Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pak Baharuddin berdiri terpaku di ambang pintu, tubuhnya bersandar pelan ke kusen kayu pintu penghubung dengan dapur. Dari kejauhan, matanya tak lepas mengamati sosok Hannah yang tengah sibuk memasak. Gerakan tangannya lincah, tapi ada guratan hening di wajah putrinya yang membuat batin sang ayah makin terusik.
Pria tua itu sangat penasaran apa yang membuat Hannah trauma sampai kehilangan kemampuan berbicara dan berjalan.
"Aku yakin kejadian itu sesuatu yang sangat mengerikan sampai kamu menjadi seperti ini," batinnya, lirih. Pandangannya berkabut oleh rasa bersalah yang tak pernah pudar.
Seiring waktu, rasa penasaran itu makin menyesakkan dada. Namun, sebesar apa pun keinginannya untuk bertanya langsung, Pak Baharuddin memilih diam. Dia tahu luka di hati Hannah masih menganga. Satu pertanyaan saja bisa seperti menyiram garam ke luka yang belum mengering. Karena itu, dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri apa yang sebenarnya terjadi 25 tahun silam—masa lalu yang sudah lama terkubur, tapi masih menyisakan teka-teki.
"Akhirnya selesai juga masak pepes ikan kesukaan ayah," batin Hannah.
Matanya kemudian menangkap pemandangan yang menghangatkan hatinya—Yasmin, anak semata wayangnya, sedang bermain boneka di pojok dapur dekat pintu belakang.
Warung makan masih lengang. Baru beberapa pelanggan duduk di meja sambil menikmati sarapan telat. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit.
Hannah menggapai lonceng kecil di dekat kompor dan membunyikannya perlahan. Bunyi gemerincing itu langsung membuat Yasmin menoleh.
"Ada apa, Ma?" tanya Yasmin sambil melangkah ceria ke arah ibunya, rambutnya dikuncir dua, pipinya memerah karena kegirangan bermain.
Hannah tersenyum, lalu menggunakan bahasa isyarat yang sudah dikuasai Yasmin sejak kecil. Mama mau buat sop buah. Mau, enggak?
"Mau!" jawab Yasmin dengan antusias. Matanya berbinar membayangkan rasa segar dari potongan buah dalam kuah susu dan santan.
Dengan cekatan, Hannah mulai memotong semangka, melon, apel, dan anggur. Jemarinya bergerak luwes, seolah dia tak hanya meracik makanan, tapi juga sedang menuangkan cinta dan harapannya dalam setiap sendoknya. Ditambah potongan agar-agar warna-warni dan es batu yang membuat seluruh campuran tampak begitu menggoda. Setelah semua selesai, dia masukkan sop buah itu ke dalam kulkas, berharap dinginnya bisa mengimbangi panas siang yang mulai menyengat.
Setelah itu, Hannah mengambil ponselnya. Jantungnya berdetak lebih cepat saat hendak mengetik pesan kepada Arka. Rasanya seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta—malu-malu tapi berharap. Bibirnya mengulum senyum tipis saat akhirnya pesan itu terkirim.
[Arka, hari ini sibuk, tidak? Aku membuat sop buah. Kalau ada waktu mampirlah ke warung.]
Namun, hingga beberapa menit berlalu, centang pada pesan itu belum juga berubah menjadi dua. Masih satu. Hannah menggigit bibir bawahnya pelan. Kepalanya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan.
"Mungkin dia sedang sibuk ... atau mungkin dia sedang mempersiapkan keperluan untuk pergi ke ibukota, besok," batinnya, berusaha menenangkan diri. Tapi ada setitik kecewa yang tak bisa ia abaikan.
Yang tidak Hannah tahu, saat itu Arka tengah berada di sisi Arman—kembarannya yang sedang bersiap untuk melakukan lamaran.
Waktu yang diberikan Pak Agung sudah habis dan dengan berat hati, Arman akhirnya memutuskan untuk mengorbankan dirinya, menerima pertunangan dengan Aruna demi mendapatkan dukungan suara pemegang saham.
“Kamu sebaiknya berpikir ulang. Bagaimana kalau Karin kembali? Dia pasti akan kecewa kepadamu,” ucap Arka lirih, menatap Arman yang sedang berdiri di depan cermin. Pancaran mata Arka tak sekadar memberi nasihat, tapi memohon agar saudaranya berpikir ulang.
Namun Arman hanya menyeringai kecut, mencoba menyembunyikan luka yang menggerogoti dadanya. Tangannya sibuk merapikan dasi biru gelap yang kontras dengan wajahnya yang pucat dan matanya yang cekung karena kurang tidur.
“Sudahlah. Lagian Aruna maunya sama aku, bukan sama kamu,” balasnya datar. Kalimat itu terdengar seperti sindiran, tapi nadanya kosong—tanpa semangat, seperti orang yang kalah sebelum bertarung.
Arka hanya menghela napas. Hatinya tercekat melihat perubahan besar pada Arman—si pria flamboyan, si penggoda ulung yang kini berubah jadi sosok murung dan mudah marah. Lelaki yang selama ini mencintai kebebasan, kini malah terperangkap dalam keputusan yang dia buat sendiri demi harga diri dan gengsi.
Kemarin, Arka sempat menawarkan diri maju dalam pertunangan dengan Aruna demi menyelamatkan perusahaan keluarga mereka dari kekuasaan Soraya. Akan tetapi Pak Agung menolak mentah-mentah. Aruna bersikukuh ingin Arman.
