NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Membaca Niat, Menghindar Maut

...Chapter 31...

Baginya, ini bukan sekadar pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan ide dan intuisi—di mana setiap langkah harus dihitung bukan berdasarkan kekuatan semata, melainkan sinkronisasi tak terucapkan antara dirinya dan Ilux.

Ia harus memastikan bahwa setiap usaha mereka tidak saling bertabrakan, tak menimbulkan efek balik yang bisa mematikan bagi salah satu pihak.

Kendati demikian, Theo sadar bahwa kerja sama ini bukanlah hal sederhana.

Ilux hadir dengan kekuatan penuh, namun tanpa arah atau rencana yang jelas, setiap kontribusinya bisa saja menjadi pedang bermata dua.

Theo harus menebak maksud Ilux, membaca niat yang belum sepenuhnya tersampaikan, dan meramu strategi instan demi memaksimalkan keunggulan sementara mereka di medan tempur.

Tekanan mental dan fisik berpadu menjadi satu, menciptakan medan pertarungan yang tidak hanya menantang kemampuan bertarung, tetapi juga kemampuan berpikir cepat dan menyesuaikan diri dengan kekuatan sekutu yang tak sepenuhnya dapat diprediksi.

Mereka berada dalam ketidakpastian yang harus dihadapi bersama.

‘Jadi ini Ilux Rediona yang dulu mereka tulis dalam naskah?

Aku bahkan sudah tidak mengenalimu lagi.

Dulu kau hanyalah bocah keras kepala yang tak pernah paham makna kekuatan sejati.

Namun sekarang, coba lihat dirimu.

Setiap gerakan menyerupai simfoni kehancuran yang digerakkan oleh tangan dewa.

Air, udara, api, tanah, bahkan racun dan pulsar mati—kau menjahitnya jadi satu, memadatkannya dalam wujud kehancuran yang tak pernah dibayangkan.'

Huuuuuh!

'Vostraith Legacy memang mengembangkan dasar kemampuanmu, tapi yang terlihat sekarang bukan lagi hasil pena kolaborasi sebuah perusahaan.

Ini hasil dari tekadmu sendiri, Ilux.

Kau melampaui garis skenario yang seharusnya membatasi diri.’

Udara di sekitar medan pertarungan mendadak bergetar, merespons kehadiran sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar energi manusia.

Ilux, yang berdiri di hadapan Theo, mengangkat kedua tangan ke depan, memposisikan telapak satu dengan yang lain bagai seseorang yang hendak menembak tanpa senjata.

Dalam sekejap, kedua tangannya mulai berubah wujud, bertransformasi menjadi mesin organik yang tampak mustahil diciptakan di dunia mana pun.

Dari sela-sela jemari, muncul cahaya berlapis udara dan air nan berpadu, membentuk corong pemicu bagi sesuatu yang lebih besar dari sekadar serangan.

Theo yang mengamati dari sisi kanan hanya bisa menahan napas, melihat bagaimana Ilux menyiapkan kekuatan destruktif yang belum pernah muncul bahkan dalam skenario terliar di Flo Viva Mythology.

Rudal demi rudal mulai terbentuk, melayang di udara dan bergetar lembut sebelum mengeluarkan suara berdesir nan menyerupai bisikan kematian.

Setiap rudal diselimuti racun yang tidak hanya mematikan, tetapi juga mampu melelehkan sel, organ, bahkan struktur atom dan subatom.

Racun itu tampak bagai kabut pekat berwarna hijau kebiruan nan mengalir di antara lapisan logam hidup, membuat udara di sekitar Ilux tampak beriak seperti permukaan air yang terpapar panas.

Theo, dengan satu tangan yang masih mencengkeram pedangnya dan tubuh nan mulai kehilangan keseimbangan, menatap pemandangan itu dengan campuran antara keterpukauan dan kehati-hatian.

Ia tahu, serangan semacam ini bisa saja menyapu bukan hanya Cru, tetapi juga dirinya jika jarak dan waktu tidak diperhitungkan dengan sempurna.

Kemudian, di sepanjang rudal yang menggantung di udara, muncul lima kekuatan elemental nan berputar dengan keindahan begitu berbahaya.

Di ujung jemari lembut Ilux, lima unsur bangkit. Es putih bersinar bagai serpihan kaca, berdampingan dengan api kehitaman nan menelan cahaya.

Angin kekuningan berdesir laksana mantra kuno, sementara obsidian perapunya bergetar seolah hidup.

Puncaknya, sebuah letupan kemerahan lahir dari sisa energi pulsar yang telah lama mati, kini dihidupkan kembali.

Pemandangan itu menampilkan perpaduan antara kehancuran dan keindahan, antara sains dan mitos yang bertabrakan di ruang yang sama.

Theo, meski sudah terbiasa menyaksikan absurditas dunia Flo Viva Mythology, tidak bisa menahan rasa kagum sekaligus gentar yang merayap di seluruh tubuhnya.

