Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

1. Menunggu

Di sebuah rumah besar yang dulunya penuh dengan canda tawa dan kehangatan, kini hanya sunyi yang menggema di setiap sudut ruangannya. Lebih tepatnya di ruang makan, tempat yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan malam itu terlihat sepi. Makanan pun sudah dingin karena terlalu lama di abaikan.

Di ujung meja, duduk seorang perempuan cantik bernama Eva Alexia, usianya dua puluh delapan tahun. Rambutnya disanggul rapi, make-up tipis menghiasi wajah yang pucat, namun matanya tampak lelah, menyimpan duka yang sudah terlalu sering dipendam.

Eva tidak menyentuh sepiring pun makanan di hadapannya. Tangannya hanya menopang dagu, sementara pandangannya terpaku ke arah pintu depan yang tertutup rapat dan ponselnya yang tergeletak di meja. Sesekali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh oleh harapan dan kekecewaan yang saling bertarung.

“Apakah ini akan terulang kembali... seperti tahun-tahun sebelumnya?” gumamnya lirih, dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan. Tawanya pelan, getir, nyaris seperti isak yang ditahan.

Beberapa saat yang lalu, Eva menghubungi suaminya.

"Mas... kamu lagi sibuk yaa?"

"Iya sayang, mas sibuk banget. Maaf yaa, Mas bakal pulang terlambat nantinya. Enggak apa-apa, kan?"

"Enggak apa-apa kok, Mas."

Panggilan berakhir, namun menyisakan sesak di dadanya.

Ini bukan pertama kalinya ia menunggu dalam diam. Sudah lima tahun lamanya ia menjalani peran sebagai istri—seorang istri yang selalu merindukan kehadiran suaminya di momen-momen yang paling berarti. Hanya tahun pertama pernikahan suaminya menemani nya merayakan anniversary pernikahan.

Namun, tahun berikutnya, setiap tahun, setiap tanggal yang seharusnya istimewa, ia selalu ditinggal dengan alasan yang sama: pekerjaan, kemacetan, urusan mendadak. Alasan yang terus berulang, dan semakin lama, terasa semakin hampa.

Padahal, dulunya--suaminya sangat romantis dan paling antusias saat ulang tahun pernikahan mereka tiba.

"Sayang, Mas bikin kue ini spesial buat kamu. Kamu coba yaa." ucap Ardian dengan wajah sumringah

Eva mencobanya dan dia memekik girang, "Wah, enak banget, Mas. Kamu hebat banget bikin kue."

"Siapa dulu dong yang bikin."

"Suamiku tercinta dong."

"Kasih kecupan dong."

Cup.

"Jangan di pipi."

"Lho, jadi mau di mana?"

"Di sini." Setelah mengatakan hal tersebut, Ardian mengecup bibir istrinya yang terasa candu sekali. "Bibir kamu manis sekali, sayang."

"Maasss...." pekik Eva manja dan malu

Ardian terkekeh pelan, "Serius sayang."

Setelah itu, mereka tertawa bersama-sama. Lalu pasangan suami-istri itu melanjutkan aktivitas mereka.

Eva tersenyum sendiri saat mengingat semua itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ke kursi kosong di seberangnya. Kursi itu seharusnya diduduki oleh sosok yang ia cintai. Seseorang yang dulu berjanji akan membuatnya bahagia. Tapi malam ini, seperti malam-malam lainnya, ia hanya ditemani oleh kesunyian dan janji yang kembali tak ditepati.

Air matanya menetes perlahan, jatuh ke atas meja, menyatu dengan sejuknya malam. Mungkin ia masih berharap, mungkin ia masih percaya. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mulai bertanya... sampai kapan ia harus terus menunggu?

Wajah perempuan itu kian memucat. Sudah berjam-jam ia duduk di ruang makan, menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa kompromi. Perutnya sudah sejak tadi memberontak, namun ia menahannya. Bukan karena tak ada makanan, tapi karena satu alasan yang terus ia pegang teguh—ia ingin menyambut suaminya pulang, makan bersama seperti dulu, seperti saat semuanya masih terasa hangat dan penuh cinta.

