Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Khawatir
Arsen langsung mencari sosok adiknya. Tak butuh waktu lama, ia melihat Julia sedang berdiri sambil menatap ke arah pintu ruang tindakan, wajahnya pucat dan matanya sembab. Ia segera menghampirinya.
"Julia!" panggil Arsen pelan namun tegas.
Julia menoleh, lalu langsung memeluk kakaknya dengan erat. "Kak... Eva masih di dalam. Kepala dan kakinya berdarah. Kata perawatnya, dia belum sadar sejak dibawa ke sini."
Richard yang berdiri di samping Arsen tampak terkejut mendengar itu. Matanya menatap ke arah ruang tindakan dengan ekspresi khawatir yang jarang sekali terlihat dari seorang pengacara setegas dirinya. Entah mengapa, dia seperti takut kehilangan Eva, bukan sebagai klien, tapi sebagai seseorang yang begitu dekat. Namun, dia tidak tahu kenapa dirinya seperti itu.
"Dia sendirian?" tanya Richard cepat. "Nggak ada keluarga?"
Julia menggeleng pelan. "Nggak. Sejak meninggalkan rumahnya, Eva tinggal di rumah kami. Dia yatim piatu dan sebatang kara. Selama ini, dia hanya punya suami dan aku sebagai sahabatnya."
Mendengar itu, Richard mengepalkan tangannya. Ia tidak tahu, jika kehidupan yang Eva lalui sangat berat, di tambah dengan penghianatan suaminya. Richard hanya terdiam, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh. Wajahnya menegang, dan tanpa sadar ia melangkah mendekat ke pintu ruang tindakan, seperti ingin memastikan sesuatu.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan masker masih menutupi wajahnya. Mereka bertiga langsung menghampiri.
"Dok, bagaimana kondisinya?" tanya Arsen.
Dokter itu mengangguk pelan. "Pasien mengalami luka cukup serius di kepala dan kaki, tapi kami sudah melakukan penanganan awal. Dia belum sadar, tapi denyut nadinya stabil. Kami akan membawanya ke ruang perawatan untuk observasi lebih lanjut."
Julia langsung menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak. Arsen mengusap punggungnya pelan, berusaha menenangkan. Richard hanya menatap dokter itu dengan wajah penuh pertanyaan.
"Boleh saya ikut lihat dia saat dipindahkan nanti?" tanya Richard tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Tapi hanya sebentar. Kami harus tetap menjaga kondisi pasien."
Beberapa saat kemudian, ketika Eva didorong keluar dengan tempat tidur dorong, mereka bertiga berdiri di sisi lorong, memperhatikannya dengan penuh harap. Wajah Eva tampak pucat, dengan perban di dahinya dan selang infus di tangan.
Richard menatapnya lama, dan saat tempat tidur itu lewat di depannya, ia berbisik pelan—hampir tak terdengar.
"Kamu harus kuat, Eva… kamu nggak sendiri." bisik Richard dalam hatinya, dia ingin Eva sadar secepatnya.
***
Malam itu, suasana di ruang makan keluarga Abian terasa canggung sejak malam itu. Aroma masakan rumahan memenuhi udara, menggoda siapa pun yang menghirupnya. Abian duduk di kepala meja, sementara istri dan putra bungsunya mengobrol santai.
Namun, ketenangan itu mendadak terusik ketika suara dering ponsel memecah keheningan sesaat. Abian, yang baru saja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya segera meraih ponsel yang tergeletak di meja. Melihat nama di layar, raut wajahnya berubah serius. Ia menggeser layar dan menjawab panggilan itu.
"Halo," sapanya.
Suara di seberang terdengar formal, namun penuh ketegangan. "Selamat malam, Tuan. Saya ingin mengabarkan bahwa Nona Eva mengalami kecelakaan saat mengendarai mobilnya."
Sejenak, Abian terdiam, mencoba mencerna kalimat tersebut. "Apa?!" serunya panik. Ia berdiri seketika, membuat kursi di belakangnya terjungkal keras ke lantai, menarik perhatian semua orang di ruangan itu.
"Saat ini, Nona Eva sudah berada di rumah sakit," lanjut suara itu, berusaha tenang namun jelas mengabarkan berita buruk.
"Kirim lokasi menantuku dirawat!" perintah Abian cepat dan tegas, nadanya penuh kekhawatiran.
Tanpa menunggu jawaban, sambungan telepon pun terputus. Notifikasi lokasi masuk di ponselnya. Ia segera membuka pesan dan melihat alamat rumah sakit tempat Eva, menantunya, dirawat.
"Pa, ada apa?" tanya Rista, istrinya, yang kini berdiri dengan ekspresi cemas. Ia melihat perubahan drastis pada wajah suaminya.
"Eva kecelakaan," jawab Abian singkat, suaranya berat dan mata menatap layar ponsel, seolah berharap kabar itu tidak nyata.
Rista mengangkat alis, lalu hanya mengangguk dan berkata pelan, "Oh..."
Reaksinya datar, seolah kabar itu tidak mengejutkannya. Dia pikir siapa yang kecelakaan, ternyata hanya Eva. Menantu yang tidak pernah dia anggap sebagai menantu.
Sementara itu, Abian sudah bergegas mengambil kunci mobil di atas meja dan melangkah cepat ke luar rumah, dengan pikiran penuh kekhawatiran tentang kondisi menantunya.
Renno juga berdiri saat mendengar kabar Eva kecelakaan. Dia menyusul sang Papa, hal tersebut membuat Rista berdecak kesal. Karena semua orang begitu perhatian pada Eva. Dia merasa tersisihkan.
"Papa, aku ikut!" seru Renno saat papanya masuk ke dalam mobil. Laki-laki paruh baya itu mengangguk cepat.
Udara malam terasa dingin, seolah ikut mencerminkan kegelisahan yang memenuhi dada Abian dan Renno. Mesin mobil meraung saat ia melaju kencang menembus jalanan kota, mengikuti petunjuk GPS menuju rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, pikiran mereka dipenuhi berbagai kemungkinan buruk.
Abian terus saja memikirkan wajah Eva, menantunya, yang selama ini begitu ceria dan penuh semangat. Mungkinkah ia sekarang terbaring tak berdaya? Luka parahkah yang dideritanya? Atau... pikirannya segera ditepis dari bayangan terburuk. Pasti menantunya itu kelelahan dalam mengendarai mobil karena sebelumnya telah beraktivitas berlebihan. Ini semua karena kesalahan putranya. Andai saja Ardian tidak menikah lagi, mungkin menantu nya dalam keadaan baik-baik saja sekarang.
Sesampainya di rumah sakit, Abian langsung menuju bagian informasi. Nafasnya terengah karena langkah cepat tanpa henti.
"Maaf, saya mencari pasien atas nama Eva Alexia, dia baru saja masuk karena kecelakaan," ujarnya tegas.
Petugas segera mengecek data, lalu memberi petunjuk. "Ruangan 304, lorong kanan, lantai dua. Dia sudah dipindahkan ke ruangan VVIV.
Tanpa membuang waktu, Abian segera menuju ruang yang dimaksud. Di depan ruang 304, beberapa orang berpakaian formal berdiri dengan wajah tegang. Salah satunya langsung menyapa Abian dan menunduk hormat.
"Maaf, Tuan. Kami segera membawa Nona Eva begitu mendapat laporan. Kondisinya cukup serius. Tapi dia masih sadar saat kami temukan. Dan sekarang, sahabatnya, nona Julia bersama sang kakak, Arsen serta pengacara yang menangani kasus perceraian nona Eva berada di sana."
Abian mengangguk singkat, menahan emosi yang mulai mendesak keluar. Abian mengangguk. Ia berjalan pelan dan memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Di balik kelopak matanya, terlintas banyak kenangan tentang Eva—saat pertama kali dia dikenalkan oleh putranya, senyumnya, caranya menghormati keluarga, dan keteguhannya menghadapi masalah rumah tangga. Dan Eva juga anak dari sahabatnya yang telah meninggal dunia. Dia merasa bersalah pada sahabat nya saat Eva disakiti oleh putranya. Dia merasa gagal menjaga menantunya.
Sementara itu, di rumah, Rista duduk santai sambil menyesap teh hangat. Tatapannya kosong menembus jendela. Ia tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Dalam hatinya, ada gejolak yang tak pernah benar-benar sirna sejak awal pernikahan putranya dengan Eva. Hubungan mereka memang tidak pernah akrab. Rista merasa Eva bukanlah pilihan yang seharusnya dipilih anaknya. Dan kini, kabar kecelakaan itu entah mengapa tak menimbulkan kekhawatiran seperti yang dirasakan suaminya.
Namun, ia tahu satu hal : ketika Abian menyayangi seseorang, ia akan melakukan segalanya demi orang itu. Dan Eva, menantu yang mungkin tidak ia sukai, kini menjadi pusat perhatian dan kekhawatiran suaminya serta kedua anak-anak nya.
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka