Alvaro Neo Sandler adalah pria kaya raya yang memiliki kerajaan bisnis di dalam negri maupun di luar negri, saat ini Alvaro sudah berusia 28 tahu.
Dulu Alvaro menikah di usia 18 tahun setelah lulus SMA, saat itu ia menikah karena di jodohkan oleh orang tuanya karena balas budi.
tapi pernikahan itu tidak tahan lama karena Alvaro mengalami kecelakaan yang mengakibatkan Kedua orang tuanya meninggal sedangkan ia lumpuh dan di nyatakan mandul.
disaat terpuruk sang istri justru menghina dirinya yang cacat serta mandul, lalu memberi surat perceraian.
Tiara Puspa, gadis cantik dan juga baik hati yang baru saja menginjak usia 17 tahun dan duduk di kelas tiga SMA. Tiara adalah anak yatim piatu, kedua orang tuanya sudah meninggal tujuh tahun lalu akibat kecelakaan.
Ia di jadikan pembantu di rumahnya sendiri oleh dan Tante yang menumpang hidup padanya. hingga hampir di jual karena akan di jadikan alat pembayar hutang.
ingin tau kisah keduanya ayo mulai mengikuti kisah mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Cadelan Pertama dan Sepatu Satu
Tanpa terasa usia twins sudah 3 tahun, mereka sudah pintar dan banyak kelakuan lucu setiap harinya.
Pagi itu, rumah keluarga Alvaro dipenuhi suara tawa, tangis, dan langkah kaki kecil yang berlarian ke sana ke mari.
Dua sosok mungil berambut ikal tengah heboh di ruang keluarga, Aryasatya dan Arsela, si kembar kesayangan semua orang.
“Aya tatya pake sepatu 'ini, 'ini ajah!” teriak Arya sambil menunjuk sepatu sebelah kiri warna biru bergambar truk. Ia duduk di lantai, kaki kecilnya menendang-nendang udara.
“Ndak mauuu! Itu sepatu Selaaaa!” balas Arsela dengan pipi gembul yang sudah mulai memerah karena kesal. Ia merangkul sepatu kanan, sambil menatap sang kembaran dengan mata berkaca-kaca.
Tiara hanya bisa menggeleng sambil menahan tawa dari dapur. “Ya ampun... anak-anak Mami rebutan sepatu sebelah doang. Lha, yang kiri ama yang kanan malah dipisah. Satu dipake Arya, satu dipake Arsela!”
Alvaro datang sambil mengancingkan bajunya. “Kenapa pagi-pagi udah kaya debat politik ini?” tanyanya heran.
“Mereka... cuma suka satu sisi sepatu masing-masing,” jawab Tiara sambil membawa dua gelas susu.
Arsela berdiri, lalu dengan bangga menunjuk ke sepatunya yang cuma satu. “Sela pinces! Sepatu pinces satu aja cukup!”
Arya pun tak mau kalah. Ia berdiri juga, tangannya meninju udara. “Aya tatya! Supeman cukup satu sepatu ajaaa!”
Alvaro tertawa terpingkal-pingkal. “Lho kok pahlawan dan putri kerajaan hemat sepatu ya? Nanti Papi jadi orang sepatu dong, keliling nyari sepatu pasangannya!”
Beberapa saat kemudian, datanglah seseorang yang selalu dinanti tiap hari, Om Candra,karena gaya konyolnya.
“Waduh! Kenapa ada sepatu nganggur di depan pintu? Siapa nih, sepatu satu doang? Jangan-jangan sepatu ini mau kawin lari!” ujar Candra
Arya dan Arsela sontak berlari ke arah Om Candra. “Ommm Candaaa!” teriak mereka bersamaan, lalu memeluk kaki kanan dan kiri sang om secara bergantian.
“Huhuhu... Om Canda tangkep-tangkep kita! Ada ciluk baaa!” kata Arsela sambil tertawa cekikikan, pipinya mencuat.
Candra langsung jongkok, pura-pura jadi monster. “Waduh... om monster makan anak-anak bersepatu satu!”
