*Squel dari One Night Stand With Dosen*
Pernikahan Shalinaz Rily Ausky dengan Akara Emir Hasan cukup membuat orang sekitarnya terkejut. Berawal dari sebuah skandal yang sengaja diciptakan sahabatnya, gadis itu malah terdampar dalam pesona gus Aka, pemuda dewasa yang tak lain adalah cucu dari kyai besar di kotanya.
"Jangan menatapku seperti itu, kamu meresahkan!" Shalinaz Ausky.
"Apanya yang salah, aku ini suamimu." Akara Emir Hasan.
Bagaimana kisah mereka dirajut? Simak kisahnya di sini ya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32
Prahara menikahi bocah, jadi Aka harus menekan rasa sabar, biar bagaimanapun takdir telah menyatukan mereka, baik Aka maupun Shali bertugas mendamaikan hati masing-masing agar ikhlas dengan ketetapan-Nya.
"Mas, kok diem, nggak boleh ya?" tanya Shali memastikan.
"Aku sedang sedikit repot, nanti jadwal mengajarku sampai sore, bagaimana kalau besok weekend saja Mas antar adek ke sananya?" Aka berusaha mencari solusi paling epik dan pantas tentunya.
"Aku bisa pulang sendiri Mas, kamu hanya perlu ngizinin aku, udah itu aja," ujar Shali enteng.
"Bukan gitu konsepnya, Dek, mana ada ceritanya berkunjung ke rumah sendirian, apalagi itu pertama kalinya setelah menikah, aku bertanggung jawab atas kamu sepenuhnya, aku harus memastikan kamu baik-baik saja."
Shali terdengar mendes@h pelan, "Bilang aja nggak boleh tetapi ribet. Harus ini itu dengan dalil dan konsep panjang lebar," batin Shalin kesal.
"Ya udah aku nggak jadi aja lah," pasrah Shali mrengut. Tangannya cekatan mengecek jadwal yang dibawa di tasnya.
"Dek, kalau sore mau? Tetapi malamnya pulang," ujar Aka merasa iba, mungkin istri kecilnya memang benar-benar rindu dengan mommynya.
Shali menatap Aka sejenak dengan mata berkaca-kaca, sebelum akhirnya membuang muka jengkel.
"Nggak usah Mas, nggak jadi," jawabnya seraya pura-pura sibuk untuk mengalihkan pembicaraan singkatnya yang terasa menjengkelkan.
Menurut versi Shali, dia hanya butuh restu terus pulang sendiri, dan menginap di rumah pada hari libur besok di akhir pekan. Seperti itu biasanya pas tinggal di asrama. Shali masih sering pulang, dia bukan tipikal yang betah tinggal dengan kedisiplinan tinggi, namun apa daya, kemauan orang tua harus dituruti.
"Dek, kamu marah sama Mas?" Aka menghadap istrinya dan merangkum bahunya. Menyorot manik hazelnya yang menunduk.
"Bukankah istri yang baik itu harus menurut ya, tidak boleh marah sekali pun hatinya tidak berkenan," sindirnya jengkel.
"Memang seharusnya begitu, Dek?" jawab Aka menenangkan.
"Kalau saja Tuhan memberi aku kesempatan sekali saja dan ada pilihan lain untukku saat ini, aku ingin kembali ke masa tidak pernah ada hari itu, dan semua akan baik-baik saja karena mungkin tidak akan pernah ada pernikahan ini denganmu."
Glek
Aka melepas kedua tangannya yang merangkum bahu itu, seakan kata-kata itu menjadi duri yang menusuk hati. Sakit yang ia rasakan, kecewa dan kalau mungkin ingin marah saja. Sekali lagi pria itu berusaha mengabaikan hatinya yang terluka, dia tidak ingin istrinya bertambah dosa. Tugasnya tentu saja membuat anak itu jatuh cinta padanya dan menghapus bayang-bayang Azmi yang lebih dulu menempati ruang hatinya. Ia beristigfar banyak-banyak dalam hatinya.
"Kamu maunya gimana? Hmm? Nyalahin aku? Nggak menerima takdir ini, atau apa? Aku udah berusaha lho, kita hampir satu minggu menikah kamu belum memenuhi tugas dan kewajiban apa yang menjadi hak aku, aku berusaha ikhlas padahal kamu tahu sendiri itu dosa, sekarang mau kamu gimana? Mas tanya?" tekan Aka dengan sabar.
Sungguh, Aka hampir terbawa emosi di pagi ini, dia gemas sendiri dengan tingkah polah istrinya yang belum mau menerima pernikahan ini. Pria itu masih menanti jawaban Shali dengan tenang.
Bukan perkara mudah untuk Shali, dia dituntut untuk bakti sesuai syariah dan agamanya, namun dengan hati yang belum bisa sepenuhnya menerima, jelas itu sebuah beban. Nurut hatinya sakit dan terasa menjengkelkan, nggak nurut tentu saja berdosa, begitulah kebimbangan pada diri seorang Shalin.
"Aku minta maaf, Mas, aku memang bukan istri yang baik, aku jauh dari kata taat, pembangkang, dan menjengkelkan, aku hanya perlu waktu untuk ruang hatiku sebentar saja, aku ... aku butuh waktu untuk hal itu," ucapnya lirih kedua tangannya gugup meremas rok yang ia kenakan.
Shalin sudah berusaha, namun alam seakan menjeratnya, dengan intensitas pertemuan mereka yang tak terduga jelas membuatnya gagal move on. Seandainya mungkin, dan suaminya mau mengerti, Ingin rasanya pergi jauh dari rumah itu.
"Aku tidak mau mengiyakan perbuatan yang tidak seharusnya, begitu pun aku tidak akan menjadi egois dengan meminta hak aku sedang kamu tidak mau. Aku ini sabar, tetapi lebih baik jangan menguji kesabaranku."
"Iya, Mas, terima kasih atas pengertianmu," jawab Shalin mengontrol hatinya.
"Ya sudah, ayo ke ruang makan, kita pasti udah ditunggu umi, untuk sarapan," titah Aka memperingatkan.
"Iya, Mas," jawab Shali merasa mengganjal.
Mereka keluar kamar berbarengan, seperti sudah berjanjian, di sisi lain Azmi sudah menunggu Abangnya berbicara.
"Dek, kamu duluan ya, Mas ada sedikit urusan yang tertinggal, nanti Mas nyusul ke ruang makan." Mereka berhenti sejenak, sebelum akhirnya Shali mengangguk dan melanjutkan langkahnya.
Aka sengaja mendatangi kamarnya, selepas subuh tadi Aka harus mengisi kajian, jadi tidak memungkinkan untuk berbicara dari hati ke hati dengan adik kandungnya.
"Masuk, Bang! Abang mau berbicara apa?" sambut Azmi dingin.
Tak ingin berbasa-basi, Aka langsung ke pokok intinya saja.
"Abang tahu semuanya, tentang perasaan terlarang kamu dengan kakak iparmu," kata Aka langsung menohok.
"Terus?" jawab Azmi santai.
pinter bhs arab ya thor...
jd pengen mondok..