NovelToon NovelToon
Miranda Anak Yang Disisihkan

Miranda Anak Yang Disisihkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Cintapertama
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cita cita miranda

Miranda selalu memilih peringkat terakhir. Tidak banyak yang tahu bahwa alasan itu berhubungan langsung dengan Lena.

Beberapa tahun sebelumnya, kota heboh karena seorang siswi dari sekolah swasta menengah—bukan sekolah elit—berhasil mendapatkan nilai tertinggi tingkat kota. Berita itu tersebar cepat. Secara kebetulan, Lena membaca artikel itu.

Tak lama kemudian, Lena jatuh sakit. Panasnya tinggi, tubuhnya menggigil, dan dalam igauannya ia terus menggumam, “Kenapa… kenapa aku selalu kalah… kenapa Kakak nggak mau ngalah…?”

Handoko menatap Miranti dengan kebingungan. Miranti menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya—sebuah artikel daring dengan judul “Menakjubkan! Siswi SMP Pelita Ilmu Kalahkan Sekolah-Sekolah Unggulan.” Di sana terpampang jelas foto Miranda, memegang piagam.

“Lena sakit waktu baca ini. Katanya… waktu ujian, Miranda mengambil jawaban ujiannya,” ucap Miranti dramatis.

Ucapan itu bagai pemantik bensin. Lusi, Amar, dan Amir langsung terbakar emosi. Tanpa berpikir panjang, mereka menuju rumah untuk melabrak Miranda.

 

Saat mereka tiba, Miranda sedang tertawa kecil bersama Bi Mirna dan Pak Agus. Di tangan Miranda ada koran berisi berita tentang dirinya. Wajahnya berbinar—ini pertama kalinya ia juara tingkat kota. Ia berharap, bahkan sangat berharap, prestasinya bisa membuat keluarganya memeluknya lagi.

Saat melihat kakak-kakaknya datang, Miranda buru-buru berdiri. Ia mengulurkan koran itu ke arah Lusi.

“Kak… aku ju—”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, koran itu direnggut dan disobek-sobek oleh Lusi. Miranda hanya terdiam. Ia masih kelas satu SMP saat itu—masih anak yang percaya bahwa prestasi bisa mengubah hati keluarganya. Namun sobekan koran itu seolah menyobek hatinya juga.

“Lu kira gue bangga sama prestasi hasil nyolong begini?” teriak Lusi. “Lu curi jawaban dari Lena terus lu jadi juara, terus lu bangga? Dasar sialan, Miranda!”

Amir menatap adiknya seolah melihat sesuatu yang kotor. “Gue benci banget punya adik kayak lu. Kenapa adik kandung gue bukan Lena? Kenapa harus lu? Lu tega banget bikin anak yatim sakit gitu!”

Miranda menggeleng cepat, suaranya bergetar, “Aku nggak ambil jawaban Lena, Kak… sumpah…”

“Lu itu jahat, Mir!” Amar ikut menyambar. “Lena jadi panas, kejang, jatuh sakit gara-gara lu! Gua minta ayah putusin sekolah lu. Bikin malu!”

Miranda menatap satu per satu wajah kakaknya. Tidak ada cinta di sana. Tidak ada kehangatan. Hanya kemarahan yang membabi buta.

Handoko berdiri di belakang mereka, memijat pelipisnya. Ia tahu kebenarannya. Ia tahu Miranda cerdas, jauh lebih cerdas dari yang bisa dibayangkan siapa pun. Miranda adalah bayangan Nurmalinda—jenius, cepat tanggap, bahasa asing pun mudah baginya. Di usia sepuluh tahun, Miranda sudah mampu bertutur dalam bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Jerman, Belanda, serta Prancis. Menjadi juara umum tingkat kota seharusnya bukan masalah.

Namun keberanian membela Miranda tidak pernah ia miliki.

“Jangan begitu… Miranda adik kalian juga. Anak ayah juga,” ucap Handoko lirih, seolah ucapan itu sudah cukup untuk menenangkan suasana. “Nanti ayah malu kalau anak ayah sekolah SMP saja tidak lulus.”

Miranda menunduk. Kata-kata ayahnya selalu seperti itu—kasih yang setengah hati, perhatian yang didorong rasa malu, bukan cinta.

Handoko mendekat, menatap Miranda seolah sedang menimang keputusan berat. “Miranda sayang ayah?” tanyanya pelan.

Miranda mengangguk.

“Miranda sayang Mama Nurma kan?”

Miranda kembali mengangguk,

“Kalau begitu… dengarkan ayah,” ucap Handoko lembut, tetapi penuh tekanan. “Miranda boleh sekolah… asal Miranda selalu peringkat terakhir.”

Miranda membeku. Udara terasa menipis.

Handoko menepuk pundaknya pelan, seolah sedang memberi hadiah, padahal ia sedang menghancurkan masa depan putrinya.

Sejak hari itu, Miranda memilih peringkat terbawah—bukan karena bodoh, tetapi karena itu satu-satunya cara agar ia tetap diizinkan bersekolah dan tetap dianggap “tidak mengancam” Lena.

Dan luka itu menetap, membentuk gadis yang terbiasa berdiri sendirian di urutan terakhir.

..

..

Kembali ke masa kini, tempat paling menenangkan bagi Miranda bukanlah rumah mewahnya, melainkan sekolah. Ia sempat merasa dunianya runtuh ketika didepak dari sekolah elit keluarganya sendiri. Namun perlahan, Sekolah Pelita Ilmu memberi warna baru yang tak pernah ia bayangkan.

Di sana Miranda melihat kehidupan yang berbeda. Lukman selalu tersenyum, meski sepulang sekolah ia harus mendorong gerobak jualan keliling. Reno setiap sore mengumpulkan sampah demi membantu ibunya. Andri membawa keranjang berisi jajanan yang ia titipkan ke warung-warung sebelum masuk kelas.

Pelita Ilmu adalah tempat berkumpulnya remaja yang tidak sibuk mengejar validasi. Mereka sibuk bertahan hidup—mencari sesuap nasi sambil tetap memeluk mimpi. Di tengah mereka, Miranda merasa bangga. Bangga melihat perjuangan, keteguhan, dan harapan tidak pernah mati meski masa depan serba tidak pasti.

Yang paling menginspirasi Miranda adalah Kartika. Gadis itu menjalani hidup yang berat di usia belia. Pulang sekolah, ia berjualan. Habis berjualan, ia mengurus ibunya yang sakit-sakitan dan adiknya yang masih kecil. Namun Kartika tetap tersenyum, tetap hadir sebagai sahabat yang membuat Miranda merasa tidak sendirian.

Miranda melangkah pelan, lalu memeluk Kartika erat-erat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.

“Selamat ya, Mir. Akhirnya kita lulus,” ucap Kartika lembut.

“Semua berkat kamu, Tika,” sahut Miranda lirih.

“Berkat kita semua,” Kartika menangkis dengan senyuman kecil. “Akhirnya kamu punya modal buat mandiri.”

Mereka saling berpelukan lagi, seolah tak ingin melepaskan momen itu.

Kartika kemudian menarik napas panjang, matanya berbinar. “Mir, ada kabar gembira.”

“Apa itu?” tanya Miranda, sedikit cemas.

“Kita berdua diterima magang di Indomaret. Enam bulan. Kalau kinerjanya bagus… kita bisa langsung jadi karyawan tetap.”

Tubuh Miranda bergetar hebat. Tanpa sadar ia menjatuhkan tubuhnya, bersujud di antara suara riuh teman-temannya yang masih merayakan kelulusan. Dunia terasa seolah memeluknya—untuk pertama kalinya.

Hari itu, Miranda lulus SMA.

Dan hari itu pula, ia mendapatkan kesempatan untuk bekerja.

Kartika sampai menggeleng pelan sambil menatap sahabatnya itu. Dalam hatinya ia membatin, padahal orang tua Miranda mampu membeli sepuluh Indomaret, tapi dia bahagia sekali hanya karena diterima kerja di sana. Semoga kamu selalu bahagia, Mir.

“Kapan mulai kerja?” tanya Miranda dengan mata berbinar.

“Lusa, Mir. Langsung datang saja ke Jababeka nomor tujuh,” jawab Kartika.

“Baik. Aku pulang dulu, ya.” Miranda tersenyum kecil lalu berlari kecil keluar dari halaman sekolah.

“Mang Agus!” panggilnya begitu melihat Pak Agus menunggu di dekat motor tuanya.

Miranda langsung memeluknya kuat-kuat. “Mang, akhirnya aku lulus,” ucapnya penuh kegembiraan.

Pak Agus menatap ijazah itu lama, matanya berkaca-kaca. Ia mencium kertas itu seakan itu adalah hadiah paling berharga yang pernah ia terima. “Luar biasa, Neng. Ini sangat luar biasa,” puji Pak Agus. Kata-kata sederhana itu selalu membuat hati Miranda terasa hangat. Hanya dengan cara merekalah Miranda merasa dianggap keluarga.

Mereka pulang dengan motor butut Pak Agus. Angin sore menerpa wajah Miranda, membuat rambutnya menari pelan. Di sepanjang perjalanan, pikiran Miranda sibuk berhitung, menyusun masa depan dengan penuh semangat.

Gaji empat juta. Kontrakan lima ratus ribu. Biaya makan dan kebutuhan dua juta. Untuk Mang Agus dan Bi Mirna satu juta. Sisanya lima ratus ribu ditabung.

Dalam benaknya, semua terlihat begitu jelas. Dua tahun tabungan bisa jadi dua belas juta. Bisa masuk kuliah asal cari beasiswa. Kalau bekerja keras dan pindah ke tempat yang gajinya lebih besar, semua pasti bisa tercapai. Nanti Miranda bangunkan rumah untuk Mang Agus dan Bi Mirna. Lalu memberangkatkan mereka ke tanah suci.

Wajah Miranda tanpa sadar tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya dalam hidup, masa depannya tampak seperti sesuatu yang bisa ia genggam. Ia tidak punya siapa-siapa di rumah itu selain Bi Mirna dan Pak Agus, tapi dua orang itu cukup membuat hatinya kuat.

Hari kelulusannya tidak dirayakan keluarga, tetapi justru terasa lengkap—karena hari itu Miranda menemukan harapan baru dalam hidupnya.

1
partini
super wow mamer 👍👍👍
Kakak ga punya akhlak
Lili Inggrid
lanjut
Ara putri
masih nyimak,
partini
mamer badass,,ajari mantumu biar Badas juga aihhh TK kira sisi lain nya bakal like queen mafia ehhh masih melempem
partini
Rian emang bego
partini
hemmm
Ara putri
udh sedih diawal. tiba bab ini malah gk jadi sedih
Ara putri
aku nangis bacanya tor
partini
love it
partini
pak CEO kalau artis dewasa tuh mereka ada sex scan itu real gaimana mau virgin dihhh ledhoooooooooo Weh weh
partini
sehhh artis lendir man dan Rian bilang itu wajar 🙄🙄🙄🙄 betul" something wrong with his mine CEO mau lobang bekas hee Rian adanya mah beli yg masih segel lah ,,Miranda tunjukan taringmu like queen mafia
partini
🙄🙄🙄🙄 lah siapa kamu bilang tidak sah dasar OON
partini
lah kamu aja ga perduli
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
mama Karin ternyata temennya mama nya Miranda wah 👍👍👍👍
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya
partini
biar aja dia nunggu dia kan CEO 1/2 ons 😂😂😂,kalau dia smart bisa cari tau dia di sana ngapain aja tapi itu tidak mungkin
partini
tenyata Miranda polos tapi mematikan 👍👍👍👍👍 very good
partini
za ga takut apa ketahuan bilang bos bloOn tapi betul yg kamu bilang ga ada CEO Smart soal masa lalu BLOON semuheeee best kamu za 👍👍👍👍
partini
wah good job pak Reza nanti minta bonus yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!