“Aaaa, jangan om, Aya belom mi-num susu!” jawab Arya dengan mata membulat takut-takut tapi lucu.
Tiara mengangguk dari belakang. “Minum dulu, baru bisa lari dari monster.”
Arya langsung menyambar gelasnya dan menyeruput susu dengan suara berisik. “Sruuuppp! Aya uda kuat lawan montel!”
Hari itu, mereka semua berkumpul di rumah keluarga kecil bahagia itu. Tak lama kemudian, terdengar suara klakson di depan rumah. Tiara langsung menoleh," itu pasti mama dan papa yang baru pulang" ujar Tiara l
Benar saja, Oma Nara dan Opa Noe masuk membawa kantong besar berisi camilan dan mainan.
“Selaaaa! Ayaaa! Cucu Omaaaa datang nihhh!” seru Oma Nara.
Arsela langsung berlari menyambut sambil menggoyang-goyangkan rambut kuncirnya yang tidak rapi. “Oma! Sela punya boneka! Pinces Selupi, lihat Omaaa!”
Arya tak mau kalah, ia membawa mobil mainan berwarna merah. “Opa! Liat, Aya punya ‘tuk-’tuk!” maksudnya: truk-trukan.
Opa Noe langsung memeluk mereka berdua. “Ya ampun, cucu-cucu kesayangan Opa makin cadel yaa... Tapi pintar dan lucunya nambah tiap minggu.”
Setelah makan siang, mereka duduk di ruang keluarga, Tiara dan mama Nara mengobrol di sofa, sementara Alvaro dan papa Noe membahas rencana taman belakang. Sementara itu, si kembar bermain kartu warna bersama Om Candra.
“Ini warna apa, Sela?” tanya Om Candra sambil menunjukkan kartu warna hijau.
“Ijemm!” jawab Arsela mantap.
“Kalau ini?” Om Canda mengangkat kartu biru.
“Bilel!” Arya ikut menjawab cepat.
“Waduh, cadel tapi cerdas! Kalau ini?” Om Canda memegang kartu merah.
“Melah!” jawab keduanya serentak.
“Bener semua! Waaa, luar biasa. Tapi gimana kalau ini?” Ia mengangkat kartu ungu.
Arsela menatap lama lalu berkata, “Ungu angklembong!”
Candra nyaris tertawa terbahak. “Itu maksudnya ungu anggur, ya?”
Arya menyela. “Ungu kaya celana Omaaa!”
Semua orang di ruangan itu tertawa keras.
Menjelang sore, waktu bermain semakin liar. Arya dan Arsela membuat “kereta api” dari bantal sofa, boneka, dan selimut. Mereka duduk di atas tumpukan bantal sambil teriak-teriak:
“Kereta pinces elen mau jalan!”
“Supeman nyetil! Aya siap ya!”
Om Candra pura-pura jadi penumpang yang telat. “Tungguuuu! Saya mau naik jugaaa!”
“Telattt! Tiketnya udah habisss!” seru Arsela sok galak.
“Om beli pakai biskuit deh!” Om Candra mengangkat satu keping biskuit.
“Bolehhh! Duduk di belakang yaaa,” jawab Arya dengan suara cadel yang bikin gemas.
Ketika jam menunjukkan pukul lima sore, mereka sudah lelah. Arsela tertidur dengan boneka kelincinya di pelukan, mulutnya sedikit terbuka. Arya bersandar di bahu Om Candra, dengan tangan masih menggenggam roda truk mainannya.
Tiara memandangi mereka dari ambang pintu. Senyum merekah di wajahnya.
“Mereka memang bikin rumah ini selalu riuh. Tapi nggak pernah sepi dari tawa,” ucapnya pelan.
Alvaro menambahkan, “Dan semoga tawa ini nggak pernah hilang, sampai mereka besar nanti.”
Candra menimpali sambil membelai kepala Arya. “Tenang. Om Candra siap jadi badut keluarga sampai tua.”
bersambung