Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 — “Cemburu yang Tidak Diakui”
Malam itu, restoran fine dining di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit Jakarta terasa begitu privat. Musik jazz yang lembut mengalun di latar belakang, berusaha meredam kebisingan kota di bawah sana. Winter duduk berhadapan dengan Adrian. Di atas meja, beberapa berkas hukum berserakan di antara piring-piring porselen yang belum disentuh.
"Nona Winter, mengenai tuntutan balik Wray Group, saya sudah menyiapkan strategi mitigasinya," ujar Adrian. Suaranya profesional, namun tatapannya pada Winter mengandung kehangatan yang melampaui hubungan atasan dan bawahan. "Tapi sejujurnya, saya mengundang Anda makan malam bukan hanya untuk ini. Anda terlihat sangat lelah belakangan ini."
Winter menyesap anggur merahnya, membiarkan rasa pahit-manis itu menenangkan sarafnya. "Situasi di kantor dan... di rumah, cukup menguras tenaga, Adrian. Terima kasih sudah peduli."
"Anda tahu saya selalu ada untuk Anda, Winter. Bukan hanya sebagai pengacara," balas Adrian lembut. Ia memberanikan diri meletakkan tangannya di atas punggung tangan Winter yang berada di atas meja.
Winter tidak menarik tangannya segera. Di tengah badai emosi yang disebabkan oleh Darren, perhatian Adrian yang stabil terasa seperti dermaga yang aman. Namun, kenyamanan itu hancur dalam sekejap saat sebuah suara yang sangat ia kenal terdengar dari arah pintu masuk.
"Restoran yang bagus untuk membicarakan 'strategi hukum', bukan?"
Winter menoleh dan merasakan jantungnya berhenti berdetak sesaat. Darren berdiri di sana, mengenakan setelan kasual namun mahal, tampak sangat tidak pada tempatnya di antara suasana romantis restoran tersebut. Ia tidak sendirian; ia tampak baru saja selesai dari pertemuan bisnis di bar restoran, namun matanya tertuju tajam pada tangan Adrian yang masih menyentuh tangan Winter.
Winter segera menarik tangannya, merasa seperti anak remaja yang tertangkap basah melakukan kesalahan. "Darren? Apa yang kau lakukan di sini?"
Darren melangkah mendekat, auranya mendadak menjadi dingin dan mengancam. "Aku sedang merayakan penandatanganan addendum kontrak yang kau inginkan tadi siang, Winter. Tapi sepertinya, kau juga sedang merayakan 'kebebasanmu' lebih awal."
Adrian berdiri, mencoba bersikap sopan namun tetap tegas. "Tuan Reigar, kami hanya sedang mendiskusikan masalah hukum Alzona."
Darren tertawa, suara yang pendek dan hambar. Ia menatap Adrian dengan tatapan meremehkan yang membuat pengacara itu tampak kecil. "Strategi hukum yang melibatkan kontak fisik? Menarik. Aku tidak tahu Alzona sekarang membayar pengacaranya untuk layanan ekstra."
"Darren, tutup mulutmu!" desis Winter, wajahnya memerah karena malu dan marah.
Darren beralih menatap Winter. Ada kilat api di matanya—kilat yang selama ini selalu ia tekan dengan kontrol diri yang luar biasa. Cemburu itu ada di sana, telanjang dan berbahaya, meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya.
"Pulang, Winter," perintah Darren pelan, namun nadanya mengandung ancaman yang tak terbantahkan.
"Aku tidak akan pergi sampai aku menyelesaikan makan malamku," balas Winter keras kepala.
"Pulang sekarang, atau aku akan memastikan Adrian kehilangan lisensi hukumnya besok pagi karena keterlibatan yang tidak etis dengan kliennya. Kau tahu aku bisa melakukannya dengan satu telepon ke dewan direksi," ancam Darren dingin.
Winter tahu Darren tidak main-main. Pria itu memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan elit sekarang. Dengan perasaan geram, Winter bangkit, meraih tasnya, dan menatap Adrian dengan penuh permohonan maaf.
"Maafkan aku, Adrian. Kita lanjutkan besok di kantor."
Adrian hanya bisa mengangguk, terdiam oleh intensitas Darren.
Perjalanan pulang di dalam mobil Rolls-Royce milik keluarga Alzona dipenuhi oleh keheningan yang menyesakkan. Darren menyetir sendiri, cengkeramannya pada kemudi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Begitu mereka sampai di penthouse dan pintu tertutup, Winter langsung berbalik menghadapi Darren.
"Kau keterlaluan! Siapa kau yang berani mengatur dengan siapa aku makan malam?" teriak Winter.
Darren melemparkan kunci mobil ke meja marmer dengan suara dentingan yang keras. "Aku suamimu, Winter! Setidaknya di atas kertas dan di mata hukum untuk enam bulan ke depan!"
"Suami kontrak! Kau sendiri yang menandatanganinya! Kau tidak punya hak untuk cemburu!"
"Siapa yang bilang aku cemburu?" Darren berbalik, wajahnya memerah. Ia melangkah maju hingga Winter terdesak ke pintu. "Aku hanya tidak suka melihat asetku—yang saat ini adalah namaku dan reputasi pernikahan ini—direndahkan oleh seorang pengacara yang tidak tahu diri."
"Aset? Jangan gunakan istilah bisnis untuk menutupi rasa sakit hatimu, Darren! Kau marah karena melihat pria lain menyentuhku!" Winter menantangnya, matanya menatap tajam ke mata Darren. "Kau bilang kau mencintaiku semalam, tapi sekarang kau bertingkah seperti pemilik budak!"
"Aku bertingkah seperti pria yang melihat wanitanya sedang dimanipulasi oleh pria lain!" Darren memukul pintu di samping kepala Winter dengan tangannya. "Adrian tidak peduli padamu, Winter! Dia hanya ingin posisinya aman di Alzona!"
"Setidaknya dia tidak meninggalkanku di Tokyo!" balas Winter telak.
Suasana mendadak hening. Kata 'Tokyo' selalu menjadi senjata pamungkas yang mampu menghentikan perdebatan mereka. Darren menarik napas panjang, mencoba mendapatkan kembali kontrol dirinya yang hampir hilang.
"Kau selalu menggunakan itu," bisik Darren parau. "Kau menggunakan masa lalu untuk membenarkan setiap tindakan kejammu sekarang. Tapi kau tahu apa yang lucu, Winter? Kau menyangkal perasaanmu mati-matian, tapi reaksimu saat aku masuk ke restoran tadi... kau terlihat ketakutan. Bukan karena aku akan marah, tapi karena kau takut aku akan berhenti peduli padamu."
"Aku tidak peduli apakah kau peduli atau tidak!"
"Kebohongan lagi," sahut Darren. Ia mencondongkan tubuh, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Winter. "Jika kau tidak peduli, kau tidak akan repot-repot menjelaskan bahwa itu hanya makan malam bisnis. Jika kau tidak peduli, jantungmu tidak akan berdegup sekencang ini saat aku sedekat ini."
Darren meletakkan tangannya di dada Winter, tepat di atas jantungnya. Winter ingin menepisnya, tapi tubuhnya kembali berkhianat. Ia mematung, merasakan kehangatan tangan Darren menembus kain tipis gaunnya.
"Jangan lakukan ini, Darren," bisik Winter, suaranya melemah.
"Lakukan apa? Menunjukkan padamu bahwa kau masih milikku?" Darren menatap bibir Winter, namun ia tidak menciumnya. Ia justru menarik diri secara tiba-tiba, menciptakan jarak yang dingin.
"Nikmati sisa malammu, Winter. Besok kita berangkat ke Tokyo. Aku harap kau bisa menjaga profesionalismemu di sana, karena di kota itu, aku tidak akan membiarkan Adrian atau siapa pun mengganggu fokus kita. Dan jangan pernah berani melakukan itu lagi di depanku. Aku mungkin menandatangani kontrak enam bulan, tapi dalam enam bulan itu, aku tidak akan berbagi apa yang menjadi milikku."
Darren berjalan pergi menuju kamar tamunya, meninggalkan Winter yang masih berdiri di depan pintu dengan napas yang belum stabil. Winter merosot, memegang dadanya yang masih berdebar kencang. Ia benci betapa mudahnya Darren memicu emosinya. Ia benci kenyataan bahwa cemburu Darren yang tidak diakui itu justru membuatnya merasa... diinginkan.
Dan yang paling ia takuti adalah perjalanan ke Tokyo besok. Kembali ke tempat semuanya bermula, bersama pria yang kini menjadi suaminya, dalam suasana yang penuh dengan gairah dan benci yang saling tumpang tindih. Tokyo akan menjadi ujian terakhir bagi benteng pertahanannya.