Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ego dan cemburu
Mobil Artama pun melaju membelah jalanan kota yang basah. Di kursi belakang, suasana lebih bergejolak daripada badai di luar.Dan saat ini Kanaya masih menangis histeris, isakannya menusuk gendang telinga.Artama yang duduk di sampingnya,dengan tubuhnya yang tegang,napasnya yang memburu, dan amarahnya pun memancar seperti gelombang panas.
"Diam, Kanaya!" bentak Artama, suaranya dipenuhi frustrasi yang luar biasa. "Hentikan tangisan konyol mu itu! Kau tidak malu dengan adegan histeris yang kau ciptakan di sana?!"
Tangisan Kanaya pun justru semakin keras. "Aku tidak akan diam! Aku membencimu! Kenapa kau membawaku kembali?! Kenapa kau tidak membiarkanku pergi dengan Victor?! Dia lebih baik darimu!"
"Victor lebih baik?" Artama pun tertawa sinis, tawa yang tidak mengandung kegembiraan sama sekali. "Dia hanya 4njing yang mengendus sisa makanan! Dia melihat kesempatan saat kau terlihat menyedihkan! Kau pikir dia benar-benar peduli?!"
"Ya! Dia peduli!" balas Kanaya, suaranya parau karena berteriak. "Dia membela aku! Tapi Kau?! Kau hanya berdiri seperti pengecut dan membiarkan mereka menghinaku! Lalu kau datang dan mengklaim aku sebagai barang milikmu! Aku bukan barang, Artama! Aku manusia!"
Artama mencengkeram rahangnya sendiri, mencoba mengendalikan ledakan yang mendidih di dalam dirinya.
"Tentu saja aku membiarkanmu dihina! Itu bagian dari pelajaran! Kau harus tahu bagaimana rasanya berada di bawah! Kau harus tahu bagaimana rasanya dibenci agar kau bisa bangkit! Itu cara dunia ini bekerja!"
"Pers3tan dengan pelajaran mu!" teriak Kanaya, air matanya membanjiri wajah.
"Kau hanya memuaskan egomu! Kau tidak peduli dengan perasaanku! Kau mencl_llikku, kau menghancurkan ku, dan sekarang kau memaksaku untuk bersamamu lagi! Aku menyesal pernah bertemu denganmu! Kau monster tak punya hati!"
"Monster?" Artama memiringkan kepalanya, matanya menyipit berbahaya. "Aku yang memberimu rumah! Aku yang memberimu gaun mahal! Aku yang menyelamatkanmu dari kemiskinan dan ketidakjelasan! Dan ini balasanmu?! Mencari pelukan pria lain di tengah jalan?!"
"Gaun ini hanya kain! Rumah itu hanya sangkar! Dan kau tidak menyelamatkanku! Kau malah menjebak ku!" Kanaya mendorong bahu Artama sekuat tenaga, tetapi pria itu tidak bergeming.
"Kau hanya ingin memanfaatkanku! Menggunakanku untuk membuat tunanganmu cemburu padamu! Kau tidak pernah melihatku sebagai Kanaya! Kau melihat ku hanya sebagai alat dan mainan b0d0hmu itu!"
"Jika aku tidak melihatmu sebagai Kanaya, aku tidak akan repot-repot membawamu kembali!" raung Artama, kini suaranya meledak. Ia membanting tinjunya ke kursi di sebelahnya, membuat mobil itu berguncang.
"Kau milikku! Dan tidak ada seorang pun yang boleh mengambil apa pun dariku, terutama setelah kau berani-beraninya menantang ku di depan semua orang!"
"Aku bukan milikmu! Aku tidak pernah menjadi milikmu! Kau tahu aku membencimu, Artama! Aku membencimu!" Kanaya tidak bisa menahan diri lagi. Ia memukul dada Artama berkali-kali dengan kepalan tangannya yang kecil, luapan emosi yang putus asa.
Artama pun membiarkan Kanaya memukulnya, tidak membalas. Ia hanya menatap Kanaya dengan tatapan yang menyakitkan. Ada keputusasaan yang aneh di mata Artama, seolah ia terluka oleh penolakan Kanaya yang begitu jujur dan menyakitkan.
Di sisi lain di kursi pengemudi, Sofia berkeringat dingin meskipun cuaca dingin. Ia menyetir dengan sangat hati-hati, memastikan mobil itu melaju mulus agar pertengkaran di belakang tidak semakin menjadi-jadi. Ia bisa mendengar semua makian, semua teriakan, dan isakan histeris dari Nona Kanaya.
