Ini adalah kisah tentang seorang ibu yang terabaikan oleh anak - anak nya di usia senja hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup nya.
" Jika anak - anak ku saja tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup ya Allah." Isak Fatma di dalam sujud nya.
Hingga kebahagiaan itu dia dapat kan dari seorang gadis yang menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan Fatma
*****
Ariel dengan langkah gontai meninggalkan Fatma di tengah-tengah taman panti jompo Kasih Bunda. Fatma mematung, matanya terarah pada deretan ibu-ibu yang bercengkerama dengan sunyi di sana.
Nasib mereka serupa, ditinggalkan oleh anak-anak yang enggan terikat dengan urusan mengurus orang tua.
Kepiluan semakin mendalam ketika Fatma kembali menitikkan air mata, perlahan ia terduduk lesu di bangku taman, merenungkan luka yang sama-sama mereka rasakan.
" Ibuk." Panggil Ariel saat dia sudah selesai dengan pekerjaan nya.
Bergegas Fatma menghapus air mata nya dan bangkit menoleh pada Ariel.
" Ya." Jawab Fatma.
" Ariel sudah urus semua nya. Ibuk sudah tinggal masuk saja ke dalam. Nanti akan da suster yang mengantar kan ibuk ke kamar ibuk. Ibuk betah - betah ya buk di sini. Karena Ariel nggak tahu berapa lama kami akan menjemput ibuk." Kata Ariel.
Fatma mengangguk pelan.
" Jangan menghubungi kami kalau tidak ada yang penting, buk. Ada suster dan penjaga di dalam. Ibuk bisa minta tolong mereka kalau butuh sesuatu."
Fatma kembali mengangguk.
" Sudah ya buk. Ariel harus berangkat sekarang." Pamit Ariel.
Fatma maju beberapa langkah. Berdiri di hadapan Ariel.
" Ariel, sebenar nya ibuk tidak mau tinggal di sini. Ibuk lebih suka tinggal di rumah walau pun ibuk sendiri. Ibuk bisa melihat kalian setiap hari. Ibuk bisa menyiapkan semua kebutuhan kalian, memasak untuk kalian." Ucap Fatma dengan sendu, dia berharap bisa mengetik kati anak nya agar berubah pikiran.
" Tapi kita nggak mau, buk. Kita nggak bisa ninggalin ibuk sendirian di rumah apalagi ibuk lagi sakit." Tolak Ariel.
" Tapi ibuk sudah sehat, nak. Ibuk sudah sehat, Ariel."
" Sudah lah, buk. Ariel harus ke pabrik. Ariel nggak da waktu buat dengerin cerita - cerita ibuk yang nggak masuk akal ini. Ibuk lebih baik di sini saja."
Tanpa basa basi lagi, Ariel pun melangkah dengan cepat meninggalkan Fatma. Masuk ke dalam taksi yang memang di minta Ariel untuk menunggu mereka.
Fatma hanya bisa pasrah menerima nasib nya sekarang. Mungkin dia harus menghabiskan sisa hidup nya di panti asuhan tanpa anak anak nya.
" Ibu Fatma. Ayo kita ke kamar, buk." Ajak seorang suster menghampiri Fatma.
" Sebentar lagi ya, suster. Saya masih mau di sini, menikmati panas nya matahari."
" Baik,buk. Nanti kalau sudah selesai, ibuk temui saya di dalam ya."
Fatma mengangguk.
" Iya, sus." Jawab Fatma.
Fatma kembali menyusup ke bangku taman yang sepi, matanya tak lepas memandang pagar panti yang terbuka lebar, seolah-olah sedangemanggil nya.
Sinar matahari yang menerobos celah-celah daun menghasilkan bayang-bayang yang bergerak lambat di atas tanah, menambah nuansa misterius pada panggilan tak terdengar itu.
Pagar itu, dengan gerbangnya yang terbuka, bagaikan mulut raksasa yang siap menelan segala rasa penasarannya yang memuncak. Fatma merasakan degup jantungnya semakin keras, seakan tiap detak menggema mengiringi langkah kakinya yang ragu menuju ke dalam.
Fatma berjalan dengan sangat pelan mendekati pagar. Hati nya tergerak dengan hebat suntuk menjauh dari panti.
Saat berada di ambang pagar, Fatma memandangi sekitar. Memastikan tak ada yang melihat dia. Lalu dengan langkah cepat, ibu yang berusia 50 tahun itu pun setengah berlari menjauh dari panti.
Fatma berlari kencang, melintasi kelompok anak-anak yang asyik bermain petasan. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya tersengal, ketakutan yang memuncak tergambar jelas di wajahnya.
Tiba-tiba, dalam sekejap yang menegangkan, seorang anak melemparkan petasan ke arah mobil tempat Fatma berdiri.
Petasan itu meledak dengan dahsyat, suara gemuruh mengguncang udara pagi yang sunyi. Api segera menyambar, menjilat-jilat bodi mobil hingga seluruhnya menjadi lautan api yang mengerikan.
