Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 — Ketika Pusat Perhatian Bukan Pilihan
SMA Negeri Bina Cita Mandala—sekolah elit yang dihuni oleh murid-murid pintar, kaya, atau bahkan keduanya. Bagi yang tidak cukup pintar, setidaknya mereka harus kaya untuk bisa berada di sini. Karena hanya murid berprestasi yang dibebaskan dari biaya sekolah, sisanya harus membayar mahal.
Banyak yang bermimpi menjadi murid di sini, namun hanya sedikit yang tahu sisi gelap di balik gemerlapnya. Murid-murid pintar yang tidak cukup kaya sering kali menjadi korban perundungan oleh mereka yang berasal dari keluarga kaya dan berkuasa.
The Violets—geng pembuli paling berpengaruh di SMA Negeri Bina Cita Mandala—adalah alasan utama banyak murid memilih pindah sekolah. Mereka bisa dengan mudah lolos dari hukuman meski kerap berbuat onar. Anak-anak orang kaya dan berkuasa memang selalu punya jalan sendiri.
Satu-satunya yang bisa menandingi mereka hanyalah Alana Rhea Astareyna.
Penampilannya biasa saja: tidak suka berdandan dan jauh dari kata glamor. Namun, status sosialnya mampu menyaingi—bahkan melampaui—The Violets. Ditambah lagi, Alana memiliki sesuatu yang tidak dimiliki musuh-musuhnya: kecerdasan.
The Violets tidak pernah menyukai Alana, dan Alana tidak pernah peduli disukai siapa pun—termasuk oleh mereka. Permusuhan mereka seperti dua kutub yang bertolak belakang. Yang satu bermain kotor untuk menang, dan yang satu menang tanpa perlu bermain.
Hari ini, permusuhan itu kembali memanas. Kaluna, ketua The Violets, merasa bahwa Alana merebut perhatian murid baru yang sudah ia incar.
“Hei, gue murid baru di sini. Boleh minta tolong anterin gue dan teman-teman gue ke ruang kepala sekolah?”
Kalimat sederhana itu menjadi pemicu ketegangan pagi ini.
Jendral Aryasatya Dirgantara, salah satu dari empat murid baru, mengabaikan Kaluna yang lebih dulu menyapa, dan malah bertanya pada Alana.
Murid-murid lain yang menyaksikan kejadian itu langsung tahu: Kaluna tersinggung. Alana terganggu. Dan yang paling tidak tahu diri, tentu saja si murid baru.
Padahal, Alana jelas-jelas tidak ingin terlibat. Ia bahkan sengaja lewat tanpa menoleh. Tapi si murid baru itu tetap saja memaksa.
“Gue sibuk. Lo bisa minta anter yang lain,” sahut Alana, berusaha tetap sopan.
Jendral menunjukkan ekspresi kecewa yang jelas-jelas dibuat-buat. Teman-temannya yang mengenakan jaket hitam identik saling menyikut dan tertawa kecil.
“Baru juga masuk, udah punya incaran baru,” bisik salah satunya, menggoda sambil menaikkan alis.
“Gue maunya lo yang anter. Gimana dong?” lanjut Jendral dengan senyum tengilnya.
Alana tidak bisa memungkiri bahwa keempat murid baru itu memang tampan—terutama yang satu ini. Wajah tegas, hidung mancung, dan rambut sedikit berantakan yang entah kenapa malah menambah pesonanya. Sayangnya, ketampanan tidak pernah cukup menarik perhatiannya. Apalagi jika dibarengi sikap menyebalkan.
“Bestie, katanya?” celetuk salah satu temannya. “Sejak kapan ketua kita kepikiran punya bestie? Cewek pula.”
“Namanya juga usaha, Bos,” timpal yang lain santai.
Alana menarik napas panjang. Dalam hati, ia ingin sekali melempar wajah mereka dengan tasnya. Tapi ia tahu, bukan itu solusinya.
“Gimana?” Jendral masih menunggu jawabannya, dengan senyum tengil yang belum juga menghilang.
The Violets, terutama Kaluna, makin geram. Ingin rasanya mereka meneriaki Alana di depan umum. Tapi mereka tahu, citra harus dijaga. Terutama di depan empat murid baru yang jelas bukan sembarangan.
