NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta Gasekil (Gadis Seratus Kilo)

Mengejar Cinta Gasekil (Gadis Seratus Kilo)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Karena Taruhan / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Idola sekolah / Cintapertama
Popularitas:20.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.

Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.

Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.

Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?

Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Penstabil

Ruang praktik sore itu tenang, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar.

Dokter Wira menutup berkas terakhir ketika pintu diketuk.

“Silakan masuk,” ujarnya.

Pintu terbuka. Wijanata masuk dengan sikap kaku namun penuh beban. Ia tampak lelah, wajahnya sedikit kuyu karena pekerjaan menumpuk.

“Maaf baru sempat datang, Dok,” ucapnya sambil duduk. “Akhir-akhir ini sangat sibuk… saya hampir tidak punya waktu.”

Dokter Wira tersenyum tipis, tidak menghakimi.

“Saya mengerti, Pak Wijanata. Anda memang sudah lama tidak datang menanyakan perkembangan Raska.”

Nata menarik napas, seperti menelan rasa bersalah. “Iya… bagaimana dia sekarang? Masih sering datang untuk terapi?”

“Masih,” jawab Dokter Wira sambil membuka catatan. “Raska cukup konsisten. Itu hal yang baik.”

Nata mengangguk, namun sorot matanya gelisah. “Lalu… perkembangannya bagaimana?”

Dokter Wira memilih kata-katanya dengan hati-hati, tenang, profesional.

“Secara garis besar, Raska stabil. Tapi traumanya belum pulih. Ada kemajuan kecil… namun belum signifikan.”

Nata menunduk. “Masih sering mimpi buruk?”

“Kadang. Lebih jarang… lalu meningkat lagi akhir-akhir ini.” Dokter Wira menatapnya langsung. “Pemicu traumanya muncul kembali.”

Nata tampak menegang. “Pemicu? Apa seseorang menyakitinya?”

Dokter Wira menggeleng lembut.

“Tidak. Pemicu bukan selalu orang jahat. Kadang justru situasi, atau… seseorang yang sangat mereka pedulikan.”

Ia sengaja tidak menyebut nama.

“Kemunculan figur tertentu membuat emosinya tidak stabil.”

Nata diam, tidak menuntut lebih jauh. Ia tahu batasannya.

“Apakah Raska bercerita tentang… orang itu?” tanya Nata hati-hati.

“Saya tidak bisa menyampaikan detil personal tanpa izin Raska,” jawab Dokter Wira tegas, namun hangat. “Tapi saya bisa katakan satu hal: ada seseorang yang sangat ia khawatirkan. Itu membuat traumanya lebih sering muncul.”

Nata memijat pelipis. “Baik… saya mengerti.”

Dokter Wira menutup berkas, lalu kembali menatapnya. “Namun, ada hal penting lain.”

Nata mengangkat wajah.

“Tiga temannya, Asep, Vicky dan Gayus, mereka adalah support system terbaik untuk Raska saat ini.”

Nata tampak terkejut. “Mereka? Yang… ribut dan unik itu?”

“Ya,” jawab Dokter Wira sambil tersenyum kecil. “Meski mereka tidak berpendidikan psikologi, keberadaan mereka menjaga emosi Raska tetap stabil. Mereka membuatnya tertawa, memecah kecemasannya, dan itu berdampak besar pada kesehatan mentalnya.”

Nata mengangguk lambat, seolah baru menyadari betapa pentingnya tiga bocah ‘ribut’ itu.

“Jadi… saya harus memastikan mereka tetap ada di sekitar Raska?”

“Betul,” ujar Dokter Wira. “Jangan jauhkan Raska dari mereka. Anak Anda butuh tempat aman… dan mereka adalah salah satunya.”

Nata menelan ludah. Ada sedikit kesedihan di matanya.

“Mereka bisa membantu dengan cara yang tidak bisa saya lakukan sebagai ayah, ya?”

Dokter Wira menjawab lembut. “Raska tidak butuh sosok sempurna, Pak Wijanata. Ia hanya butuh orang-orang yang membuatnya merasa… tidak sendirian.”

Nata terdiam lama.