Padahal, tubuhnya tidak sekuat dulu. Ia memiliki riwayat asam lambung yang parah. Sedikit saja terlambat makan, tubuhnya bisa gemetar, perutnya terasa perih seperti disayat. Tapi demi pria yang ia cintai—atau yang masih ia yakini cintanya—dia rela menanggung semuanya.

Bukankah itu definisi dari cinta yang bodoh? Cinta yang tak logis, tapi terus dipelul erat-erat.

Di sudut ruang, seorang asisten rumah tangga memperhatikan dengan gelisah. Ia sudah lama bekerja di rumah ini dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sabarnya majikannya menanti setiap malam. Sering kali dalam diam. Sering kali dengan tatapan kosong ke luar jendela, seperti berharap sesuatu akan berubah.

Perlahan, dia mendekat. Suaranya pelan dan penuh khawatir. "Nyonya, tuan pasti akan terlambat lagi untuk pulang. Sebaiknya nyonya makan saja dulu."

Perempuan itu tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan topeng daripada ekspresi tulus. "Aku baik-baik saja, Bi. Aku akan menunggu kepulangan Mas Ardian. Dan aku yakin sekali, dia akan datang sebentar lagi," ucapnya sambil membelai pergelangan tangannya, menenangkan diri.

Tapi dalam hatinya, keraguan membuncah. Bahkan ia tak tahu apakah ucapannya itu ditujukan untuk Bibi atau untuk menenangkan dirinya sendiri. Kalimatnya seperti mantra kosong yang diulang-ulang agar luka batinnya tidak semakin dalam. Sungguh, ini bukan sekadar kesabaran—ini adalah bentuk manipulasi terhadap diri sendiri.

ART itu membuka mulut, ingin berkata sesuatu, namun belum sempat keluar satu kalimat pun, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Suara mesin yang begitu dikenal, yang tiap malam ditunggu dengan harap-harap cemas.

"Tuh kan, apa aku bilang. Mas Ardian pasti datang," ucap perempuan itu, senyumnya kali ini sedikit lebih tulus, meski tetap ada getir yang sulit disembunyikan. Ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar, "Walaupun dia datang terlambat."

Bibi hanya membalas dengan senyum kecil, tidak ingin mengganggu momen itu. Namun, di dalam hatinya, ia merasa getir. Ia tahu, nyonyanya terlalu baik. Terlalu setia. Bahkan untuk seseorang yang kadang lupa pulang, lupa memberi kabar, dan lupa bahwa di rumah ini ada seseorang yang menunggunya dengan seluruh cinta yang tersisa.

Bibi pernah tanpa sengaja melihat sang nyonya menangis sendirian di kamar. Perempuan itu selalu berusaha terlihat kuat di depan orang lain, namun begitu pintu tertutup, air matanya mengalir deras, seolah seluruh luka yang dipendam tumpah sekaligus. Tak pernah sekali pun dia mengadu. Tak pernah memaki. Ia hanya menangis dalam senyap.

Hari ini pun, meski suaminya akhirnya datang, Bibi tahu luka itu belum sembuh. Hanya tertunda. Seperti luka lama yang ditutupi perban baru. Dan setiap malam, drama yang sama akan terulang. Cinta yang diam-diam menyiksa, tapi tetap dipeluk dengan sabar oleh seorang perempuan yang terlalu setia.

Pintu utama akhirnya terbuka. Ardian, sang suami, masuk dengan langkah cepat namun tak tergesa. Raut wajahnya seperti biasa—tenang, sedikit lelah, dan sulit dibaca. Ia melepas sepatu di depan pintu, menyampirkan jas kerja ke lengan, lalu tersenyum ketika melihat istrinya masih duduk di ruang makan.