Ironisnya, Arka merasa lega—sekaligus bersalah. Satu sisi dia senang karena tidak dipilih oleh Aruna. Namun, di sisi lain dia juga tidak tega melihat Arman yang seperti ini. Dia tahu, Arman hanya menerima lamaran itu karena merasa gagal menemukan Karin.
Baru kali ini Arman terlihat rapuh karena ditinggalkan seorang wanita. Biasanya, putus cinta hanya seperti debu di bahunya—tinggal diseka, hilang. Tapi tidak kali ini. Karin bukan sekadar kekasih bagi Arman—dia rumah, tempat Arman merasa diterima tanpa syarat.
“Sebaiknya kamu juga segera lamar Hannah. Usia kita sudah matang untuk berumah tangga,” ucap Arman sambil menepuk pundak Arka. Satu kalimat yang membuat Arka menoleh cepat dengan ekspresi tak percaya.
Mulut Arka sempat terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Kalimat itu—keluar dari mulut Arman—sungguh mengejutkan. Arman yang selama ini menertawakan pernikahan, kini malah menyarankan kakaknya untuk segera menikah. Dunia seolah terbalik.
“Ya. Jika semua permasalahan kita dengan mereka selesai, aku akan melamar Hannah,” jawab Arka akhirnya. Ucapannya seperti janji yang ditulis dan tak akan diingkari.
Arman tersenyum. Senyum tipis yang menyimpan seribu luka. Ada sedikit ketenangan terpancar dari wajahnya, seolah lega karena saudaranya tidak menunda kebahagiaannya seperti dirinya.
Acara pertunangan itu jauh dari ekspektasi. Baik Arka maupun Arman mengira prosesi itu hanya akan berlangsung sederhana, di rumah dengan dua keluarga saling bertukar cincin. Namun nyatanya, ballroom hotel mewah telah disulap menjadi panggung glamor, penuh bunga segar, lampu temaram, dan iringan musik klasik dari kuartet gesek profesional.
“Selamat, ya! Akhirnya kamu dan Aruna akan segera menikah,” ucap seorang rekan bisnis Pak Agung sambil menjabat tangan Arman.
Arka, berdiri di sisi ruangan, menyapu pandangan. Di antara kerumunan tamu berbusana gemerlap, matanya menangkap sosok Soraya dan Citra. Dua wanita dari masa lalu yang masih mencengkeram masa kini. Soraya tampak angkuh, mengenakan gaun satin berwarna emas. Citra di sampingnya, mengenakan gaun merah darah, berdiri seperti bayangan gelap yang selalu menguntit.
"Rupanya Mak Lampir diundang ke acara ini," batin Arka sinis. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Sementara itu, Aruna terlihat begitu menempel pada Arman. Seperti kucing kecil yang tak ingin kehilangan induknya, ia tak berhenti merangkul lengan calon suaminya.
“Eh, itu ada calon ibu mertua!” seru Aruna sambil menunjuk Soraya.
Arman langsung menarik tubuh Aruna menjauh sedikit. “Dia bukan ibu mertua kamu. Dia adalah Mak Lampir. Kamu harus jauh-jauh darinya kalau tidak ingin celaka,” bisiknya.
“Aaa ... takut!” Aruna memekik pelan. Ia lalu bersembunyi di balik tubuh Arman, memeluknya erat.
Arman tertawa kecil. Untuk sesaat, rasa sedihnya teralihkan.
“Kalau mereka macam-macam sama kamu, lawan saja. Kamu harus kuat, jangan takut. Aku akan selalu mendukung dan membela kamu,” ucap Arman, menatap gadis itu penuh tekad.
“Oke. Kalau nanti mereka jahat sama aku dan sama kamu, akan aku balas,” ujar Aruna, mendongak dengan wajah serius.
“Gadis pintar.” Arman mengusap kepala Aruna. Gestur sederhana itu membuat gadis itu tersenyum lebar. Lalu, tanpa ragu, ia mengecup pipi Arman.
Mata Arman melebar. Dia tak menyangka gadis itu berani melakukan hal seperti itu di depan umum. Dia tak berkata apa-apa, hanya tersenyum samar. Namun, suasana berubah mencekam saat Soraya mendekat.
“Selamat, ya, Arman! Akhirnya kamu bertunangan dengan putrinya Pak Agung yang idiot itu,” sindir Soraya tajam, bibirnya menyeringai mengejek.
“Aruna lebih terhormat daripada anak haram mu itu,” balas Arman tanpa ragu.
Citra yang berdiri di samping Soraya sontak menegang. Kata-kata itu seperti peluru panas yang ditembakkan ke dadanya. Orang lain tidak tahu kenyataan itu, tapi Arman mengetahuinya dengan jelas kalau dia terlahir dari hubungan di luar nikah.
“Berani-beraninya kamu menuduh seperti itu kepada putriku!” Soraya menunjuk wajah Arman.
Belum sempat dia melanjutkan makiannya, tiba-tiba Aruna menggigit keras jari telunjuk Soraya hingga darah merembes keluar.
“Aaaaa … lepaskan!” teriak Soraya, memekik kesakitan.
Seluruh ballroom sontak terdiam. Mata semua tamu tertuju ke arah mereka.
“Dasar Mak Lampir! Pergi dari sini!” teriak Aruna lantang, nadanya tegas dan penuh keberanian.
Arka dan Arman tak berkedip. Aruna memang tidak sempurna—kadang kekanak-kanakan dan naif—tapi hari ini dia membuktikan bahwa dirinya bukan gadis lemah yang bisa diinjak-injak.
Soraya menatap tangannya yang berdarah, lalu melotot ke arah Aruna. Namun, Aruna tidak gentar, berdiri tegak di samping Arman.
***
😀😀❤❤❤😍😙😗