Jendral, Mahen, Aska, dan Dewa adalah murid pindahan dari SMA Nusantara Muda, sekolah semi-militer tempat murid-murid bermasalah ditempa. Meski reputasi mereka tidak bersih, latar belakang mereka tidak main-main. Mereka berasal dari keluarga berpengaruh. Terutama Jendral—putra CEO perusahaan pertahanan dan teknologi.
Alasan Kaluna mengincarnya cukup jelas: Jendral adalah sosok yang pantas berada di sampingnya.
Ia bahkan berdandan rapi, lengkap dengan bando merah muda agar terlihat manis. Tapi justru Alana—yang datang tanpa riasan—yang berhasil menarik perhatian Jendral.
Kerumunan yang tadi heboh kini terdiam. Semua menyadari ini bukan pertengkaran biasa. Ini Alana vs Kaluna.
Alana ingin cepat pergi. Tapi Jendral kembali menghalangi jalannya.
“Siapa tahu nanti kita sekelas, atau jadi bestie, gitu?”
Alana semakin muak. Ia bukan tipe yang menikmati sorotan. Dan yang paling ia benci, adalah dipaksa berurusan dengan orang yang menyebalkan.
Lalu terdengar suara pelan dari sisi kerumunan.
“Aku bisa antar kamu ke ruang kepala sekolah,” ucap seorang murid berkacamata tebal, dengan rambut dikepang dua dan tas besar di punggungnya.
Semua menoleh. Ini pertama kalinya ada yang berani menyela saat Alana dan Kaluna bersitegang.
Tapi, Alana justru lega. Setidaknya sekarang ia punya alasan untuk pergi, meninggalkan lelaki yang mengganggu hari tenangnya pagi ini.
“Oke, sekarang udah ada yang mau nunjukin jalan ke ruang kepala sekolah. Gue pergi dulu,” ucapnya datar, lalu berjalan menjauh.
Ia tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Ia bukan The Violets, yang haus akan sorotan dan pengakuan. Ia hanya datang ke sekolah untuk satu hal: belajar.
Langkah Alana menuju kelas tampak tergesa. Ia khawatir murid baru itu kembali mengejarnya. Terlebih, kini murid-murid lain mulai memperhatikannya—sesuatu yang paling ingin ia hindari di sekolah.
Dari kejauhan, seorang murid lelaki memperhatikannya. Ia mencermati tiap gerak Alana yang penuh kecemasan, seakan perempuan itu tengah melarikan diri dari hal yang paling ia benci: sorotan.
Lelaki itu—Naresh—ingin sekali menghampiri dan memastikan Alana baik-baik saja. Namun ia tahu, kehadirannya hanya akan memperumit segalanya. Maka ia memilih untuk mengikuti dari jauh, diam-diam, berharap Alana bisa sampai di kelas tanpa masalah.
"Tenang, Alana. Tenang. Jangan terbawa emosi. Lo harus tenang," bisik Alana pada diri sendiri.
Tubuhnya mulai gemetar, menahan amarah yang nyaris meledak.
Seseorang telah mengusiknya—mengusik ruang tenangnya yang selama ini ia jaga rapat.
Ia sudah melakukan segalanya untuk tetap tidak terlihat. Ia tidak ingin menonjol, tidak ingin menjadi pusat perhatian. Namun, kedatangan murid baru itu merusak semuanya—menghancurkan semua usahanya dalam sekejap.
"Murid baru itu cuma minta lo anter ke ruang kepala sekolah. Harusnya lo nggak sampe segininya," gumamnya, berusaha menenangkan diri sendiri agar tidak larut dalam amarah yang meledak-ledak.
Ia tahu—dalam banyak situasi, orang mungkin akan bilang reaksinya berlebihan. Tapi kenyataannya, ia memang tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia tidak bisa menahan amarah setiap kali seseorang mencoba mengusik ketenangannya, bahkan untuk hal sepele seperti sekadar diminta menunjukkan jalan.
Naresh yang berdiri tidak jauh di belakangnya ingin sekali menghampiri dan menenangkan. Namun, ia menahan diri. Ia memilih membiarkan Alana menenangkan diri dengan caranya sendiri—meski dalam hatinya, ia tahu itu bukan hal yang mudah bagi Alana.
"Lo pasti bisa, Alana. Gue yakin lo kuat... dan gue di sini, jagain lo," ucap Naresh dalam hati, memandangi punggung Alana yang semakin menjauh.