Artama memang b4jingan besar! maki Sofia dalam hati.
Dia yang mencl_llik, dia yang mempermainkan, dia yang mempermalukan, dan dia yang marah ketika korbannya mencoba lari! Sungguh ego yang tak tertandingi!
Sofia menggelengkan kepalanya. Drama yang ia nantikan ternyata jauh lebih kejam dari dugaannya. Ia bisa merasakan energi Artama yang meluap-luap, campuran dari kemarahan, cemburu yang tak terucapkan, dan kekesalan karena rencananya berantakan.
Ia melirik ke kaca spion tengah. Ia melihat Artama yang membiarkan Kanaya memukulnya, sementara mata Artama menatap Kanaya dengan tatapan yang sulit diartikan,bukan hanya marah, tapi juga mungkin terluka.
"Mainan rusak pun tetap milikku." Kalimat Artama itu terngiang di telinga Sofia. Pria ini memang gila dengan kepemilikan.Seperti terlihat sangat terobsesi dengan Kanaya. Ia tidak bisa membiarkan siapa pun, terutama Victor, yang ia anggap lebih rendah, mengambil apa pun darinya.
Sofia pun menghela napas panjang, berkonsentrasi pada jalanan. Tugasnya adalah membawa 'barang' yang sedang berantem hebat di kursi belakang ini kembali ke hotel dengan selamat, dan segera menghilang ke kamarnya untuk mengamati kekacauan ini dari kejauhan.
"Bertahanlah, Nona Kanaya," bisik Sofia pelan pada dirinya sendiri. "Dan kau, Tuan Artama, semoga karma segera menjemputmu."
Mobil Artama pun akhirnya tiba dan berhenti di basement mewah di bawah gedung penthouse miliknya.Begitu mobil berhenti total, Kanaya tidak menunggu.Sebelum Artama sempat membuka pintu atau mengeluarkan perintah apa pun, Kanaya menyentak tangannya dari genggaman Artama, membuka pintu, dan melompat keluar dari mobil.
Ia berlari menembus basement yang sepi, menaiki lift pribadi, dan begitu lift terbuka di lantai penthouse yang mewah, ia berlari seperti kes3tanan.Artama melangkah keluar dari mobil beberapa detik kemudian, wajahnya keras dan penuh amarah.
Kanaya mencapai pintu kamar yang telah menjadi 'penjaranya', membantingnya hingga bergetar, dan dengan cepat mengunci pintunya dari dalam.
Saat terdengar bunyi kunci diputar, dan Artama, yang baru tiba di ambang pintu penthouse pun membeku. Dia tahu dia tidak bisa mendobrak pintu itu,itu akan terlalu dramatis, bahkan untuknya.
Artama pun hanya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan badai di dalam dirinya. Dia menoleh ke belakang, di mana Sofia baru saja melangkah keluar dari lift.
"Sofia!" panggil Artama, suaranya kembali dingin dan penuh otoritas, menyingkirkan semua amarah yang meledak tadi.
Sofia mendekat, wajahnya datar dan profesional, meskipun dalam hati ia masih merutuk.
"Ya, Tuan Artama?"
"Awasi dia," perintah Artama, matanya tertuju pada pintu kamar Kanaya yang tertutup rapat. "Tetaplah di ruang tamu, dan jangan beranjak. Jika dia mencoba melakukan hal bodoh, menelepon Victor, atau melompat dari jendela,hentikan dia."
Artama yang menekankan kata-kata itu dengan penekanan yang mengerikan. "Pastikan dia tidak kabur. Aku tidak mau dia berada dalam radius bahkan satu kilometer pun dari b4jingan itu."
"Baik, Tuan," jawab Sofia, menundukkan kepala. Ia tahu, meskipun Artama memerintahkan untuk mencegah Kanaya kabur, kekhawatiran utamanya adalah mencegah Kanaya lari ke pelukan Victor. Cemburu Artama sangat jelas sudah mencapai tingkat yang tidak sehat.
Artama menatap pintu kamar Kanaya sebentar lagi, seolah mencoba menembusnya dengan tatapan matanya yang tajam. Ia mengusap sisa darah kering di sudut bibirnya.
"Aku akan mandi dan berganti pakaian," gumam Artama. "Setelah itu, kita akan bicara dengannya."
Artama pun lalu berjalan cepat menuju kamar utamanya, meninggalkannya dalam kekacauan emosional dan fisik. Ia perlu membersihkan diri dari darah, lumpur, dan amarah.