Ilux tumbuh terlalu cepat, melampaui ekspektasi siapa pun, bahkan dirinya yang menganggap sudah memahami seluruh struktur game ini.

Dan semua itu hanya butuh waktu kurang dari satu detik.

'Tenang, Theo. Tarik napas dalam-dalam, jangan izinkan rasa sakit menguasaimu.

Bahu kiriku tak berasa, Parameterku kacau, namun pikiran ini akan tetap aktif.

Selama kesadaran ini masih menyala, aku tetap mampu menuliskan gerakanku sendiri.'

Suuuuaaahh!

'Teknik Totalitas, bukan, kali ini itu bukan solusinya.

Andai kupaksakan teknik itu sekali lagi, tubuhku akan runtuh sebelum pertarungan ini usai.

Maka yang harus berfungsi bukanlah pedangku, melainkan pikiran.

Karenanya aku akan mencoba pendekatan berbeda.

Sebuah metode yang belum pernah ditulis siapapun dalam game ini.

Seni berpedang tanpa menggunakan pedang.

Sebuah gaya nan bersumber dari ide, bukan otot.'

Wossssh!

'Telah kutelusuri ribuan karya, mendalami puluhan seni bela diri fiksi, mencerna setiap helaan napas yang ditulis oleh para penulis gila sepertiku.

Semua gerakan itu, semua jurus nan menghuni pikiran mereka, kini menghuni pikiran.

Tak perlu genggaman, tak harus bilah baja.

Cukup memejamkan mata, menyelami kesadaran, dan biarkan pedangku tercipta dari sana—dari ruang tempat imajinasi berbenturan dengan kehendak.'

Theo berdiri di antara sisa asap dan gelombang energi man tercipta dari kekuatan Ilux, memandangi perkembangan luar biasa yang dipamerkan oleh rekan sekaligus mantan musuhnya.

Ia tidak bisa memungkiri bahwa Ilux telah mencapai titik di mana setiap tindakan dan kekuatannya mendapatkan nilai plus, sebuah capaian yang bahkan sudah terlihat sejak arc pertama episode awal game Flo Viva Mythology dimulai.

Namun, sifat dasar Theo bukanlah seseorang yang membiarkan dirinya tertinggal.

Meski bahu dan lengan kirinya sudah mati rasa, kehilangan kemampuan untuk digerakkan sepenuhnya, dorongan untuk menunjukkan kemampuan yang melampaui nalar justru semakin menguasai dirinya.

Ia menaruh pedangnya kembali ke sarung, menutup matanya rapat, dan dalam diamnya nan nyaris tanpa suara, ia persiapkan sesuatu yang tidak akan pernah tercatat di skenario mana pun.

Pikiran Theo berputar cepat, menembus batas antara logika dan kegilaan, antara kesadaran dan intuisi.

Parameter dalam tubuhnya sudah terguncang, stabilitasnya berada di tepi kehancuran, namun ia masih mampu mengendalikan sebagian dari pusaran kekacauan itu dengan disiplin yang dibangun dari pengalaman dan rasa takut akan kematian.

Ia tahu bahwa jika memaksakan diri menciptakan kembali Teknik Totalitas di kondisi semacam ini, tubuhnya tidak akan sanggup bertahan.

Setiap impuls energi, setiap getaran dalam Inti Lu-nya bisa menjalar liar dan menghapus eksistensinya tanpa sisa.

Oleh sebab itu, Theo memilih jalan lain.

Bukan jalan yang diajarkan, bukan teknik yang dikenal dalam sistem permainan, melainkan jalur nan tercipta langsung dari naluri terdalam seorang penulis yang menolak tunduk pada garis takdir.

Dalam ketenangan paling menakutkan, Theo menciptakan teknik yang bahkan belum pernah dicatat atau dirancang oleh siapa pun.

Ia tidak menebas, tidak melompat, tidak mengayun.

Semua gerakan berpusat dari pikirannya sendiri.

Ia mengalirkan kehendak langsung dari otak menuju ruang di sekitar, memerintahkan dunia untuk bergerak atas dasar pikirannya.

Bukan tindakannya.

Tangannya yang kanan bergerak perlahan, menggambar sesuatu di udara yang tak terlihat, sementara energi di sekitarnya menari, menuruti setiap getaran nan muncul dari benak.

Teknik ini bukan sekadar gaya bertarung baru, melainkan sebuah konsep orisinal yang menembus batas definisi ilmu pedang.

Sebuah gerakan lahir dari kesadaran murni, bukan refleks tubuh.

Suatu teknik yang melampaui nalar permainan.

‘Tiap langkah, tiap putaran kaki, tiap gerakan lembut pergelangan tanganku—adalah sebuah kalimat.

Dan kalimat ini, Cru, hanya ditujukan untuk menusuk jantungmu.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!