*
*
*
Zeyden melangkah keluar dari kamar, turun dari anak tangga yang seakan menggema langkah-langkah beratnya. Dalam balutan celana panjang, kemeja, dan jas yang rapi, ia mempersiapkan diri menghadapi tantangan di kantor.
" Pagi, sayang." Sapa Shafa saat putra nya mendekati meja makan.
" Pagi, ma. Pagi, pa." Jawab Zeyden mendudukkan bokong nya di sana.
" Pulang jam berapa kamu tadi malam? Mama bilang kamu mendapatkan musibah tadi malam. Apa ada yang serius dengan korban kamu itu?" Tanya Deddy pada Zeyden.
" Nggak ada yang serius, pa. Semua nya baik - baik saja. Hanya luka di kaki, tapi sudah di obati sama dokter." Jawab Zeyden mulai meneguk susu nya.
" Baik - baik saja. Suster bilang kaki nya sampai di jahit, pasti luka nya lebar." Sahut Shafa.
" Ayo lah, ma. Semua nya baik - baik saja. Zey sudah tanggung jawab kan?"
" Tapi lain kali kamu harus lebih hati - hati lagi. Kamu harus kurangi tuh nongkrong - nongkrong kamu itu dengan teman - teman kamu. Berhenti melakukan yang tidak penting. Fokus saja dengan kantor. Seharus nya kamu sudah bisa menggantikan papa. Jadi papa bisa pensiun menemani mama di rumah."
" Mama juga masih sibukkan dengan pasien - pasien mama. Yang ada nanti papa jadi kesepian di rumah." Sahut Deddy tertawa kecil.
Zeyden ikut tersenyum mendengar ledekan dari sang papa.
" Mama nggak mungkin meninggalkan pasien yang membutuhkan pertolongan. Di rumah sakit kita, belum ada ahli bedah yang bisa di lepas tanpa bimbingan mama. Semua nya masih harus banyak belajar." Jawab Shafa.
Shafa pun mulai mengisi piring suami dan anak nya dengan nasi putih yang uap nya masih mengepul di tambah ayam goreng dan sayur tumis.
" Apa lagi kemaren ada pasien baru yang serius. Masih muda tapi sudah mengidap kanker payudara." Tambah Shafa.
" Kanker payudara? Kasihan sekali?" Tanya Deddy ikut prihatin.
" Masih muda sudah kena kanker payudara, pasti dia perempuan nakal. Makanya bisa kena virus berbahaya seperti itu." Sahut Zeyden.
Bukan hanya Zeyden, bahkan Shafa sempat berfikiran begitu saat mengetahui penyakit Kanaya. Dia tidak mengira gadis semuda Kanaya bisa mengalami nasib seburuk itu. Tapi setelah melihat raut wajah terpukul di wajah Kanaya, Shafa yakin, jika penyakit Kanaya adalah cobaan untuk nya.
" Mama juga tadi nya berfikir begitu. Tapi kalau mama perhatikan wajah nya... Kayak nya dia gadis baik - baik. Mungkin penyakit itu dia dapat dari garis keturunan nya. Kasihan dia, masih muda, cantik lagi. Pakai hijab lagi, mama suka kalau lihat perempuan pakai hijab." Ujar Shafa lagi.
" Papa heran deh lihat mama kamu ini, Zey."
" Kenapa pa?" Tanya Zeyden terkekeh.
" Kata nya suka lihat perempuan pakai hijab, tapi mama kamu malah nggak mau pakai hijab. Suka suka saja kan?"
" Mama bukan nya nggak mau pakai hijab... Cuma belum siap saja. Pakai hijab itu kan harus dari hati. Iya kan ,Zey?" Sahut Shafa.
" Kayak nya kamu hrus carikan mama calon menantu yang pakai hijab, Zey." Ujar Deddy.
Bukan nya menjawab, Zeyden malah diam. Pikiran nya kemudian melayang pada Kanaya. Perempuan berhijab yang temui tadi malam. Pertemuan singkat yang membawa ingatan panjang hingga pagi.
Karena tidak mendapatkan jawaban, Shafa akhir nya menoleh pada Zeyden. Memperhatikan sang putra yang sedang termenung.
Shafa kemudian melirik Deddy yang hanya menggidikkan bahu karena bingung.
" Zey... Zeyden..." Panggil Shafa.
Zeyden terkaget dan langsung tersadar dari lamunan nya.
" Ya, ma... Kenapa ma?" Tanya Zeyden dengan bingung.
" Masih lagi Zey untuk melamun." Ledek Deddy seraya menyuap makanan nya.
" Kamu lagi ngelamunin kerjaan atau perempuan?" Ledek Shafa.
Shafa hanya tertawa kecil tanpa lagi menghiraukan wajah putra nya yang masih terlihat ling lung.
Zeyden sendiri juga bingung kenapa dia malah memikirkan wajah Kanaya.
" Kenapa malah jadi mikirin dia sih? Zey... Zey..." Bathin Zeyden merutuki diri nya.