Untuk pertama kalinya, ia tampak seperti seorang ayah yang benar-benar takut kehilangan anaknya.

***

Pintu rumah terbuka keras saat Roy masuk. Tasnya ia lempar sembarangan ke sofa. Wajahnya kusut, rahang mengeras.

Lisa yang sedang duduk di ruang keluarga menatapnya, alisnya terangkat lembut.

“Roy? Kok mukamu kayak abis digigit anjingg tetangga?” tanyanya setengah bercanda.

Roy tidak tertawa. Ia menggeram sambil melepas sepatu. “Ma… Papa belum pulang?”

Lisa menggeleng. “Belum. Ada rapat direksi. Kenapa?”

Roy menghempaskan diri ke sofa dengan kasar.

“Papa emang pilih kasih. Raska tinggal sendiri di apartemen, dikasih motor sport, mobil bagus. Sementara aku…” suaranya meninggi, “pulang pergi sekolah diantar sopir pake mobil rumah. Minta motor aja disuruh NABUNG dari uang jajan!”

Wajah Lisa menegang. “Kamu serius Papa kamu bilang gitu?”

Roy mengangguk cepat, penuh kekesalan.

“Iya! Dia bilang aku harus belajar mandiri. Dan katanya, Raska beli motor dari tabungan sendiri. Ya iyalah! Dia 'kan punya uang lebih banyak! Papa tuh jelas pilih kasih!”

Lisa memijit pelipisnya, tapi bukan karena sakit, karena menahan emosi.

“Mobil yang Raska pakai itu…” Lisa menarik napas, “itu mobil Mama-nya. Peninggalan dia. Papa kamu cuma tukar tambah jadi yang lebih bagus. Tetap aja, dia selalu lebih diperhatikan.”

Roy berdiri, mondar-mandir marah.

“Aku tinggal satu rumah sama Papa dan Mama! Tapi yang hidup ENAK malah yang tinggal sendiri! Dia dikasih apa-apa… Aku? Uang bulanan dibatasi! Mau ngapa-ngapain jadi susah.”

Lisa memandang anaknya, lalu berdiri dan menyentuh bahunya. Nada suaranya berubah lembut, tapi dingin di dasar.

“Roy… Kamu harus sabar. Kadang Papa kamu memang… terlalu memanjakan dia. Kamu anak Mama. Mama tahu rasanya gak adil. Tapi kamu jangan tunjukin kekesalan kamu di depan Papamu. Dia gak suka anak yang ngelawan.”

Roy mendengus.

“Kalau kayak gini terus… jelas-jelas dia lebih sayang Raska. Padahal Raska itu bahkan gak tinggal di rumah. Kenapa aku yang selalu disuruh ngerti, mandiri, nabung?!”

Lisa menatap Roy, matanya menyipit penuh kebencian pada ketidakadilan yang ia rasa.

“Nak… tenang. Mama di pihak kamu.”

Roy berhenti berjalan. Ia mengangkat dagunya, tersenyum kecil namun penuh iri.

“Ya… Mama aja yang ngerti.”

Lisa mengelus rambutnya, senyumnya lembut tapi matanya menyembunyikan sesuatu.

“Kamu tunggu saja. Ada banyak cara… untuk membuat keadaan kembali seimbang.”

Roy tidak benar-benar mengerti maksud mamanya, tapi ia tidak peduli.

Yang ia tahu, ia benci rasa kalah sekalipun itu hanya soal perhatian ayahnya.

Dan kebenciannya pada Raska, pelan-pelan makin tumbuh subur.

***

Taman belakang sekolah, sore hari.

Asep, Vicky, dan Gayus sedang makan cilok sambil debat nggak penting.

Seorang pria berjas rapi menghampiri mereka. Langkahnya tenang, berwibawa. Trio komentator otomatis berhenti mengunyah.

“Permisi… kalian teman-temannya Raska, benar?”

Asep refleks berdiri duluan. “Eh… iya, Om. Ada apa, Om?”

Pria itu tersenyum tipis sebelum memperkenalkan diri. “Saya Wijanata. Ayahnya Raska.”

Tiga anak itu langsung kaget.

Vicky hampir keselek cilok, Gayus langsung tegap seperti mau apel pagi.

