roni mencuri pandang ke HP-nya. Ia membuka Instagram. Story Febi muncul. Febi duduk di tebing batu, tertawa lepas sendirian. Senyumnya murni. Bukan senyum yang pernah Roni lihat.
Ia mengetik pelan:
"Jogja indah, ya? Kangen kamu, Feb..."
Lalu... tidak jadi dikirim. Ia hapus. Ia sadar, Febi benar-benar bukan miliknya lagi.
**
Sore di Tebing Breksi membawa angin dan gerimis kecil. Febi berdiri di tepi tebing, rambutnya tertiup lembut. Arkan mendekat dan memeluk dari belakang, menyampirkan jaket ke pundak Febi.
"Kalau kamu terus sedeket ini, aku bisa ngerusak citra baikku loh."
"Citra baik Mas? Bukannya udah rusak dari dulu?" jawab Febi, geli.
Hujan turun lebih deras. Mereka berteduh di bawah gazebo kecil. Di sana, Arkan menatap Febi lekat-lekat.
"Aku serius sama kamu. Kalau aku ajak kamu nikah... kamu mau?"
Febi terdiam. Matanya menatap hujan yang jatuh perlahan. Lalu dengan suara lembut, ia berkata:
"Tanyain lagi nanti... pas kamu berhenti bercanda soal ranjang."
Arkan tertawa pelan. Tapi matanya tak bisa bohong. Kali ini ia serius.
**
Malam itu, Febi duduk di balkon hotel. Suasana sepi, hanya suara serangga malam dan deru angin dari kejauhan.
Ia membuka HP. Ada satu pesan lama dari Roni pesan yang belum pernah ia hapus.
Pelan-pelan, ia buka... lalu tekan “hapus chat.”
"Beberapa bab memang harus ditutup. Ini? Sudah selesai."
Febi menghela napas lega.
Di belakangnya, pintu kamar diketuk. Arkan muncul membawa dua gelas wedang ronde.
"Kamu kelihatan tenang sekali."
"Iya, Mas. Karena akhirnya... aku tahu aku nggak perlu lihat ke belakang lagi."
Arkan duduk di sampingnya. Mereka menatap langit malam Yogyakarta yang kelabu tapi damai.
Arkan kini berbicara serius…"Sayang… perkataanku tadi sore. Aku serius. Aku ingin menikahimu. Apa kamu tidak berkeinginan menikah denganku?" tanya Arkan dengan tatapan dalam.
Febi terdiam sesaat… ia berpikir hubungan mereka baru saja dimulai kemarin dan Arkan sudah ingin menikahinya.
"Apa ini tidak terlalu cepat mas? Maksudku, kita baru saja pacaran kemarin tapi mas sudah mau melamarku."
"Aku nggak ingin kehilangan kamu, Feb. Ini bukan masalah cepat. Aku sudah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali di kantor. Kamunya saja yang tidak peka."
"Cihh… Tapi mas... bagaimana dengan keluarga kita? Apa mereka tidak akan berpikir kalau kita terlalu buru-buru? Mereka akan bingung."
"Kalau Oma Ninggrum akan sangat senang jika cucu kesayangannya ini akan menikah, karena sejak dulu ia memang ingin aku menikah dan memberikannya cicit. Tapi dengan keluargamu, aku tidak tahu. Tapi aku akan mencoba bertemu mereka dan memintamu baik-baik. Kamu seriuskan dengan hubungan kita?"
"Aku... aku serius mas… tapi ini terlalu dadakan."
"Nggak apa-apa sayang. Lebih cepat lebih baik. Aku nggak tahan lama-lama pacaran. Aku takut khilaf kita terlalu jauh sampai buat kamu hamil."
Febi menggigit bibir bawahnya dan mengingat kejadian tadi pagi,grepe-grepe. Pipinya jadi merah.
"Pipi kamu merah, yang. Apa kamu mengingat kejadian tadi pagi atau ingin mengulangnya lagi?"
Febi memukul pelan lengan pria tersebut.
"Bercanda sayang... aku takut kalau kita grepe-grepe lagi si Joni bakal khilaf dan masuk ke gowanya."
"Masss… vulgar banget sih bahasanya."
Arkan tertawa.
"Kalau kamu setuju, bulan ini aku akan ke rumahmu, berbicara dengan orang tuamu. Melamarmu."
Febi mengangguk.
"Baiklah mas... Aku akan menunggumu."