Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Klinik kecil berwarna putih itu bersih dan sederhana. Cahaya matahari masuk melalui jendela kaca, menerangi ruang perawatan yang hanya berisi tiga tempat tidur pasien. Karmel terbaring di salah satunya, kaki kirinya telah dibalut perban elastis oleh dokter. Untungnya, diagnosisnya hanya terkilir ringan.
"Dokter bilang kamu harus istirahat yang cukup dan jangan banyak berjalan selama 2-3 hari," ujar Renzi sebelum beranjak pergi ke meja administrasi untuk membayar biaya pengobatan.
Saat sendirian, Karmel mengambil ponselnya. Sebuah panggilan video masuk dari Bima, rekan kerjanya di PT Bumi Atmaja Nickel. Dengan senyum ringan, ia menerima panggilan itu.
"Cuma terkilir, Mas," ujar Karmel dengan suara lembut, berusaha terdengar tenang.
"Terus kapan kamu balik ke kantor?" tanya Bima dari seberang layar, wajahnya tampak concern.
"Mungkin 1 atau 2 hari lagi," jawab Karmel sambil menata rambutnya yang sedikit acak-acakan.
"Ditinggal beberapa hari sama kamu aja udah bikin aku kangen banget, Mel," ujar Bima dengan nada manja yang tulus.
"Bisa aja Mas Bima ngegombalnya," Karmel terkekeh kecil, wajahnya sedikit berbinar. Setidaknya, ada seseorang yang peduli padanya tanpa syarat.
"Serius, Mel," balas Bima penuh arti.
Tanpa mereka sadari, Renzi telah kembali dan berdiri di balik tirai pemisah ruangan. Wajahnya yang biasanya dingin kini memerah oleh amarah yang dipendam. Matanya menyipit, menatap layar ponsel Karmel dari kejauhan. Setiap kata dari Bima seperti menusuk-nusuk telinganya. Bagi Renzi, Karmel adalah miliknya—hak eksklusif yang tak boleh dijamah siapa pun.
Dengan pengendalian diri yang sempurna, Renzi menunggu hingga panggilan itu berakhir. Baru kemudian ia mendekat dengan langkah tenang, wajahnya sudah kembali ke ekspresi datarnya yang biasa.
"Ayo balik," ujar Renzi santai, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Matanya yang menghitam memancarkan aura berbahaya yang hanya bisa ditangkap oleh Karmel.
***
Matahari sudah tenggelam, meninggalkan jejak jingga di langit Jeju. Renzi dengan licik telah memesan vila mewah yang terpencil, jauh dari keramaian.
"Kenapa kita nggak balik aja ke hotel masing-masing?" keluh Karmel dengan nada kesal, matanya memancarkan ketidakpuasan.
Renzi dengan sengaja mengabaikannya dan berpaling ke Nani. "Ibu pasti capek kan seharian tour?" tanyanya dengan suara lembut yang dibuat-buat.
"Lumayan, Renz. Makasih ya," jawab Nani dengan tulus, tak menyadari ketegangan antara mereka.
"Biar ibu istirahat dulu. Lagian aku udah pesan paket massage and spa tradisional Jeju buat ibu," ujar Renzi sambil tersenyum penuh arti, mengetahui bahwa ini akan membuat Nani senang dan mengalihkan perhatiannya.
"Nggak papa ya, Mel, kita nginep sehari di sini," pinta Nani dengan wajah penuh harap.
Karmel menghela napas, menyerah. Dia tak bisa menolak permintaan ibunya. "Iya, Bu," jawabnya dengan pasrah.
Ms. Park, pemandu wisata mereka, segera diajak Renzi untuk menemani Nani selama sesi spa. Kini, hanya Karmel dan Renzi yang tersisa di vila mewah itu.
Begitu Karmel masuk ke kamarnya dan hendak menutup pintu, Renzi dengan kasar mendorong pintu itu terbuka dan memaksa masuk.
"Apa-apaan sih kamu!" seru Karmel, suaranya bergetar antara marah dan takut. "Keluar!"
Renzi menatapnya dengan tatapan dingin, matanya menyipit penuh penghinaan. "Aku dengar kamu udah jadi Manager Pengembangan, ya?" tanyanya dengan nada sinis. "Kenaikan jabatan yang... terlalu signifikan untuk seorang pegawai baru."
"Bukan urusan kamu!" balas Karmel, berusaha menunjukkan keberanian.
Renzi mendekat, langkahnya penuh ancaman. "Hmmm, coba biar aku tebak-tebak. Apa yang bisa seorang Karmel Agata lakukan supaya bisa diposisinya sekarang." Suaranya semakin rendah, penuh ejekan. "Tidur sama atasan kamu?!"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Renzi. Dia terkesiap, memegang pipinya yang memerah. Namun, alih-alih marah, senyum mengerikan justru muncul di bibirnya.
Dengan gerakan cepat, Renzi meremas kedua pipi Karmel, memaksanya untuk menatapnya. Satu tangannya menahan tubuh Karmel ke dinding.
"Perempuan murahan akan selalu jadi murahan," desisnya, setiap kata seperti racun yang menetes.
Tanpa ampun, Renzi membanting Karmel ke tempat tidur. Tubuh Karmel terpelanting, rasa sakit dan ketakutan menyergapnya. Renzi berdiri di atasnya, wajahnya gelap, menunjukkan sisi paling kejamnya yang selama ini tersembunyi di balik senyum manisnya.
Renzi menindih tubuh Karmel dengan berat, mengunci setiap kemungkinan untuk melarikan diri. Tangannya yang kuat mencengkeram pergelangan Karmel dengan erat, meninggalkan bekas kemerahan.
"Apa begini atasan kamu nyentuh kamu?" ejek Renzi dengan suara rendah penuh cemooh, matanya yang gelap memancarkan kegelapan yang membuat Karmel menggigil ketakutan.
"Lepas!" teriak Karmel, tapi teriakan itu seolah tenggelam dalam kesunyian malam Jeju yang sepi.
Renzi tak mengindahkan perlawanannya. Dengan gerakan kasar, ia memaksakan ciuman yang menyakitkan, membuat bibir Karmel terasa perih dan sedikit terluka. Rasanya seperti dikhianati oleh orang yang pernah paling dia percayai.
"Berhenti! Jangan!" seru Karmel dengan suara tercekik, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Lebih enak mana, Mel? Sama aku atau dia?" Renzi terus menyakiti dengan kata-kata, sambil tangannya dengan paksa merobahkan pakaian Karmel.
"Dasar cowok brengsek!" teriak Karmel dengan sisa kekuatan yang ada. "Jangan sentuh aku pakai tangan kotor kamu!"
Tapi semua perlawanan itu sia-sia. Karmel merasakan setiap sentuhan Renzi seperti siksaan, setiap desahan napasnya seperti racun. Tubuhnya yang dulu pernah merespons dengan cinta, kini menegang dan menolak dengan segala kekuatan yang tersisa.
Karmel mengejang hebat, mencoba melepaskan diri untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya pasrah. Di matanya yang berkaca-kaca, terpancar rasa hancur dan pengkhianatan yang dalam. Dia merasakan dirinya terkoyak, bukan hanya secara fisik tapi juga secara emosional.
Di luar jendela, bulan purnama menyinari langit Jeju, menyaksikan sebuah pelanggaran kepercayaan yang tak termaafkan. Karmel menutup mata rapat-rapat, berusaha memisahkan pikirannya dari apa yang terjadi pada tubuhnya, mencoba bertahan dengan mengingat bahwa ini akan segera berakhir.
Sementara Renzi, dengan senyum kemenangan yang keji, terus melanjutkan aksinya, sama sekali tak peduli dengan air mata dan penderitaan yang ia sebabkan. Baginya, ini adalah cara untuk menguasai kembali apa yang ia anggap sebagai miliknya.