Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JAMES SANGAT MENDERITA
Si kembar melompat keluar dari mobil, tertawa dan berlari menuju pintu depan. James keluar terakhir, berdiri sejenak menatap rumah itu — rumah ibunya. Bukan benteng, bukan markas, bukan pangkalan rahasia. Hanya... rumah biasa.
Pintu depan terbuka dengan derit lembut. Di dalam, rumah itu sederhana tapi terawat. Sebuah sofa berwarna krem terletak di ruang tamu, terlihat sedikit usang tapi. Bantal-bantal biru dan abu-abu tertata rapi. Sebuah rak buku tinggi berdiri di sudut, berisi novel, foto keluarga, dan dua patung unicorn keramik — kemungkinan pilihan si kembar. Gambar-gambar keluarga menempel di kulkas dengan magnet, dan aroma lembut vanila memenuhi udara.
Sebuah tangga kayu kecil melengkung naik dari ruang tamu menuju kamar-kamar di atas.
"Selamat datang di rumah kami, Nak," kata Sophie sambil tersenyum, "Silahkan beristirahat. Aku akan bersihkan kamar tamu... atau tidak, sebaiknya kita jadikan itu kamarmu."
James memandangi sekeliling, masih diam, menyerap suasana tempat itu. Begitu berbeda dari apa pun yang pernah dia kenal selama tujuh belas tahun terakhir.
“Di mana kopermu?” tanya Sophie sambil berjalan ke arah lorong.
James tertawa kecil. “Aku tidak membawa apa-apa, ma.”
Sophie terdiam sejenak, pandangannya melayang jauh sebelum akhirnya berbalik dan menghilang ke dalam lorong.
Ketika kembali, dia membawa sepasang pakaian yang terlipat rapi di tangannya, kaus hitam dan celana panjang abu-abu.
Suaranya lembut, nyaris ragu. “Ini milik Julian. Dia tidak akan keberatan... Ukurannya hampir sama denganmu. Kau bisa menggantinya di kamar Mama. Mama akan siapkan kamarmu.”
Kedua anak kembar itu kini berlari-lari mengelilingi meja kopi dengan riang — satu membawa pesawat mainan sambil menirukan suara mesin, yang satunya mengejarnya dengan pedang plastik di tangan.
James mengangguk pelan dan berjalan menuju lorong.
Kamar Sophie menyambutnya dengan keheningan yang lembut. Dindingnya dicat warna ungu muda, dan aroma lembut bunga yang hangat serta menenangkan masih terasa di udara. Tempat tidurnya rapi. Di samping lampu, ada bingkai foto: Sophie, Julian, dan si kembar — tersenyum.
James berdiri di depan cermin, perlahan melepas pakaiannya. Terlihat bekas luka di dada dan bahu.
Pandangan matanya jatuh pada kaos di tangannya, tiba-tiba pintu berderit pelan.
Dia berbalik refleks.
Sophie berdiri di sana.
Dia kembali diam-diam untuk mengantarkan handuk yang lupa diberikan, tapi kini terhenti di ambang pintu, matanya membesar.
Untuk beberapa detik, tidak ada yang berbicara.
Tatapan Sophie jatuh pada dada James yang telanjang, pada luka-luka yang menandai kulitnya. Luka lama. Bekas peluru. Luka bakar. Sayatan pisau.
Napas Sophie tersangkut di tenggorokan.
“James...” bisiknya.
James sedikit tersentak, menyadari bahwa dia belum mengenakan baju. Tangannya mengepal di sekitar kain, bingung harus berbuat apa, tapi dia tidak bergerak. Tidak ada tempat untuk bersembunyi dari tatapan ibunya.
Tangan Sophie menggenggam handuk erat-erat.
“Siapa... yang melakukan ini padamu?” tanyanya dengan suara bergetar.
Namun James tidak menjawab. Dia tidak bisa menjawab. Matanya menunduk, rasa malu menyelinap di wajahnya, bukan karena luka itu, tapi karena ini adalah pertama kalinya seseorang melihatnya begitu.
Sophie perlahan melangkah masuk.
Dia tidak menyentuh James, hanya berdiri di sana, air mata mulai memenuhi matanya.
“Kau masih anak-anak...” gumamnya lirih. “Dan mereka membuatmu seperti ini...”
