Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Zahran
"Assalamualaikum, Bang Ge.."
"Waalaikumussalam. Bagaimana kabar mu, El?"
"Alhamdulillah baik. Abang lagi di Dublin katanya."
"Iya. Aku sedang menangani kasus Paman ku."
"Kenapa Abang baru telepon?"
"Kenapa? Apa kamu kangen padaku?" tanya Gerald sambil terkekeh.
Tanpa Gerald ketahui, wajah Elina merona mendengar candaan pria itu. Senyum juga terus menghiasi wajah cantik Elina.
"Bagaimana kasus yang kamu tangani?"
"Alhamdulillah sudah selesai. Sekarang aku diminta membantu Vito. Abang kapan pulang?"
Belum sempat Gerald menjawab pertanyaan Elina, matanya menangkap sosok yang tengah ditunggunya. Pria itu bergegas menghampiri orang yang ditunggunya sejak tadi.
"El, nanti aku telepon lagi."
"Hi Mr. Collins, I'm Gerald, I'm represent Mr. Ronan. Can we talk for a minute?(Tuan Collins, perkenalkan saya Gerald. Saya mewakili Mr. Ronan. Apa kita bisa bicara sebentar?)."
Elina masih bisa mendengar suara Gerald yang tengah bertemu entah dengan siapa karena pria itu belum benar-benar memutuskan panggilan. Elina segera mengakhiri panggilan. Wanita itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya. Mood nya yang semula turun, sekarang sudah lebih baik setelah berbicara dengan Gerald.
Baru saja Elina meletakkan ponsel di atas meja kerja, ketika terdengar suara getaran ponselnya lagi. Kali ini Zahran yang menghubunginya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, hai El.. maaf sepertinya aku tidak bisa makan siang dengan mu."
"Abang pasti sibuk. Ngga apa-apa kok."
"Makasih ya, El. Kalau sempat, aku akan menjemput mu pulang kerja nanti."
Tidak lama panggilan yang dilakukan oleh Zahran. Selesai pria itu menghubungi, Elina segera bangun dari duduknya. Dia keluar dari ruangan lalu menuju ruangan Vito. Sekarang dia sudah siap membantu rekannya menyelesaikan kasus.
***
Zahran melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pria itu segera membereskan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku celananya lalu mengambil tas kerja dan kunci mobilnya. Zahran segera meninggalkan ruangannya. Suasana di kantor kejaksaan tinggi negeri sudah sepi ketika dia meninggalkan kantor tersebut. Hanya ada security yang berjaga di luar.
Kendaraan roda empat yang dikendarai Zahran berjalan dengan kecepatan sedang. Alih-alih menuju rumah kedua orang tuanya, pria itu justru mengambil arah berbeda. Dua puluh menit kemudian, mobil yang dikemudikannya berbelok memasuki pelataran parkir apartemen Grand Garden. Setelah memarkirkan mobilnya, pria itu segera menuju lantai 9. Dia memasukkan enam digit nomor kunci unit apartemennya.
Suasana unit apartemen sangat sepi ketika dia memasukinya. Jika sedang sibuk menangani kasus penting atau sedang ada yang dipikirkannya, Zahran lebih senang tinggal di unit apartemen miliknya daripada di rumah kedua orang tuanya. Pria itu segera memasuki kamar tidur, melepaskan pakaian yang dikenakannya lalu masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, Zahran menuju dapur untuk membuat kopi hitam. Pria itu membawa cangkir berisi kopi ke balkon unit apartemennya. Dapat dia lihat pemandangan di depannya, hamparan rumah penduduk yang diterangi lampu. Pria itu mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di sana. Sambil menyeruput kopinya, pikiran Zahran berkelana tak tentu arah.
Belum sampai sepuluh menit dia duduk di sana, terdengar suara ponselnya berdering. Sampai panggilan habis, pria itu masih bertahan di tempatnya. Ketika ponsel kembali berdering, mau tidak mau pria itu beranjak dari tempatnya. Tertera nama Zidan di layar ponsel. Dengan cepat Zahran menjawab panggilan tersebut.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Kamu kemana aja? Susah banget angkat teleponnya," terdengar gerutuan Zidan dari seberang.
Zidan adalah Kakak Zahran satu-satunya. Pria itu sekarang tinggal di Sidney bersama anak dan istrinya. Dia mendapat tawaran bekerja di salah satu firma hukum terkenal di negara kangguru tersebut. Hubungan Zidan dan Zahran terbilang cukup dekat. Dibanding mengeluarkan keluh kesahnya pada sang Mama, Zahran lebih nyaman jika berbicara dengan Kakaknya.
"Kamu sedang di apartemen?"
"Kok Abang tahu?" Zahran balik bertanya seraya mendaratkan bokongnya di kursi yang ada di balkon.
"Tadi Abang telepon Mama, kata Mama kamu ngga pulang. Pasti lagi di apartemen."
Hanya tawa kecil saja yang keluar dari mulut Zahran. Walau mereka tinggal di benua berbeda, namun hubungan mereka tetap baik dan tetap saling peduli. Tak jarang Zidan menghubungi sang adik, hanya untuk mengetahui kabarnya.
"Bagaimana kasus yang kamu tangani?"
"Sejauh ini baik."
"Kalau begitu pasti kamu sedang ada masalah. Ada masalah apa?"
Bukan jawaban, tapi hanya terdengar helaan nafas berat Zahran. Mendengar itu, Zidan semakin yakin kalau adiknya sedang memikirkan sesuatu.
"Bagaimana hubungan mu dengan El?"
"Dia sudah menerima lamaran ku."
"Benarkah? Baguslah, jangan terlalu lama, cepatlah kalian menikah."
"El belum mau menikah dalam waktu dekat. Aku juga sama."
"Kenapa? Jangan bilang kamu belum melupakan Jihan."
Kembali terdengar hembusan nafas panjang Zahran. Jihan adalah masa lalu Zahran. Hubungan mereka berakhir tanpa kejelasan. Tiba-tiba saja Jihan menghilang tiga tahun yang lalu. Wanita itu menghilang seolah ditelan bumi. Padahal sebelumnya mereka tidak ada masalah apapun. Hubungan mereka yang sudah terjalin selama tiga tahun hancur begitu saja.
Jihan berada dua tingkat di bawah Zahran, mereka kuliah di kampus yang sama. Keduanya menjalin hubungan setelah Zahran lulus sekolah dan mendaftar sebagai Jaksa. Setelah Jihan lulus, wanita itu juga mengikuti jejak Zahran, menjadi Jaksa. Setelah dia menyelesaikan masa kerja di kantor kejaksaan, Jihan mengikuti tes untuk memenuhi kualifikasi sebagai Jaksa. Ketika wanita itu selesai mengikuti tes dan siap ditempatkan, tiba-tiba saja wanita itu menghilang.
Selama setahun Zahran mencoba mencari jejak Jihan, namun tidak membuahkan hasil. Wanita itu benar-benar menghilang. Di tahun kedua, Zahran bertemu kembali dengan Elina, adik tingkatnya saat kuliah. Setelah bertemu dengan Elina, Zahran mencoba mengalihkan perasaannya pada wanita itu. Sikap Elina yang jinak-jinak merpati, membuat Zahran penasaran. Namun ketika akhirnya Elina menjawab lamarannya, keraguan mulai menyusupi.
"Aku pikir setelah El menjawab lamaranku, aku bisa terus melanjutkan hidup dengannya. Tapi ternyata aku salah, Bang. Aku justru merasa bersalah pada Jihan. Hubungan kita tidak seharusnya berakhir seperti ini. Abang juga tahu bagaimana hubungan ku dengan Jihan. Sebelum aku melangkah dengan El, aku harus bertemu dengannya untuk memastikan hubungan kita. Tapi aku ngga tahu harus kemana lagi untuk mencarinya."
"Apa El tahu soal Jihan?"
"Belum. Aku ada rencana memberitahunya tapi tidak sekarang. Aku masih menangani kasus."
"Sejak kapan sebuah kasus menahan mu untuk berbicara?"
"Jujur aku belum sanggup, Bang. Aku takut El tidak bisa menerima masa lalu ku."
"Kamu takut El tidak bisa menerima masa lalu mu atau justru El bisa menerima masa lalu mu?"
Tidak ada jawaban dari Zahran. Sejujurnya pilihan kedua lebih membuatnya takut. Bukan maksud Zahran mempermainkan perasaan Elina, dia memang sayang padanya hanya saja perasaan sayangnya masih belum cukup membuatnya berani mengambil keputusan untuk menikahi wanita itu. Saat melamar Elina, Zahran mengira kalau dirinya sudah bisa melepas Jihan, namun nyatanya tidak. Bayang-bayang orang dari masa lalunya itu masih mengikuti.