“W-Wah… maaf, Om! Kami nggak tahu!”

Nata tertawa kecil. “Tidak apa. Santai saja.”

Suasana berubah hening ketika Nata melanjutkan pelan:

“Ada hal yang ingin saya bicarakan tentang Raska.”

Asep, Vicky, dan Gayus yang biasanya ribut sendiri, spontan berubah serius.

Nata duduk dengan perlahan. Untuk pertama kalinya ia tak terlihat seperti pengusaha besar yang disegani, melainkan seorang ayah yang… lelah.

“Saya… tahu kalian bertiga selalu bersama Raska,” ujarnya lirih.

Trio komentator saling melirik. Mereka baru sadar arah pembicaraan ini akan berat.

Nata meremas jemarinya, menunduk sedikit. “Beberapa tahun terakhir… Raska mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, dan tekanan yang… cukup berat. Semua itu bermula setelah ibunya meninggal.”

Asep otomatis menegakkan punggungnya. Vicky kehilangan gaya santainya. Gayus yang selalu logis pun terdiam tanpa teori.

Nata melanjutkan, suaranya sedikit bergetar namun tetap berusaha tegar.

“Raska itu anak yang kuat… tapi rapuh di dalam. Ia tidak banyak bicara kepada saya.”

Hening sesaat.

Nata menatap mereka, hela napas panjang keluar, suaranya lebih rendah:

“Mungkin itu salah saya sebagai ayah.”

Trio komentator langsung rikuh. Mereka tidak pernah melihat orang tua bicara sejujur ini.

“Dan belakangan, kondisinya naik turun. Saya… saya khawatir.”

Baru setelah itu Nata mengangkat wajahnya, menatap mereka satu per satu.

“Dokter Wira bilang, meski kalian tidak bisa menyembuhkan traumanya… kehadiran kalian membuat dia stabil.”

Ucapan itu seketika membuat dada trio komentator menghangat, dan berat sekaligus.

“Dia bilang, Raska tersenyum kalau bersama kalian. Itu… jarang terjadi sejak ibunya meninggal.”

Nata tersenyum tipis, lemah.

“Raska butuh orang-orang yang bisa dia percaya. Dan sejauh ini… hanya kalian.”

Asep, Vicky, Gayus saling lirik.

Asep menelan ludah keras. Vicky mengusap tengkuk, canggung untuk pertama kalinya. Gayus berdeham kecil, jelas bingung harus bersikap bagaimana.

Nata melanjutkan:

“Saya tidak meminta hal besar.”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Puji Hastuti
Lanjut kk
sunshine wings
😢😢😢😢😢🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
sunshine wings
Alhamdulillah ya Rabb.. 🤲🏼🤲🏼🤲🏼🤲🏼🤲🏼
sunshine wings
cepetan Raska.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻😢😢😢😢😢
sunshine wings
😢😢😢😢😢
anonim
Ternyata pak Nata memantau Raska terapi pada dokter Wira. Baguslah.

Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.

Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.

Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?

Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
sunshine wings
🤬🤬🤬🤬🤬
mery harwati
Udah enak itu Lisa & Roy dikasih kemewahan oleh Nata meski dibatasi, tapi apakah sepak terjang mereka diawasi oleh Nata? Jangan berpikir karena finansial dibatasi mereka lupa diawasi, hati² Nata, orang licik tetep akan mencari cara untuk sampe tujuan hidupnya 🫣💪
sunshine wings
😢😢😢😢😢😭😭😭😭😭
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Fadillah Ahmad
Betul, Karna dokter punya kode etik profesi yang harus di taati, dan Dokter Wajib menjaga Rahasia pasiennya. 🙏🙏🙏
sunshine wings
😢😢😢😢😢
Fadillah Ahmad
Ya elah, si paling Sibuk 😁😁😁
sunshine wings
lho boleh tenggelam situ.. busuk ati.. 😏😏😏😏😏
Felycia R. Fernandez
kamu anak hasil dari gundik...
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga
sunshine wings
😡😡😡😡😡
sunshine wings
😮😮😮😮😮😤😤😤😤😤
sunshine wings
🤣🤣🤣🤣🤣
sunshine wings
💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻🤣🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!