Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10.
Kesunyian menjawab.
Ia meremas kain selendang lusuh yang pernah ia pakai sejak muda. Selendang peninggalan loji. Dalam hati nya, ada ruang kosong yang semakin melebar. Ia mulai merasakan satu ketakutan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya:
Bukan takut mati, tapi takut menjadi tidak diingat..
Ia menatap dinding joglo yang penuh bayangan.
“Apakah orang orang dusun masih ingat aku?”
“Apakah mereka masih ingat mantera mantera yang pernah kuajarkan?”
“Apakah Merapi akan tetap mengenalku kalau kelak aku tiada?”
Suaranya pecah seperti ranting yang patah... Kodasih menangis tanpa suara.
Dan malam itu, joglo tua seakan merunduk.. seperti ikut memahami kesedihan perempuan yang telah menua. Yang telah memberikan hidup nya untuk banyak orang, namun kini duduk sendirian sebagai saksi zaman yang berubah.
Beberapa hari berikutnya, ada hari hari ketika Kodasih tidak menyalakan lampu sampai sangat malam.
Ada hari ketika air kendi habis tapi ia biarkan begitu saja.
Ada hari ia duduk seharian di serambi, memandang ke bawah.. Dari kejauhan Puskesmas yang semakin ramai.. Loji Tuan Menir yang telah menjadi kantor Perkebunan Nasional Wilayah XXVI hilir mudik mobil mobil di jalan depan loji yang telah beraspal..
Ada hari ketika ia hanya duduk, memandang kabut naik turun di lereng Merapi .
Menunggu.
Menunggu seseorang mengingat jalan menuju joglo.
Namun sepi... tak ada yang datang.
Dusun Akar Wangi, seperti bukit yang terus ditumbuhi semak baru, perlahan menutup jalan lamanya sendiri.
Joglo Kodasih yang dulu menjadi pusat doa dan tempat berlarinya keluh derita.. Perlahan menjadi rumah yang hanya disebut sekali sekali, tanpa arah siapa penghuninya.
Dan di dalamnya, seorang perempuan yang telah menua terdiam menahan rasa ditinggalkan, rasa dilupakan.
🌑🌑🌑
Setelah berbulan bulan dihantui kesepian, Kodasih mulai merasakan sesuatu yang lebih gelap mengendap di dada nya. Bukan hanya rasa ditinggalkan, tetapi rasa bahwa diri nya tidak lagi berarti.
Meskipun sesekali Warastri mengirim surat, tulisannya rapi dan wangi kertas baru. Tapi surat surat itu kini hanya disimpan Kodasih di bawah kendi.
Ia tidak membacanya lagi. Menurutnya, surat hanya memperpanjang rindu.
Pada suatu sore ketika kabut turun lebih cepat dari biasanya. Joglo itu terasa lebih sunyi daripada hari hari sebelumnya. Sunyi yang bukan lagi kosong, tapi seperti menunggu sesuatu pecah dari dalam diri nya Kodasih. Ia berjalan pelan menuju kamarnya, langkahnya menyeret seolah setiap tikaman usia menahan pergelangan kakinya.
Di sudut ruangan, berdiri cermin besar yang sejak lama ia tutup dengan larutan kapur. Saran dari Arjo, katanya agar ia tidak melihat bayangan dirinya atau bayangan yang lain. Kodasih awalnya menganggap itu hanya gurauan untuk menenangkan hatinya saat mula wajahnya rusak.
Tapi sore itu… ada dorongan lain.
Dorongan yang datang dari tempat gelap di dada nya, tempat di mana rasa dilupakan menumpuk seperti abu dupa kemanyan yang dingin.
Ia mengusap permukaan cermin itu dengan telapak tangan gemetar. Debu kapur rontok, jatuh seperti serpihan salju kecil, hingga akhirnya bayangan itu muncul.. pelan, dari balik sisa kabut putih yang melekat.
Dan ketika wajah nya terlihat jelas, napas Kodasih berhenti.
Bukan karena wajah nya yang penuh bekas luka. Bukan karena garis garis keriput telah menghiasi wajahnya. Bukan karena rambut sudah mulai memutih dan kusam. Bukan pula karena kulit yang mulai mengendur...
Tapi karena ia tidak mengenali perempuan yang menatap balik dari dalam cermin itu.
Matanya kosong.