"Zah.. kamu yang melamar El, dan ketika dia sudah menerima lamaran mu, justru kamu yang ragu. Jangan pernah mempermainkan perempuan, Zah. Kalau kamu ngga yakin dengan El, katakan sejujurnya supaya dia tidak terjebak dengan mu. Abang yakin kamu laki-laki gentle yang tidak akan menyakiti perasaan perempuan. El itu perempuan yang baik, dia bisa menjadi pendamping hidup mu. Lupakan Jihan, dia hanya masa lalu. Sekarang yang ada di depan mu adalah El."
"Iya, Bang."
"Apapun keputusan mu, Abang akan mendukung mu. Tapi Abang harap kamu lebih realistis. Jangan terus terpaku pada Jihan. Kamu tidak bisa menggantungkan hidup mu pada sosok yang tidak bertanggung jawab. Dia meninggalkan mu tanpa penjelasan, itu sebagai buktinya. Lebih baik kamu melihat ke depan, tinggalkan masa lalu di belakang. Walau kamu tidak bersama dengan El, setidaknya kamu tidak terus melihat ke belakang. Banyak perempuan lain yang lebih baik dari Jihan."
"Iya,Bang. Terima kasih untuk masukannya. Akan ku pertimbangkan."
"Segera beri tahu El soal Jihan."
"Iya."
Perasaan Zahran sedikit lega setelah berbincang dengan Zidan. Mereka membicarakan hal lain lebih dulu sebelum Zidan mengakhiri panggilan. Usai Zidan melakukan panggilan, Zahran segera masuk ke dalam kamarnya. Setelah persidangan esok hari, dia bermaksud menemui Elina dan mengatakan semua tentang Jihan.
***
Cuaca Bandung di pagi hari sedikit mendung. Awan menggelayuti langit kota kembang ini. Dengan kendaraan roda empatnya, Zahran berangkat menuju kantornya. Beberapa kendaraan sudah memenuhi pelataran parkir kantor kejaksaan negeri kota Bandung. Setelah memarkirkan mobilnya, Zahran segera memasuki gedung kantor. Di dalam lift, dia bertemu dengan salah satu rekannya.
"Bagaimana kasus mu? Sudah siap dibawa ke pengadilan?"
"Ya. Jadwalnya siang nanti jam satu."
"Apa kamu siap menghabisinya?"
"Semoga saja. Bukti yang ku kumpulkan sudah lengkap. Aku harap Hakim bisa bersikap adil nantinya."
"Mudah-mudahan. Jangan sampai kerja keras kita justru mentok di tangan Hakim."
Kepala Zahran mengangguk menyetujui apa yang dikatakan rekannya. Selama menangani kasus korupsi, sudah beberapa kali Zahran dibuat kecewa dengan keputusan yang dikeluarkan Hakim. Tidak ada efek jera yang diterima oleh para koruptor. Bahkan undang-undang perampasan aset sampai saat ini masih dalam pembahasan di tingkat DPR.
"Oh ya, aku dengar ada Jaksa baru yang dipindahkan ke sini. Satu Jaksa penyelidik, satu Jaksa penyidik dan dua Jaksa Penuntut Umum."
"Apa ada Jaksa tambahan di kasus korupsi?"
"Ada, satu orang. Satu lagi Jaksa kasus pidana kriminal."
Keduanya segera keluar dari lift setelah kotak besi itu sampai di lantai yang dituju. Zahran segera menuju ruangannya. Pria itu langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. Baru saja dia hendak membuka berkas di depannya, pintu ruangan Zahran terbuka.
"Pak Zahran, semua Jaksa diminta berkumpul di aula. Pak kepala mau memperkenalkan Jaksa yang baru bergabung."
Hanya anggukan kepala yang diberikan Zahran. Pria itu bangun dari duduknya lalu segera keluar dari ruangan. Bersama rekannya yang lain, dia menuju aula. Di sana semua rekan Jaksa yang bertugas di kantor ini sudah berkumpul. Kepala Kejaksaan segera membuka acara perkenalan, dia memperkenalkan Jaksa yang mulai bertugas di kantor ini. Jantung Zahran berdetak tak karuan ketika Kepala Kejaksaan memperkenalkan Jaksa Penuntut Umum di bidang pidana kriminal yang baru bergabung.
"Jihan," gumam Zahran pelan.
***
Waduh bukan El aja yang galon, Zahran juga🫣
dan aku yakin Zahran tak akan sanggup untuk memenuhinya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