Sellina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Sellina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Sellina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Sellina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Super Protektif.
"Kamu sudah selesai kan, ayo pulang," ucap Tristan, suaranya datar.
Tanpa menunggu jawaban, tangan Sellina langsung disambar. Tarikan Tristan terlalu cepat, terlalu keras, menyalurkan semua amarah yang ia tahan. Namun, langkah mereka terhenti. Tangan Sellina yang lain kini ditahan oleh Erza, yang dengan sigap menghalangi upaya Tristan.
"Hentikan!" sergah Erza, pandangan matanya tajam dan menantang.
Tristan membelalak. Matanya memerah, menunjukkan amarah yang sesungguhnya.
"Maaf sebelumnya. Sepertinya aku harus kasih tau kau, apa hubunganku dengan Sellina sebenarnya. Dia istriku, jadi aku harap tolong jaga sikapmu saat di luar jam kerja."
Erza melepas genggamannya, sebuah senyum tipis, hampir seperti tawa mengejek, tersungging di bibirnya.
"Yakin dia istrimu? Tapi dia kesakitan kayak gitu kau gak peduli," ujarnya, matanya tak lepas dari tangan Sellina yang di cengkeram Tristan.
Saat itu juga, Sellina melepaskan tangannya dari Tristan dengan sentakan yang kuat. Rasa sakit di pergelangan tangannya tak seberapa dibanding rasa sakit karena dipermalukan dan diperlakukan kasar.
"Sakit, Mas. Kamu tu kenapa sih, tiba-tiba kayak gini."
Sellina melangkahkan kaki, mengabaikan Tristan yang kini terdiam dan Erza yang masih menatap.
Pintu mobil Tristan dibuka, lalu ditutup kembali dengan dentuman kasar yang memekakkan telinga.
Ia segera menyusul Sellina yang sudah lebih dulu masuk, membanting pintu mobil, dan menghidupkan mesin Porche-nya. Dalam sekejap, mobil mewah itu melesat, meninggalkan Erza yang hanya bisa menatap siluet yang menghilang dengan rasa kalah yang pahit.
Di dalam kabin mobil yang kedap suara, suasana terasa seperti ruang hampa. Sellina duduk bersandar, memandang lurus ke depan, enggan menoleh sedikit pun ke arah suaminya.
Sikap Tristan yang tiba-tiba berubah—dari suami yang dingin menjadi sosok yang meledak-ledak karena cemburu—membuatnya muak dan sangat tidak nyaman.
Tristan mengemudi dengan cengkeraman erat di kemudi. Sesekali, matanya melirik Sellina, tatapan penuh kegelisahan. Ia bingung harus memulai dari mana, udara di dalam mobil terasa pengap, setiap tarikan napas terasa semakin berat.
"Kenapa kau bertemu dengannya? Apa kalian janjian ketemu di sini?" tanyanya, nada penasaran.
Sellina seketika menoleh, tatapannya menyala. Jari-jarinya meremas ponsel di genggamannya, menyalurkan semua frustrasi.
"Kamu kenapa sih, Mas?" Sellina membalas dengan suara bergetar, " Apa ini sangat mengganggumu? Sejak kapan kamu peduli aku pergi sama siapa, hah?"
Tristan menelan ludah. Pertanyaannya telak. Ia tahu ia tidak punya hak untuk cemburu, tetapi perasaannya mengatakan sebaliknya.
"Sellina, pliss. Beri aku kesempatan buat perbaikin semuanya," ucap Tristan, suaranya melembut, dipenuhi permohonan yang tulus. "Aku janji akan jadi suami yang baik buat kamu, bukannya kamu mau itu kan?"
Tristan menepikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, mematikan mesin. Ia membalikkan badan sepenuhnya menghadap Sellina. Kali ini, ia ingin jujur, ingin menumpahkan pengakuan yang selama ini ia tekan, meskipun ia sadar keputusannya ini akan menyakiti Reykha, wanita yang selama ini ia pilih.
Mata Sellina berkaca-kaca, bukan karena terharu, melainkan karena kecewa yang mendalam.
Kata-kata itu, permintaan itu, terasa begitu mudah diucapkan setelah semua kepedihan dan pengabaian yang ia terima. Meminta kesempatan setelah menghancurkan hatinya.
Namun, bayangan wajah umi dan abinya tiba-tiba melintas. Jika ia menolak kesempatan ini, artinya ia memilih perpisahan, dan itu adalah sesuatu yang ia yakini tidak mungkin ia lakukan, demi menjaga perasaan orang tuanya.
'Apa ini jawaban dari doaku selama ini, ya? Jika iya aku akan mencoba ...' batin Sellina, sebuah keputusan yang pahit namun penuh harapan baru.
"Ayo pulang, Mas. Kita masih harus balik ke Makassar," ucapnya, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Tristan, namun memberikan jawaban tersirat yang paling Tristan butuhkan.
Tristan tersenyum tipis, senyum yang mencapai matanya, lega. Keheningan Sellina adalah persetujuan. Diamnya adalah kesempatan kedua yang ia terima.
