Sena, gadis tujuh belas tahun yang di abaikan oleh keluarganya dan di kucilkan oleh semua orang. Dia bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan bullying yang setiap hari merampas kewarasannya.
Alih-alih mati menjadi arwah gentayangan, jiwa Sena malah tersesat dalam raga wanita dewasa yang sudah menikah, Siena Ariana Calliope, istri Tiran bisnis di kotanya.
Suami yang tidak pernah menginginkan keberadaannya membuat Sena yang sudah menempati tubuhSiena bertekad untuk melepaskan pria itu, dengan begitu dia juga akan bebas dan bisa menikmati hidup keduanya.
Akankah perceraian menjadi akhir yang membahagiakan seperti yang selama ini Siena bayangkan atau justru Tiran bisnis itu tidak akan mau melepaskan nya?
*
Ig: aca0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah-celah tirai tebal kamar. Siena perlahan membuka matanya, tubuhnya terasa lelah namun hangat. Ia menggeliat kecil di tempat tidur, namun segera terhenti ketika pandangannya tertuju pada sosok di sampingnya.
Erlan tidur dengan wajah damai, tangannya melingkar sempurna di pinggang ramping Siena. Saat itu juga Siena mengingat segalanya, tadi malam mereka telah melakukan hubungan intim.
Lalu bagai kaset rusak desahan Erlan yang menyerukan nama Cindy berputar acak dalam kepalanya, membuat sudut hatinya nyeri. Ia menyingkapkan sedikit selimut di dadanya, banyak bercak merah memenuhi area sekitar dada. Jadi, yang tadi malam itu nyata, bukan mimpi.
"Engh..." Terdengar erangan dari samping, Erlan merasa terganggu dengan cahaya matahari pagi yang mengenai wajahnya.
"Siena!" Erlan berjengit kaget dan kekagetannya semakin bertambah mendapati tangannya melingkar di pinggang Siena.
"Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menjebakku?"
Siena tersenyum miris, untuk apa ia menjebak Erlan sementara tadi malam pria itu yang enggan melepaskannya.
" Aku tidak menjebakmu," kata Siena datar, melepaskan tangan Erlan dari pinggangnya dengan sedikit kasar, "kau yang mabuk karena putus cinta lalu memaksaku untuk melayanimu."
Lalu, Siena menarik kuat selimut untuk membungkus tubuh polosnya.
"Hei, aku-sial, dimana bajuku?" Wajah Erlan memerah kala menyadari badannya juga tak mengenakan pakaian sehelai benang pun. Ia meraih asal salah satu bantal dan menggunakan untuk menutupi asetnya.
" Aku tidak melihatnya, sebaiknya kau segera mandi dan pergi bekerja." Ucap Siena menutupi kepala dan wajahnya dengan selimut. Wajahnya merah padam, ia tidak bisa berpikir jernih sekarang.
Erlan yang sudah kepalang malu juga tak mau berlama-lama di ranjang, ia melangkah lebar ke kamar mandi dengan agak sempoyongan.
"Shit! Berapa banyak alkohol yang aku minum tadi malam?" Erlan memijit kening nya, kepalanya pusing, efek dari minuman yang ia tenggak tadi malam.
Erlan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat. Tadi, malam hubungannya dengan Cindy hampir berakhir, kekasihnya itu meminta putus jika ia tidak secepatnya menceraikan Siena.
Emosi tadi malam masih tersisa dalam dada, Erlan tak mungkin menceraikan Siena karena itu akan mengecewakan kedua orang tuanya. Tapi, untuk bisa terus bersama Cindy, ia harus melepaskan Siena.
Haruskah ia menceraikan Siena setelah merenggut kesucian wanita itu tadi malam? Erlan memang tidak sadar saat melakukannya, bahkan ia merasa seolah-olah sedang melakukannya bersama Cindy.
"Bodoh! Bagaimana mungkin Cindy mau," kesal Erlan pada dirinya sendiri. Selama ini Cindy selalu menjaga dirinya dan Erlan juga tidak pernah punya keinginan untuk merusaknya. Erlan mencintai Cindy dan menjaga wanita itu tetap suci adalah bukti bahwa perasaannya tak main-main.
Tidak terasa, Erlan sudah berada di kamar mandi selama tiga puluh menit lebih. Erlan menyudahi kegiatan mandinya dan keluar hanya memakai handuk.
Saat menoleh ke tempat tidur, Siena masih bergelung dalam selimut.
"Mandilah, aku sudah selesai." Ucap Erlan sebelum masuk ke ruang ganti.
Siena mengintip sebentar, tidak melihat keberadaan Erlan barulah ia perlahan berdiri.
"Akh...sakit. Bukankah seharusnya pria itu bertanggung jawab?" Gerutu Siena berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi, bagian intinya sakit saat di bawa berjalan. Ini semua gara-gara Erlan, tapi dia cuek saja dan tidak ada inisiatif untuk menolong.
" Mulai hari ini aku harus menghapus perasaanku pada Erlan, lagipula di hati dan pikirannya hanya ada Cindy. Dasar brengsek!" Siena kembali mengumpat di kamar mandi.
Siena membasahi dirinya bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Siena menertawakan dirinya yang malang, di kehidupan pertama jangankan untuk jatuh cinta, untuk mencintai dirinya sendiri saja Siena tidak bisa.
Hari-hari nya dihabiskan untuk menjadi bayang-bayang dua anak emas orang tuanya, Bella dan Bara.
Di kehidupan keduanya, ia punya kesempatan untuk jatuh cinta, tetapi perasaan itu ia jatuhkan pada orang yang salah. Siena tidak ingin, tetapi perasaan itu hadir begitu saja dalam waktu yang sangat singkat.
"Tidak boleh mengeluh, sie. Tuhan memberikan sebuah kesempatan pasti dengan sebuah alasan." Siena menyemangati dirinya sendiri.
Setelah selesai mandi Siena langsung pergi ke ruang ganti, ia memakai Hoodie oversize dan celana longgar untuk menutupi jejak-jejak aktivitas semalam.
Siena mengelus perutnya yang sedari tadi mengeluarkan suara, ia sangat lapar. Wanita cantik itu berjalan ke ruang makan sambil menahan sakit di area inti nya.
Di meja makan Erlan sudah menunggu dengan wajah datar. Siena melirik piring Erlan yang masih kosong, apa Erlan menunggunya? Ah, tidak mungkin.
"Mau sarapan apa, Nya?" tanya Popy, salah satu maid yang dekat dengan Siena.
" Buatkan aku mie goreng," kata Siena tersenyum lembut, diatas meja hanya ada telur orak-arik, tomat panggang, jamur dan roti panggang. Uh, Siena tak menyukai menu itu.
Namun selagi ia berbicara dengan Popy, satu piring berisi menu diatas meja di letakkan di depannya. Siena menoleh,
"Makan!" Perintah Erlan.
"Aku tidak bisa makan ini," Siena menggeser piring tersebut ke samping.
" Makan mie di pagi hari tidak baik untuk kesehatan. Kau boleh makan mie saat siang atau sore, itupun hanya satu kali seminggu."ujar Erlan kembali menggeser piring ke depan Siena.
"Erlan, aku tidak bisa makan roti,"
"Kau bisa, makanlah." Erlan sama sekali tidak peduli dengan tatapan tidak suka yang dilayangkan Siena.
Pria brengsek ini, setelah tadi malam menyakitiku, sekarang dia bertindak sebagai suami perhatian. Dasar munafik!
"Jangan mengumpat, Siena. meskipun hanya dalam hati, itu jelas tidak baik." Ujar Erlan mulai memakan sepotong roti panggang.
"Aku tidak mengumpat," bantah Siena.
"Tertulis di wajahmu."
"Sudahlah, Erlan, abaikan saja aku. Kau tidak perlu sok perhatian padaku, aku bisa mengurus diriku sendiri." Kata Siena sedingin mungkin.
"Makanlah sarapanmu atau kau lebih suka mengulang aktivitas kita semalam? Barangkali kau ingin merasakan bagaimana rasanya bermain saat aku sedang sadar," kata Erlan santai dengan bibirnya yang tersenyum menyeringai.
Wajah Siena merah padam, dengan setengah hati memakan sarapannya. Jangan harap Siena mau melakukan nya lagi. Cukup sekali saja.
Erlan kembali mengubah ekspresi nya menjadi datar, sejujurnya perhatiannya pagi ini adalah karena rasa bersalahnya terhadap Siena, ia tidak bisa mengabaikan Siena setelah apa yang ia lakukan. Namun, meski begitu Erlan masih mempertimbangkan tentang permintaan Cindy.
Haruskah Erlan mengecewakan kedua orangtuanya demi mempertahankan hubungan dengan gadis yang tak mereka restui? Atau haruskah ia melepaskan Siena setelah mengambil kesuciannya secara paksa?
...***...
Satu kata untuk Erlan 🫵🫵
Jangan lupa like, komen dan vote...