Pipi kirinya tampak lebih tenggelam daripada yang ia rasa di wajahnya sendiri.
Bahkan senyum kecil yang biasa ia buat untuk memastikan dirinya “masih ada” pun tidak kembali dari pantulan itu.
Seolah cermin itu menampilkan seseorang yang lebih tua…
lebih rapuh…
lebih ditinggalkan…
lebih “tidak berarti” daripada dirinya.
Kodasih mundur setapak...
Suhu kamar turun drastis, membuat kulit tengkuknya meremang.
“A-apa… itu aku?” bisiknya.
Namun “wajah dalam cermin” itu .. yang tampak seperti dirinya, tapi bukan dirinya... tidak bergerak.
Ia tetap memandang Kodasih dengan mata yang kosong, memanjang, dan seperti menunggu ia berkata sesuatu yang benar.
Kodasih menutup wajah dengan kedua tangan. Isak kecil lolos dari sela jarinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kodasih merasa benar benar hilang.
Bukan hilang dari dunia, tapi juga hilang dari diri nya sendiri.
Ketika ia membuka mata lagi, pantulan di cermin tampak normal… hanya seorang perempuan yang sudah menua, wajah mulai keriput dan penuh bekas luka. Tapi kejanggalan itu sudah terlanjur menancap, seperti duri halus di hati.
Dan saat itulah ia tahu, Ia harus melakukan sesuatu...
Waktu terus merambat hari telah menjadi gelap.. setelah menyalakan lampu teplok. Dengan tangan yang masih bergetar, Kodasih berjalan ke peti kayu di kamar belakang joglo. Ia membuka tutupnya perlahan.
Di dalamnya, ada kain hitam.. Kain hitam yang tidak pernah ia sentuh lagi sejak masa muda.
Kain hitam yang membungkus lontar. Ya.. gulungan lontar yang terbungkus oleh kain hitam. Pemberian Mbah Jati..
Kodasih meraih benda itu, memeluknya seperti memeluk keputusan yang sudah tak bisa ia tarik kembali. Kodasih memejamkan matanya, kedua telinganya terngiang suara Mbah Jati..
"Berangkatlah malam Jumat Kliwon. Jangan naik kendaraan. Jalan kaki melewati jalur lama di belakang Pasar Legi, hingga menemukan batu besar dengan tiga garis merah. Di sanalah jalan ke Karang Pulosari terbuka. Tapi jangan bicara pada siapa pun di perjalanan. Bahkan kalau kau dengar ada yang memanggil namamu."
Kodasih menegakkan tubuhnya dan kembali membuka kedua matanya...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar
Ia pun memutuskan melakukan sesuatu yang sudah bertahun tahun ia hindari. Pergi ke tempat yang tidak semua orang dusun berani datangi.
Ke rumah Mbah Ranti..
“Sekarang adalah waktu yang tepat. Malam Jumat Kliwon. Selagi aku masih kuat berjalan.. dan Mbah Ranti masih ada..”
Kodasih menaruh lontar yang terbungkus kain hitam ke dalam tas kain lusuhnya. Lalu satu tangan membawa lentera untuk penerang jalan. Dan satu tangan memegang tongkat kayu. Tas kain berisi lontar surat Mbah Jati buat Mbah Ranti, ia gantung di pundaknya..
“Aku harus akhiri penderitaanku... “ gumam Kodasih.. pelan pelan melangkah meninggalkan rumah Joglo rapuh nya..
Malam itu, angin dari lereng Merapi membawa bau tanah basah dan wangi samar kuncup bunga kopi yang belum mekar. Udara dingin menusuk, tapi Kodasih nyaris tak merasakannya. Ada sesuatu yang lebih dingin yang sejak lama bersemayam di dadanya.. dan justru itulah yang kini menuntun langkahnya.
Tongkat kayu tuanya mengetuk tanah berdebu di depan joglo. Sekali. Dua kali. Lalu sunyi.
Seolah tanah pun menahan napas.
Dari kejauhan, lampu-lampu Puskesmas masih menyala, kuning dan terang, seperti dunia lain yang tak lagi berhubungan dengannya. Joglo Kodasih tertinggal dalam gelap, hanya diterangi lentera kecil yang ia bawa.
Ketika ia mulai melangkah turun, suara kayu tua di serambi belakangnya berderit pelan.. Seakan joglo itu ingin memanggilnya kembali..
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