Handuk itu terlepas dari tangannya dan jatuh pelan ke lantai.
James akhirnya mengenakan kaus itu dan menariknya ke bawah.
“Aku meminta maaf kau harus melihat itu,” katanya pelan, matanya tidak berani menatap ibunya.
Sophie melangkah lebih dekat.
“Jangan meminta maaf padaku.” Suaranya kini tegas. “Aku hanya berharap aku ada di sana... untuk menghentikannya.”
Mereka terdiam sejenak.
Sophie duduk di tepi tempat tidur, memegang pakaian yang terlipat di pangkuannya, matanya menatap bekas luka di punggung dan bahu anaknya.
Suaranya bergetar pelan. “Apa kartu identitas merah itu, James? Kenapa polisi memanggilmu... Jenderal?”
James menatapnya, dia menoleh, perlahan mengenakan kaus hitam yang diberi ibunya sebelum menjawab.
“Itu tidak penting, Ma.”
Kening Sophie berkerut. “James.”
Dia menghela napas pelan, lalu duduk di ujung tempat tidur di sampingnya.
“Saat aku diculik... aku tidak ingat apa-apa. Tidak mengetahui dimana rumahku. Bahkan tidak mengetahui namaku sendiri. Aku hanya anak kecil yang ketakutan. Beberapa orang menemukanku, menyelamatkanku. Sebuah kelompok semacam pasukan khusus. Orang-orang baik, tegas, tapi... mereka membesarkanku. Melatihku. Dan aku melayani negara di bawah mereka. Selama bertahun-tahun.”
Dia tidak menyebut misi atau nama "Reaper." Dia tidak menyebut The Veil.
“Pangkat itu...” lanjutnya, menatap tangannya, “hanya kehormatan. Sesuatu yang mereka berikan sebelum aku pergi.”
Hening.
Kemudian suara Sophie pecah. “Anakku... betapa besar penderitaanmu di usia sekecil itu...”
Air mata mengalir di pipinya. Dia meraih tangan James, jarinya bergetar.
James berbalik, menangkup pipinya dengan lembut, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya.
“Tidak apa-apa, Ma. Aku di sini sekarang. Itu saja yang penting.” ucap James menenangkan.
Kemudian Sophie berbalik, suaranya nyaris berbisik sambil menyeka air matanya. “Aku... akan menyiapkan kamarmu.”
~ ~ ~
Malam itu, rumah dipenuhi dengan kehangatan masakan rumahan dan suara langkah kecil yang berlarian di lantai.
“Makan malam sudah siap!” seru Sophie dari dapur.
Meja makan sudah tertata rapi, penuh dengan makanan dengan aroma yang lezat.
Udara rumah dipenuhi wangi nostalgia — Udara di rumah hangat dan familiar. Dari meja makan, aroma kentang tumbuk mentega mengepul lembut. Di sebelahnya, nampak makaroni keju panggang dengan lapisan atas yang renyah, tepinya masih sedikit mendidih karena baru keluar dari oven. Ayam goreng tersusun rapi diatas piring, kulitnya kecoklatan dan renyah. Sandwich keju panggang terpotong rapi, keju di dalamnya masih meleleh. Semangkuk jagung manis dan saus diletakkan di dekat mangkuk kentang tumbuk yang telah diberi cekungan kecil. Dekat jendela, kue coklat chip masih hangat, baunya semerbak manis. Lalu, disampingnya, segelas susu coklat dingin berdiam di atas meja. Jenis yang dulu selalu diminta James.
Sophie tersenyum lebar, celemeknya berdebu tepung, sedikit keju menempel di lengannya.
“Aku tidak yakin masih ingat semuanya,” katanya sambil menata hidangan, “tapi ini... ini yang selalu kau minta saat kecil dulu. Kau selalu duduk sambil mengayunkan kaki, dan mengatakan ‘tambahkan keju lagi, Ma!’”
“MAKANAAAN!” teriak Hope sambil melompat ke kursinya dengan mainan di tangan.
“Aku ambil ayam duluan!” seru Asher hampir memanjat meja. “Mama bikin kue!”
James berjalan pelan ke meja makan, dia duduk dan menatap semua hidangan itu. James langsung menggigit sandwich keju panggang.
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan