Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5- Perdebatan membawa luka
Malam telah larut di desa Sukasari. Suasana sunyi hanya ditemani nyanyian jangkrik dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan. Langit malam berselimut awan, menutupi cahaya bulan. Di rumah sederhana itu, lampu minyak temaram menjadi satu-satunya penerang.
Arga melangkah pelan memasuki rumah. Baju koko sederhana yang dikenakannya masih terlihat rapi, sarungnya terlipat bersih di pinggang. Baru saja ia pulang dari mushola, menunaikan shalat Isya berjamaah bersama para lelaki kampung. Wajahnya teduh, meski lelah mulai terasa di tubuhnya.
Namun begitu menutup pintu, suara Tere langsung memanggil, membuat langkah Arga terhenti.
“Arga... aku mau bicara.”
Arga menoleh, sedikit terkejut dengan nada suara Tere yang tegas, nyaris tanpa emosi. Biasanya Tere hanya bicara sekadarnya sejak mereka menikah tiba-tiba itu. Arga menatap perempuan itu yang kini berdiri tegak di depan pintu kamar, rambutnya tergerai, wajahnya serius.
“Ada apa, Mba?” tanyanya pelan.
“Jangan panggil aku Mba! Aku nggak mau denger itu dari kamu,” Tere membentak tanpa sadar. “Dengar baik-baik. Aku mau kita selesaikan ini malam ini juga.”
Arga terdiam, menunggu Tere melanjutkan.
Tere merogoh tas tangannya, mengeluarkan sebuah buku cek. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke meja kecil di ruang depan, meletakkan cek itu di sana, lalu mengambil pena.
“Tulis aja berapa yang kamu mau. Berapa pun. Aku bayar. Syaratnya satu: kamu ceraikan aku. Besok aku minta kamu antar aku ke jalan utama, biar aku bisa pulang ke Jakarta.”
Arga memandang cek itu. Pandangannya kemudian beralih pada Tere, dalam dan menembus. Hatinya tercekat. Sedetik, dua detik, ia hanya diam. Lalu perlahan menggeleng.
“saya nggak mau uang Mba. Saya nggak mau cek ini. Saya menikah bukan buat dijual, bukan buat uang.”
Tere mencelos mendengar jawaban itu. Amarahnya memuncak. Ia menghentakkan tangan ke meja hingga cek itu terlipat sedikit.
“Apa sih maumu?! Aku nggak cinta kamu! Dengar itu baik-baik! Aku nggak mungkin cinta sama kamu! Kita beda segalanya! Umur kita aja jauh! Aku nggak suka anak kecil, ngerti?! Kamu itu bocah buat aku!”
Suara Tere menggema di rumah itu. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca karena luapan emosi. Dada Arga terasa nyeri, namun ia tetap berdiri tegak, menahan luka yang baru saja diukir dalam hatinya.
“Saya ngerti, mba,” jawab Arga lirih, tapi tegas. “Saya nggak maksa Mba cinta sama saya. Tapi saya juga nggak bisa main-main sama pernikahan ini. Saya bertanggung jawab, itu aja yang saya tahu.”
Tere mendengus, menahan isak yang nyaris pecah. Ia memalingkan wajah, menatap ke luar jendela, berharap bisa menenangkan hati yang berkecamuk. Tapi suara Arga kembali terdengar.
“Kalau mba mau pergi, silakan. Aku nggak tahanin. Tapi aku nggak akan ceraikan mba hanya karena uang atau karena mba anggap aku bocah.”
Hening menggantung. Hanya suara detak jantung mereka masing-masing yang terasa begitu keras di telinga. Tere meremas sisi meja, berusaha menahan tangis, menahan ego yang mulai retak.
Di luar, angin malam berhembus pelan, seolah ikut menyaksikan luka dua hati yang tersesat dalam pernikahan mendadak ini.
Tere akhirnya berbalik, melangkah cepat menuju kamar, menutup pintu dengan kasar, Tubuhnya bersandar di balik daun pintu, air matanya jatuh satu-satu. Bukan karena Arga, tapi karena dirinya sendiri—yang semakin bingung dengan hatinya.
Dan Arga? Ia duduk di lantai, menatap kosong cek di atas meja, sebelum akhirnya memejamkan mata, berdoa dalam hati agar Tuhan memberi mereka jalan keluar terbaik.