Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MULAI BERBEDA
Hadwin terdiam cukup lama seolah membeku. Pertanyaan Briela benar-benar mengetuk ketenangannya. Haruskah Hadwin jujur saja kali ini? Tapi bagaimana jika Briela terbebani?
Keduanya saling menatap dalam diam. Diamnya Hadwin mengandung kebimbangan sedangkan diamnya Briela lebih kepada rasa penasaran yang mengharapkan sebuah jawaban pasti. Wanita itu bahkan tidak memiliki petunjuk apapun, dan murni karena merasa penasaran.
"Melihatmu yang banyak bertanya, aku rasa kau sudah benar-benar sembuh. Aku akan membuat risotto ayam jamur saja. Kau tidak masalah kan, dengan itu." Hadwin mengalihkan pembicaraan, jelas sekali pria itu tidak ingin melanjutkan pembicaraan sebelumnya.
"Aku tidak pilih-pilih makanan, Hadwin. Kau boleh membuat apa pun. Aku pasti akan memakan apa pun yang kau masak. Masakanmu selalu sempurna di lidahku."
"Baiklah jika kau tidak ingin menjelaskan alasanmu. Tapi, ku harap kau tidak memperlakukan orang lain seperti kau memperlakukanku!" lanjut Briela.
Hadwin bergetar mendengar larangan Briela. Hadwin mendehem, lalu bertanya, "Apa alasannya?"
"Kau terlalu baik, Hadwin. Dan dunia ini terlalu kejam untukmu yang begitu baik. Aku tidak ingin kau di manfaatkan orang."
Raut wajah Hadwin berubah, semula ia berbinar tapi kali ini binarnya redup seketika saat mendengar penjelasan Briela. "Aku tidak sebaik itu, Brie. Kau terlalu polos untuk menyadari semua ini," ucap Hadwin lirih.
Briela meletakkan gelas minumnya yang sudah kosong. "Kau tadi bicara apa? Aku tidak terlalu mendengarmu."
"Bukan hal yang penting." Hadwin bersyukur sebab Briela tidak mendengar dengan jelas apa yang tadi sempat ia ucapkan. Kau bisa menonton televisi atau apapun, aku akan memanggilmu ketika makanannya sudah jadi," lanjutnya.
"Haruskah aku membantumu?" tanya Briela. Ia menawarkan bantuan.
Hadwin menghentikan kegiatannya, pria itu menatap Briela yang juga menatapnya dari kursi meja makan. "Kau duduk saja! Ini bukan masakan yang akan membutuhkan banyak persiapan. Kau juga belum terlalu pulih," ucap Hadwin.
"Ya sudah, aku akan melihatmu memasak. Jangan mengusirku!"
Hadwin terkekeh melihat wajah Briela yang memberengut. Setelah itu Hadwin kembali melanjutkan kegiatannya.
Briela menatap fokus pada sosok Hadwin yang mengenakan celemek. Pria itu tampak begitu telaten saat memotong jamur. Briela menatap kagum.
Hadwin terlalu baik jika hanya dijadikan sebagai partner bisnis. Dia adalah pria yang sempurna untuk dijadikan suami.
Briela menggelengkan kepalanya, namun saat ia kembali menatap pada Hadwin ia lagi-lagi teringat akan semua kebaikan yang telah Hadwin lakukan padanya.
Seperti sadar dengan apa yang Briela pikirkan, Hadwin mendongak. Ia menatap Briela dan mengulas senyum.
Senyuman Hadwin kali ini bagai pemukul genderang dalam hatinya, debar jantung tak beraturan mulai berpacu dengan dentingan detak jam di dinding. Briela memegangi dadanya.
Ada apa ini? Apakah ada yang salah dengan dirinya?
Briela menuang air minumnya dan kembali menghabiskannya hingga tandas. Ia sibuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang setiap menatap ke arah Hadwin.
Namun, sekeras apa pun usahanya. Debar jantungnya tak kunjung reda, wanita itu bangun dari kursi duduknya dengan cepat hingga menghasilkan bunyi derek pada kursi yang bergesekan dengan lantai marmer.
Hadwin menatapnya dan lagi-lagi jantung Briela semakin berpacu kencang. Briela salah tingkah. "Aku akan ke balkon, aku butuh udara segar."
"Hm," sahut Hadwin singkat. Pria itu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Briela membawa langkah kakinya dengan cepat menuju balkon. Ia menghirup udara dengan rakus, wanita itu berharap tindakannya itu dapat menenangkan jantungnya yang berdetak kencang tak beraturan.