Mobil segera melaju menuju rumah Nayla. Setelah sampai, mereka segera berkemas dan berpamitan dengan seluruh keluarga. Suasana hangat menyelimuti perpisahan itu.
"Nanti kalau balik lagi ke sini sama bawa kabar baik ya. Mbok pas ke sini perutnya udah gede gitu loh, Sellina," celetuk bude Hasnah, tawa renyah mengiringi harapannya.
"Iya Bude. Insyaallah," sahut Sellina, mencium tangan bude Hasnah sambil tersenyum tipis.
Sellina dan Tristan segera masuk ke mobil setelah semua barang tersimpan di bagasi. Mereka melambaikan tangan, senyum di wajah keduanya terlihat tulus.
Mobil bergerak perlahan, lalu melaju kencang, membawa mereka kembali ke Makassar.
Laju mobil Porsche Tristan terasa mulus dan cepat. Di sepanjang perjalanan, di tengah pemandangan hijau yang melintas cepat, keheningan di dalam mobil tetap menjadi dinding pemisah yang tebal antara Tristan dan Sellina.
Tristan sesekali mencuri pandang. Melihat Sellina yang hanya menatap kosong ke jendela, ia merasakan sesak. Dia tahu bahwa permintaan maaf dan janji yang ia lontarkan tidak akan dengan mudah menghapus luka bertahun-tahun.
Sementara itu, Sellina berusaha keras menyusun kembali hatinya. Ia tidak menjawab janji Tristan, karena terlalu takut untuk berharap. Ia memilih bersikap realistis.
Ia kembali ke Makassar bukan sebagai istri yang terharu, melainkan sebagai wanita yang memilih mempertahankan kehormatan keluarganya dan mencoba menunaikan kewajiban suci pernikahan.
'Aku akan memberinya kesempatan, tetapi ia harus bekerja keras untuk mendapatkannya,' tekad Sellina.
Hingga akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang, mobil itu memasuki Kota Makassar yang padat.
Mereka melewati ikon-ikon kota dan kemudian masuk ke jalanan perumahan elit yang sepi, berhenti tepat di depan rumah megah yang selama ini menjadi saksi bisu pernikahan mereka yang hambar.
Saat pintu pagar terbuka, suasana di depan rumah terlihat kontras dengan ketegangan di dalam mobil. Lampu-lampu depan rumah menyala terang, dan di ambang pintu, sesosok wanita cantik dengan senyum merekah sudah menunggu.
Reykha melangkah cepat mendekati mobil yang baru berhenti. Senyumnya begitu hangat, menyambut kepulangan suaminya.
Begitu Tristan keluar dari sisi pengemudi, Reykha tanpa ragu langsung menghambur, memeluk Tristan dengan erat.
"Sayang, kamu sudah pulang! Aku kangen," bisik Reykha manja di telinga Tristan.
Dan kemudian, di depan mata Sellina yang baru saja keluar dari mobil, sebuah pemandangan yang dingin dan menyakitkan terjadi.
Reykha mendongak, menarik wajah Tristan, dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Sebuah ciuman yang panjang dan terang-terangan, seolah Sellina hanyalah patung tak bernyawa yang berdiri di sana.
Hati Sellina mencelos. Dalam sedetik, semua harapan yang baru saja ia bangun di dalam mobil roboh menjadi debu. Rasa sakit itu tak tertahankan, dan matanya mulai memanas.
Tristan, di bawah ciuman Reykha, sempat melirik Sellina, tatapan bersalah melintas cepat di matanya.
Sebelum Sellina sempat bereaksi atau berbalik pergi, sebuah suara asing membuyarkan adegan menyesakkan itu.
"Assalamualaikum, Mba Sellina! Mas Tristan! Eh ada Bu Reykha."
Seorang wanita paruh bayah, tetangga mereka yang biasa memesan makanan pada Sellina, berjalan cepat mendekat dengan senyum lebar dan buku catatan di tangan. Reykha dan Tristan refleks menjauhkan diri, meski canggung.
"Baru tiba ya?" tanyanya dengan ramah. "Alhamdulillah, sudah sampai. Saya sengaja ke sini mau pesan cumi masak hitam lagi untuk arisan besok."
Sellina memaksa dirinya tersenyum, mengangguk. "Waalaikumsalam, iya Bu Aminah. Baru sampai," jawabnya, suaranya berusaha terdengar normal.
Bu Aminah menghela napas, tampak bingung. "Lho, saya kira Mas Tristan sama Bu Sellina sudah tiba dari semalam? Soalnya saya lihat mobil yang sama persis ini—Porsche warna hitam—sudah parkir di depan rumah ini semalam sekitar jam sebelas. Tapi tadi pagi saya mau ke sini, eh, rumahnya sepi, pagar tertutup rapat. Saya kira salah lihat."
Sellina dan Tristan, seketika membeku. Mobil yang sama? Tadi malam?
bawa semua rasa bersalahmu