“Eva sayang... maaf ya, aku pulang telat lagi,” ucapnya seraya berjalan mendekat. Ia mencium kening istrinya sekilas, kemudian duduk di sebelahnya.

Perempuan itu menatap suaminya dengan pandangan yang sulit dijelaskan—antara lega, kecewa, dan tetap ingin percaya.

"Aku masak makanan kesukaanmu," ucapnya pelan, mencoba menyembunyikan suara gemetar. "Aku kira kita bisa makan bareng malam ini."

Ardian tersenyum, lalu mengusap lembut punggung istrinya. “Aduh, sayang... aku tadi ada meeting dadakan. Klien dari luar negeri, susah banget dijadwalin. Tadinya aku pikir bisa kabur lebih cepat, tapi tahu sendiri lah kalau udah urusan kerjaan.”

Istrinya mengangguk kecil. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menyimak.

“Terus,” lanjut Ardian, seolah merasa perlu memperkuat alasannya, “habis dari kantor, aku sempat mampir ke toko roti langganan kamu itu, yang kamu suka banget. Tapi udah tutup, yank. Aku telat banget sampai sana.”

Dia merogoh sakunya, mengeluarkan selembar kertas kecil—struk parkir—dan menunjukkannya seperti bukti tak terbantahkan.

“Lihat, ini jam aku keluar dari sana. Setengah sembilan lewat. Aku niat kok, yank. Beneran.”

Perempuan itu mengangguk lagi. Kali ini senyumnya muncul, tapi tetap lemah. “Iya… aku percaya, Mas.”

“Sorry banget ya, kamu nunggu lama. Aku tahu kamu suka nahan lapar kalau belum makan bareng aku. Tapi kamu nggak usah kayak gitu lagi, yank. Jangan sampai sakit, aku nggak mau lihat kamu kayak gini terus.”

Ardian memeluk istrinya dengan satu tangan. Dalam hatinya, Ardian mengumpat dirinya sendiri. Karena dia telah berbohong. Sementara itu, Eva bersandar di bahunya. Ada sedikit kenyamanan di sana, meski hatinya masih menyimpan pertanyaan yang tak berani ia ucapkan.

"Maafkan aku, Eva.' batin Ardian

***

Apa yang telah dilakukan oleh Ardian? Sampai-sampai, dia berbohong seperti itu?"

Terpopuler

Comments

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

like plus subscribe 👍 salam kenal 🙏

2025-04-28

1

lihat semua
Episodes
1 1. Menunggu
2 2. Menolak Permintaan Suami
3 3. "Kamu Tega Sekali, Mas."
4 4. Disini Ku Menunggu, Disana Kamu Berkhianat
5 5. Doa Orang Baik & Sindiran Mama Mertua
6 6. Pertengkaran Di Pagi Hari
7 7. Cintamu Membunuhku
8 8. Pengorbanan Yang Tiada Artinya
9 9. Cinta Saja Tidak Cukup
10 10. Kamu Akan Bahagia
11 11. Istri Siri
12 12. Ajakan Makan Malam
13 13. Eva Dan Arsen
14 14. Bukan Urusan Kamu
15 15. Perempuan Mandul
16 16. Seharusnya Saling Mendukung, Bukan Menjatuhkan
17 17. Tidak Akan Menceraikan Kamu
18 18. Sesaknya Dunia Untukku
19 19. Tangisan Dibalik Derasnya Hujan
20 20. Tamu Di Pagi Hari
21 21. Perdebatan
22 22. Surat Cerai
23 23. Gosip Di kantor
24 24. Niat Berbeda Eva Dan Ardian
25 25. Suasana Sidang Yang Menegangkan
26 26. Masih Ditunda
27 27. Cinta Segitiga
28 28. Ego Dan Cinta
29 29. Perhatian Seorang Sahabat
30 30. Kecelakaan
31 31. Khawatir
32 32. Penderitaanmu Adalah Hal Yang Menyenangkan
33 33. Orang Suruhan
34 34. Siuman
35 35. "Pergi!"
36 36. Hancur Dan Tumbuhnya Sedikit Harapan
37 37. Resmi Berpisah
38 38. Status Baru Dan Perasaan Terluka
39 39. Pelakor
40 40. Jejak Luka, Jejak Harapan
41 41. "Dasar perempuan tidak tahu diri!"
42 42. Menyiksa
43 43. Geger di Pagi Hari
44 44. Fakta Yang Terungkap
45 45. Hanya Simpati Atau Cinta
46 46. Gejolak Perasaan
47 47. Ketegangan Di meja Makan
48 48. Semuanya Terungkap
49 49. Tidak Pernah Lupa
50 50. Rahasia Masa Lalu
51 51. 100% Mirip
52 52. "Jangan-jangan, kamu....."
53 53. Rumit
54 54. "Ayo Lakukan Tes DNA"
55 55. Pertemuan Yang Cukup Mengejutkan
56 56. Masa Lalu
57 57. Kita Telah Berbeda
58 58. Syok
59 59. A Reshus Negatif
60 60. Koma dan Takut Kehilangan
61 61. Dunia Sempit Sekali
62 62. Pengkhianat
63 63. Cinta Bersemi Dihati
Episodes

