Valentine Lee mengalami malam terburuk dalam hidupnya. Ia diperkos4 oleh pria yang mencintainya selama ini, lalu mendapati tunangannya berselingkuh. Dalam kepedihan itu, ia mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya.
Saat sadar, seorang pria tampan dan berkuasa bernama Vincent Zhao mengaku sebagai tunangannya dan membawanya pulang untuk tinggal bersamanya.
Namun ketika ingatannya pulih, Valentine akhirnya mengetahui siapa Vincent Zhao sebenarnya. Akankah ia memilih Vincent yang selalu melindunginya, atau kembali pada tunangan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Zeo Group hanya seekor semut bagiku, apa yang ingin kau banggakan?" ucap Vincent dengan dingin
"Kau siapa sebenarnya dan apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar, meski mencoba terdengar tegas.
"Kau adalah mantan kekasih Jacky Zhao. Putus dua tahun lalu, bukan? Lalu kenapa kau kembali lagi, menyusup dalam hidupnya dan berselingkuh dengannya. Seorang putri dari pengusaha besar… justru menjadi selingkuhan pria yang akan segera menikah. Sungguh memalukan."
"Kenapa kau mengenal Jacky? Lagi pula aku dan Jacky saling mencintai! Tunangannya itu hanya perjodohan yang dipaksakan. Jacky sama sekali tidak mencintainya!" ucap Alexander penuh keyakinan.
"Kenapa Jacky lebih memilihmu?" tanyanya tajam, menelusuri setiap ekspresi di wajah Alexander, mencari celah ketakutan yang tersembunyi.
Alexander mengangkat dagunya dengan angkuh. "Karena aku kaya dan cantik! Wanita itu tidak memiliki apa pun. Tidak pantas untuk Jacky. Dia hanya gadis biasa, tak selevel. Jacky adalah pewaris perusahaan properti besar—dia pantas mendapatkan wanita seperti aku!" jawabnya penuh percaya diri.
Vincent mendengus pelan. "Layak atau tidak layak… bukan kau yang memutuskan," balasnya, kini dengan suara rendah dan mengancam.
Ia melangkah perlahan ke arah meja, lalu mengeluarkan sebuah pisau kecil dengan bilah mengkilap. Pantulan cahaya membuat benda itu tampak seperti simbol kematian. Alexander terdiam, tubuhnya menegang.
Vincent duduk perlahan di meja, memposisikan dirinya tepat di hadapan Alexander. Tatapannya menusuk, dan tangannya memainkan pisau itu seperti seorang maestro memainkan biolanya.
"Kaya dan cantik hanyalah sesaat," katanya sambil mengayunkan pisaunya ke udara, "Kesombonganmu akan segera sirna. Aku akan pastikan… semua yang kau miliki saat ini akan segera hilang, tinggal nama."
"Apa yang ingin kau lakukan? Kau siapa sebenarnya ?!" serunya ketakutan. "Aku adalah calon menantu keluarga besar Zhao! Kalau kau berani menyakitiku, mereka tidak akan melepaskanmu!"
"Siapa yang telah mengakuimu sebagai menantu mereka?" ucap Vincent pelan namun penuh tekanan. "Apakah kau mengira Jacky memiliki kekuasaan di rumah itu? Maka kau sudah salah besar."
Alexander menegang. Kata-kata Vincent seperti tamparan keras yang menggoyahkan rasa percaya dirinya. Ketakutan mulai menyelimuti hatinya, meskipun ia mencoba mempertahankan ekspresi keras.
"Apa maksudmu? Sebenarnya… kau siapa?" tanyanya
Tanpa menjawab, Vincent menoleh ke tumpukan berkas di atas meja, lalu dengan gerakan cepat, ia mengambil satu set lembaran foto. Dengan penuh penghinaan, ia melemparkannya ke wajah Alexander.
Brak!
Lembaran-lembarnya berhamburan di udara sebelum jatuh berserakan ke lantai—foto-foto yang memperlihatkan Alexander dan Jacky dalam berbagai pose intim. Beberapa di antaranya diambil secara diam-diam, memperlihatkan mereka berdua di kamar hotel, di dalam mobil, hingga di restoran mewah.
Alexander menatap lantai dengan mata membelalak. Tubuhnya membeku saat menyadari apa yang dilihatnya. Wajahnya pucat seketika.
"Itu semua… dari mana kau—" gumamnya nyaris tak terdengar.
"Karena aku adalah Vincent Zhao," ujar pria itu dengan nada rendah namun menggelegar, "Bocah tidak berguna itu—Jacky—menyakiti calon istrinya sendiri hanya demi wanita rendahan sepertimu."
Alexander terbelalak. Raut wajahnya langsung berubah pucat, seolah darah mengalir keluar dari wajahnya. Matanya membesar penuh ketakutan dan ketidakpercayaan.
"K-Kau... kau paman Jacky?" tanyanya terbata, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Vincent menatapnya tajam, dingin, seperti serigala yang siap mencabik mangsanya. "Kau sengaja mengirim pesan kepada Valentine Lee, untuk membuatnya cemburu… untuk menyakiti hatinya. Luar biasa. Kau berhasil. Gadis malang itu kini terbaring koma di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati."
Alexander mencoba bertahan dengan sikap angkuhnya, walau tubuhnya mulai gemetar. "Itu bukan salahku! Jacky tidak mencintainya. Aku hanya ingin menyadarkan dia agar menyerah. Dia tidak sebanding denganku… sama sekali tidak."
Vincent tertawa dingin, lalu tiba-tiba menjambak rambut Alexander dengan kasar. Kepala wanita itu tertarik ke belakang, memperlihatkan wajah panik yang kini tak bisa menyembunyikan ketakutan.
"Tidak sebanding denganmu?" gumam Vincent, matanya menyala dengan amarah yang ditahan. Ia menarik pisau tajamnya, mengarahkannya ke wajah Alexander. Kilauan bilahnya menyilaukan mata di bawah lampu.
"Wanita rendahan sepertimu bahkan tidak layak menjadi alas kaki Valentine Lee."
Lalu—sret!—pisau itu menyayat kulit halus di pipi Alexander.
"Aaahhh!" Jeritan histeris keluar dari mulutnya. Darah langsung mengalir dari luka di wajahnya. Ia meronta, namun kedua tangannya telah lebih dulu ditahan oleh dua pria bertubuh kekar—anak buah Vincent yang berdiri di sisi kanan dan kiri.
"Tolong! Lepaskan aku!" tangis Alexander pecah, tubuhnya menggigil. Wajahnya berlumuran darah, dan rambutnya kusut di tangan Vincent.
Vincent mendekat, membisikkan kata-katanya nyaris tanpa emosi, namun justru semakin mencekam. "Kau telah menyinggung orang yang salah… dan kau akan membayar mahal untuk itu."
"Aku... aku akan pergi! Aku janji! Aku tidak akan mendekati Jacky lagi! Tolong lepaskan aku!" Alexander menangis pilu, terisak hingga suaranya pecah.
Namun Vincent tidak tersentuh.
"Sudah terlambat," ucapnya dingin. "Aku tidak peduli dengan hubunganmu dengan Jacky… yang aku pedulikan adalah Valentine Lee."
Dan tanpa ragu, Vincent kembali menyayat wajah Alexander. Kali ini lebih dalam, membuat gadis itu kembali berteriak sekeras mungkin hingga suaranya menggema di seluruh ruangan.