Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Putri keturunan dewa
Langkah mereka terhenti saat melewati dinding transparan itu.
Cahaya menyilaukan menyambut mereka dari kejauhan—dan ketika mata Oiko terbuka penuh…
“Itu… istana?”
Pandangan terbuka pada padang rumput hijau yang luas, dihiasi bunga-bunga aneh namun indah, dan di tengah langit,
sebuah bangunan megah melayang… istana yang mengapung di udara.
“I-Itu… istana mengapung!?”
Oiko mengucek matanya, tak percaya.
“Hah!? Beneran ini ngambang!?”
Di sampingnya, Aron mengepakkan sayap putihnya dan berseru:
“Ayo cepat, jangan lambat!”
Suara tegasnya menggema di tengah hamparan padang.
Oiko, Mikami, dan Rinya mulai berjalan menyusuri padang rumput. Angin sejuk menerpa.
Aron langsung terbang ke atas dengan mudahnya, meluncur menuju istana.
Oiko menatap ke atas, lalu cemberut:
“Dia bisa terbang... kita? Gimana caranya?”
“Lu kan punya sayap,” celetuk Oiko pada Aron yang sudah jauh di atas.
Aron melayang balik sebentar.
“Oh iya! Lupa! Nih.”
Dengan cepat, Aron menciptakan sihir tanah.
Tanah dari bawah mulai naik membentuk tangga raksasa, menyambung hingga ke langit.
Langkah demi langkah, Oiko menaiki tangga itu, kagum dan waspada.
Mikami menyusul pelan-pelan dari belakang.
“Ini tinggi juga ya…” ucap Mikami sambil melihat ke bawah.
Rinya tampak berdiri kaku di tengah tangga, ragu-ragu untuk melanjutkan.
Oiko berhenti sejenak, menoleh ke belakang.
“Rinya! Cepat naik! Gak ada yang jatuh kok!”
Rinya memandang ke bawah, tubuhnya gemetar sedikit.
Ia mulai menaiki tangga, langkah demi langkah, pelan dan hati-hati.
Aron yang sudah sampai di depan istana berteriak:
“CEPAT!!”
Oiko menatap istana di depan mereka saat sudah mendekat.
Bangunannya super besar, pilar-pilar tinggi dengan kubah emas dan jendela kristal, mengambang tanpa ada rantai, tanpa tiang, hanya... melayang di udara.
“Gila… segede ini…”
Oiko nyaris lupa napas.
Mikami yang baru sampai di sampingnya ikut terkagum.
“Kita beneran masuk ke dunia para dewa ya…”
“Rinya mana?” tanya Oiko.
Mikami menoleh ke bawah.
“Masih di tengah… kayaknya dia takut ketinggian.”
Oiko berteriak keras:
“CEPAT NAIK! GAK AKAN JATUH! UDAH DEKET NIH!!”
Rinya menggertakkan gigi, lalu mulai melangkah perlahan, meski wajahnya tegang.
Langkah…
Langkah…
Langkah…
Tangannya gemetar, tapi tekadnya kuat.
Dari atas, Aron melipat tangan, mendesak:
“JANGAN BUANG WAKTU!”
Dan akhirnya…
Rinya hampir sampai.
Langit membentang biru, angin menggoyang rambut…
dan di depan mereka, gerbang besar istana mengapung mulai terbuka perlahan,
menyambut para tamu yang datang dengan maksud menggali kebenaran asal-usul sang anak misterius.
...
Rinya akhirnya berhasil sampai di puncak tangga. Wajahnya masih pucat karena ketinggian.
Begitu menjejak lantai istana, dia memandangi sekitar lalu menatap Aron dan berkata dengan polos:
“Terus… aku turun gimana nanti…?”
Aron melirik singkat, menjawab datar,
“Aku yang bawa nanti.”
Rinya langsung terdiam. Tidak tahu harus senang atau takut.
Oiko, Mikami, Rinya, dan Aron kemudian melangkah masuk menuju pintu istana yang megah, menjulang tinggi dengan ukiran-ukiran kuno yang bercahaya samar.
Oiko, yang paling depan, mengetuk pintu besar itu perlahan.
Tok... Tok... Tok...
Tapi sebelum sempat menunggu reaksi, Aron mendorong Oiko ke samping kasar.
“WOE! TUNGGU LAH, GUA TAMU JUGA!!” teriak Oiko kesal.
“Lu tamu cerewet,” gumam Aron, membuka pintu lebar-lebar dan masuk dengan langkah angkuh.
Oiko, Mikami, dan Rinya saling pandang lalu menyusul dari belakang.
Begitu mereka memasuki ruangan,
Oiko mendongak ke atas—langit-langit ruangan itu sangat tinggi, penuh hiasan emas dan kristal, lukisan-lukisan kisah kuno, dan ukiran yang seolah bergerak sendiri.
"Ini istana beneran atau museum keajaiban…" gumamnya pelan.
Namun tak lama, tatapan Oiko langsung tertuju ke depan.
Di ujung aula besar itu, sebuah singgasana raksasa berdiri megah, dan di atasnya duduk seseorang... atau sesuatu.