Updated 63 Episodes

1
1. Menunggu
2
2. Menolak Permintaan Suami
3
3. "Kamu Tega Sekali, Mas."
4
4. Disini Ku Menunggu, Disana Kamu Berkhianat
5
5. Doa Orang Baik & Sindiran Mama Mertua
6
6. Pertengkaran Di Pagi Hari
7
7. Cintamu Membunuhku
8
8. Pengorbanan Yang Tiada Artinya
9
9. Cinta Saja Tidak Cukup
10
10. Kamu Akan Bahagia
11
11. Istri Siri
12
12. Ajakan Makan Malam
13
13. Eva Dan Arsen
14
14. Bukan Urusan Kamu
15
15. Perempuan Mandul
16
16. Seharusnya Saling Mendukung, Bukan Menjatuhkan
17
17. Tidak Akan Menceraikan Kamu
18
18. Sesaknya Dunia Untukku
19
19. Tangisan Dibalik Derasnya Hujan
20
20. Tamu Di Pagi Hari
21
21. Perdebatan
22
22. Surat Cerai
23
23. Gosip Di kantor
24
24. Niat Berbeda Eva Dan Ardian
25
25. Suasana Sidang Yang Menegangkan
26
26. Masih Ditunda
27
27. Cinta Segitiga
28
28. Ego Dan Cinta
29
29. Perhatian Seorang Sahabat
30
30. Kecelakaan
31
31. Khawatir
32
32. Penderitaanmu Adalah Hal Yang Menyenangkan
33
33. Orang Suruhan
34
34. Siuman
35
35. "Pergi!"
36
36. Hancur Dan Tumbuhnya Sedikit Harapan
37
37. Resmi Berpisah
38
38. Status Baru Dan Perasaan Terluka
39
39. Pelakor
40
40. Jejak Luka, Jejak Harapan
41
41. "Dasar perempuan tidak tahu diri!"
42
42. Menyiksa
43
43. Geger di Pagi Hari
44
44. Fakta Yang Terungkap
45
45. Hanya Simpati Atau Cinta
46
46. Gejolak Perasaan
47
47. Ketegangan Di meja Makan
48
48. Semuanya Terungkap
49
49. Tidak Pernah Lupa
50
50. Rahasia Masa Lalu
51
51. 100% Mirip
52
52. "Jangan-jangan, kamu....."
53
53. Rumit
54
54. "Ayo Lakukan Tes DNA"
55
55. Pertemuan Yang Cukup Mengejutkan
56
56. Masa Lalu
57
57. Kita Telah Berbeda
58
58. Syok
59
59. A Reshus Negatif
60
60. Koma dan Takut Kehilangan
61
61. Dunia Sempit Sekali
62
62. Pengkhianat
63
63. Cinta Bersemi Dihati

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!