Briela berkali-kali menghirup napas dalam, lalu membuangnya dengan mulutnya hingga akhirnya ia mulai tenang. Mata Briela mengedar ke seluruh penjuru yang tertangkap olehnya, dan ia baru sadar jika apartemen Hadwin menampilkan hampir seluruh pusat kota.
Briela menerima sapuan angin yang menerpa tubuhnya dengan suka rela. "Aku sempat kesal karena dia mengaturku untuk istirahat di rumah. Tapi berkatnya aku bisa menikmati pemandangan ini. Ini patut disyukuri," gumam Briela lirih.
*Apa yang patut disyukuri, Brie?" Hadwin bertanya dengan nada rendah khas miliknya.
Briela menoleh, Hadwin sudah ada di sampingnya. Sejak kapan? Briela sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Briela mengalihkan pandangannya ia tidak ingin jantungnya kembali berulah.
"Tidak ada, aku hanya asal bicara." Briela berjalan masuk ke dalam rumah. "Apakah sudah matang? Aku sudah lapar," lanjutnya.
"Sudah, aku berniat memberitahumu. Aku sudah menyiapkannya di atas meja. Ayo kita makan bersama."
Hadwin berjalan mendahului Briela, pria itu menarik kursi untuk Briela pakai dan pergi ke sisi meja untuk menarik kursi untuknya sendiri.
Keduanya makan dalam diam. Hadwin menatap Briela yang tidak berkomentar apa pun, ia pikir Briela makanan yang di buatnya tidak cocok dengan selera Briela. Wajahnya menunjukkan kekecewaan.
Sedangkan Briela sendiri, ia berusaha mati-matian untuk tidak menatap Hadwin. Tekstur lembut risotto di mulutnya juga rasa gurih yang pas benar-benar memanjakan lidahnya. Masakan Hadwin memang tidak pernah gagal, Briela menyukai apa pun yang Hadwin buatkan untuknya.
Briela gatal untuk memuji masakan Hadwin namun ia sadar jika memujinya sekarang ia pasti akan bertatapan lagi dengan Hadwin. Briela takut jantungnya kembali berulah, ia harus menahannya agar bisa menghabiskan masakan Hadwin dengan tenang.
Briela meletakkan sendoknya di atas mangkuk, lalu mengucapkan terima kasih pada Hadwin. "Masakanmu selalu sempurna Hadwin. Rasa masakanmu selalu saja bisa mengalahkan masakan koki bintang lima."
Briela cepat-cepat mengalihkan pandangannya sebelum Hadwin sempat bereaksi, ia meneguk air mineral dalam gelasnya.
"Jangan terlalu melebih-lebihkan, Brie. Nanti aku bisa besar kepala." Hadwin mengulas senyum. Ia senang karena ternyata Briela menyukai masakannya. "Letakkan saja piringmu di atas meja! Nanti akan aku bereskan," imbuh Hadwin.
Briela mengangguk, kali ini ia tidak mendebat apapun. Briela meninggalkan ruang makan, ia berdalih ingin beristirahat karena tubuhnya masih terasa lemas. Siapa yang tahu jika itu hanya kebohongan Briela demi menghindari Hadwin.
Wanita itu butuh ruang di mana ia tidak bisa melihat Hadwin untuk sementara. Dan kamarnya adalah tempat yang tepat. Ia butuh waktu untuk sendiri hingga menemukan apa masalah pada dirinya. Ia mulai merasakan perbedaan saat menatap Hadwin.
Mengapa tiba-tiba ia tidak bisa menatap Hadwin seperti sebelumnya? Ia butuh berpikir rasional untuk menghadapi krisis kali ini.
Di kamarnya Briela menghempas bobot tubuhnya ke atas kasur, ia menatap langit-langit kamarnya, pikirannya sejenak teralihkan. Namun, saat Briela menoleh dan mendapati mangkuk juga kain kompres yang belum sempat ia bereskan sejak pagi lagi-lagi jantung Briela kembali berdetak tidak menentu.
Briela tiba-tiba berpikir andai saja Hadwin benar-benar menjadi pria miliknya. Briela menggelengkan kepalanya dengan cepat.
Apa yang aku pikirkan? Bolehkah aku menganggapnya pria itu milikku? Bukankah aku akan terlalu serakah jika menginginkan hal itu?
🥀🥀Hai readers, makasih ya udah stay sampai sini. ☺️ like komen ya biar semangat up nya☺️ 🥀🥀
sekertaris keknya beb. ada typo.