Auranya… seperti Onezards, sosok yang sempat mereka hadapi sebelumnya. Tapi kali ini lebih besar, lebih pekat, lebih… ilahi.
"Jangan-jangan… dia dewa itu?" bisik Oiko pelan, matanya tajam.
Dewa itu membuka matanya.
Tatapannya langsung menuju ke anak kecil yang masih digendong Mikami.
Tak berkata panjang, ia memberi isyarat pada Aron.
“Bawa anak itu ke sini.”
Aron melangkah tanpa bicara, menghampiri Mikami, lalu mengambil anak itu dari pelukannya.
Mikami sempat hendak menolak, tapi tatapan Aron terlalu menekan.
Anak itu kemudian dibawa ke hadapan sang dewa, dan diletakkan dengan lembut di sisinya.
Hening.
Tak satu pun dari mereka tahu apa yang akan terjadi.
Tapi tentu saja, Oiko tidak bisa diam.
"Eh, kita nggak dapat hadiah atau apa gitu?"
Nada santainya membuat Aron langsung menatap tajam,
seperti ingin menyayat hanya dengan pandangan.
“Diam,” desis Aron tajam.
Namun sang dewa justru bicara, menunjuk ke arah kanan aula.
“Masuklah ke ruangan itu.”
Suaranya berat, bergema, namun tidak memaksa.
Oiko, tanpa ragu, melangkah duluan ke arah ruangan yang ditunjuk.
Pintu kayu gelap yang dihiasi ukiran bercahaya itu terbuka dengan dorongan kecil.
Di baliknya…
Sebuah perpustakaan.
Bukan sembarang perpustakaan.
Rak-rak tinggi mencapai langit-langit, buku-buku dengan judul bersinar, terbang melayang sendiri, dan suasana magis memenuhi ruangan.
“Wah…” Oiko terkesima.
Mikami ikut masuk dengan penasaran, lalu Rinya berlari mengejar, tak mau tertinggal sendirian lagi.
“Jahat! Jahat! Jahat!” teriaknya sambil menabrak punggung Oiko dari belakang.
Di dalam, Oiko mengambil salah satu buku dari rak yang melayang perlahan ke hadapannya.
Dia membuka buku itu… dan cahaya biru menyilaukan keluar dari halaman pertama.
“Ini… bukan buku biasa,” ucap Oiko pelan.
Tapi sebelum dia bisa membaca lebih dalam…
Sebuah suara muncul dari rak-rak buku.
“Selamat datang di Arsip Para Dewa.”
Seseorang… atau sesuatu… menunggu mereka di dalam sini.
Aron berniat menyusul ke dalam ruangan tempat Oiko dan yang lain masuk. Namun, sebelum ia melangkah melewati ambang pintu…
“Kau tidak boleh masuk.”
Suara sang Dewa terdengar berat dan tegas. Langkah Aron terhenti. Ia segera berlutut dalam-dalam.
“Maafkan saya… Tuan Semesta.”
Pintu perpustakaan perlahan tertutup dengan sendirinya, meninggalkan Aron di luar, masih berlutut di hadapan singgasana.
...
Di dalam ruangan, Oiko mulai membaca sebuah buku yang berjudul "Asal Mula Sihir & Teknik Pemahamannya."
Halaman demi halaman ia baca cepat, matanya menyapu simbol-simbol kuno seolah sudah terbiasa.
Sementara itu, Rinya dan Mikami berdiri di tengah, tertegun memandangi tumpukan rak buku raksasa yang menjulang hingga langit-langit.
Rak-rak itu tampak tak berujung.
Jutaan… atau bahkan miliaran buku, memenuhi ruangan dengan tenang tapi sakral.
“Ini… tempat menyimpan seluruh pengetahuan para dewa?” bisik Mikami pelan.
Oiko menutup buku di tangannya perlahan.
“Sudah,” ucapnya santai.
Mikami menoleh cepat.
“Hah?! Kamu udah selesai bacanya?!”
Oiko hanya mengangguk pelan.
“Aku memang cepat memahami,” jawabnya dengan nada biasa, seolah membaca buku sihir kuno seperti makan siang.
Rinya yang penasaran, mengambil satu buku dari rak paling bawah. Tapi saat ia menariknya...
Duk. Duk. Dukdukdukdukduk—BRUUK!!
Satu rak penuh buku jatuh berantakan ke lantai.
Buku-buku berserakan, beberapa melayang-layang sebelum akhirnya jatuh tepat di kepala Mikami.
“Aduh!!” seru Mikami, lalu cepat-cepat menghampiri Rinya.
“Rinya! Kamu nariknya gimana sih!”
Rinya meringis. “Maaf…”
Mikami mulai membantu membereskan buku-buku yang jatuh.
Sementara itu, Oiko hanya melirik sebentar, lalu melangkah lebih dalam ke belakang.
Ia seperti merasa sesuatu memanggil dari ujung lorong perpustakaan.
Satu buku perlahan melayang sendiri ke hadapan Oiko.
Sampulnya hitam pekat, namun memancarkan cahaya biru samar di garis-garis ukiran.
Oiko membuka buku itu…
Dan seketika itu juga, ruangan di sekelilingnya memudar, seolah pikirannya sedang ditarik ke dalam buku itu sendiri.