Reina, seorang siswi yang meninggal karena menjadi korban buly dari teman temannya.
Di ujung nafasnya dia berdoa, memohon kepada Tuhan untuk memberikan dia kesempatan kedua, agar dia bisa membalas dendam pada orang orang yang telah berbuat jahat padanya.
Siapa sangka ternyata keinginan itu terkabul,
dan pembalasan pun di mulai.
Tetapi ternyata, membalas dendam tidak membuatnya merasa puas.
Tidak membuat hatinya merasa damai.
Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya?
Ikuti kisahnya dalam
PEMBALASAN DI KEHIDUPAN KEDUA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Koridor rumah mewah itu terasa sunyi, hanya langkah kaki Starla yang terdengar bergema, berat dan gontai. Sisa lebam di wajahnya akibat tamparan Reina tadi siang masih terlihat. Rambut gadis itu tampak acak-acakan. Tidak rapi dan anggun seperti biasanya. Beberapa pelayan menyaksikan kepergiannya dengan tatapan mencemooh dan mencibir. Kini mereka tak perlu takut lagi pada gadis yang ternyata hanya putri tidak sah. Nona Reina akan membela mereka.
Sesampainya di kamar Starla menggeram, membanting dengan keras, hingga suaranya memekakkan telinga. Starla menatap tangannya yang biasa mulus dan wangi, kini berbau cairan pembersih lantai. Ia merasa jijik jika mengingat tangan itu beberapa saat lalu memegang kain pel. Sejak sejak tadi siang, entah sudah berapa kali ia mencoba mencucinya dengan sabun wangi miliknya, tapi aroma itu tak juga hilang.
“Reina! Dia akan membayar semua ini! Semua penghinaan ini!” Ia meraih ponselnya, jari-jarinya mengetik cepat, menghubungi seseorang.
“Aku ada pekerjaan untukmu.” Suaranya bergetar, dipenuhi dendam. “Wajah yang aku kirim padamu, berikan dia pelajaran setimpal yang tak akan dia lupakan seumur hidup!”
Panggilan diakhiri sepihak sebelum ada jawaban dari seberang.
“Reina… dia berani menamparku, mempermalukanku di depan para pelayan! Aku tidak akan mengampuninya. Aku pastikan dia akan menderita dan meminta kematiannya sendiri…” mata Starla menyala api amarah, api kebencian yang membara.
***
Sementara itu di kamar Reina, Gadis itu membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Menarik selimut hingga batas dada, menutupi dirinya dan Bu Marni. Reina mencoba memejamkan matanya setelah wanita tua di sampingnya tertidur pulas. Ia juga harus segera tidur, agar tidak kesiangan untuk bangun besok pagi, meskipun hal seperti itu tak pernah terjadi.
Tak berapa lama, Gadis itu pun terbuai ke alam mimpi. Senyum manis tersungging di bibir gadis itu. Entah apa yang membuatnya bahagia hingga terbawa ke dalam mimpi, hingga beberapa saat kemudian senyum itu hilang, berubah menjadi kerutan di kening, disertai dengan keringat dingin yang mengalir di seluruh wajahnya.
“Di mana aku. Ini tempat apa?” Reina memandang sekeliling yang menjadi gelap. Tak hanya gelap, pekat, hingga sebuah sinar di kejauhan memanggilnya untuk mendekat.
Humk…
Reina menutup mulut dan hidungnya. Bau anyir darah begitu menyengat, hingga ia merasa perutnya mual dan berasa ingin muntah.
“Kalian para penghianat negara, matilah kalian di tanganku!”
Suara teriakan yang begitu lantang dan tegas terdengar di telinganya membuat ia menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria gagah perkasa, yang sepertinya adalah pimpinan prajurit, tengah membantai musuh. Mata Reina terbelalak. Apa ini, di tempat apa dia diperpijak saat ini? Mata Reina memindai sekeliling.
“Perang. Ini adalah peperangan?” Reina menutup mulutnya dengan telapak tangan. Para prajurit berlarian, menyerang dan bertahan. Bunyi pedang saling beradu yang menimbulkan suara miris di telinga. Mayat-mayat bergelimpangan. Darah tertumpah muncrat ke segala arah. Reina bergidik ngeri. “Oh tidak, jangan katakan aku sedang terlempar ke negeri fantasi.”
Reina bergerak ingin menjauh saat seseorang berlari ke arahnya. Tapi gerakannya terhenti saat orang itu menarik pundaknya dengan keras.
“Prajurit Hera, apa yang kau lakukan? Jangan diam saja. Cepat bantu Panglima!”
Reina tersentak. Apa? Bantu apa? Bingung sekaligus kaget ketika orang itu menarik tangannya. Secara reflek Reina memperhatikan tangannya yang dipegang oleh orang berseragam prajurit itu.
Matanya semakin terbelalak. Sejak kapan tangan itu memegang pedang? Reina memperhatikan dirinya. Baju zirah? Kapan dia berganti pakaian dengan baju zirah?
Tanpa sadar, Reina bergerak cepat seolah dirinya memang telah menjadi bagian dari perang itu. Pedang tajamnya membantai musuh tanpa ampun. Melihat pimpinan sedang terkepung Reina bergerak mendekat. Dengan pedangnya ia membabat habis siapapun yang menghalangi.
Matanya menyala merah, manakala ia melihat, seorang lawan hendak berbuat curang terhadap pimpinannya. “Panglima,,, Awas…!” Reina berlari kencang, ia harus melindungi panglima nya. Jangan sampai ia keduluan oleh musuh.
Usahanya tak sia-sia, ketika musuh tinggal sejengkal saja dari panglima, Ia berhasil menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Dan…
Jleb…
“Aaaaa…!” Raina memekik keras, manakala pedang melawan menembus punggungnya. Tubuhnya jatuh tersungkur, darah segar keluar dari mulutnya.
“HERAAAA…”
Dengan matanya yang terpejam, Ia mendengar teriakan panglimanya. Ia juga bisa merasakan, ketika panglima perang meraih kepalanya dan menarik di pangkuan.
“Panglima,,, Saya mencintai Anda!”
“Hera, jangan tutup matamu! Hera! HERAAAA…!”
“HERA, AKU IBRAHIM HERLAMBANG. JIKA ADA KEHIDUPAN SELANJUTNYA, AKU PASTI AKAN MENCARIMU. HERAAAAA…!”
“Nak, bangun, Nak!” Bu Marni terus mengguncang tubuh Reina agar terbangun.
“Reina..!” Tak berhasil dengan guncangan, Bu Marni menepuk-nepuk pipi Reina.
“Ibu..?”
Hosh… hosh… hosh…
Reina terbangun dan langsung terduduk. Napasnya tersengal.
“Ini minum!” Bu Marni menyodorkan gelas ke depan mulut Reina. Reina pun segera meminumnya hingga tandas. “Apa kamu mimpi buruk?”
Seraya menetralkan nafasnya, Reina memindai sekeliling. Iya menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam kamar mewah rumah Adiguna. Pikirannya melayang ke arah mimpi yang baru saja ia alami. Itu benar-benar nyata.
“Itu bukan mimpi. Aku ingat sekarang. Itu adalah aku di masa lalu. Panglima, Saya mengingat Anda!”
“Rei? Kamu mimpi apa? Apakah benar-benar buruk?” Bu Marni menatap putrinya dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa Bu. Ayo kita tidur lagi!” Tak ingin membuat ibunya cemas, Reina segera membantu ibunya untuk kembali berbaring, lalu ia pun segera berbaring seperti semula. “Maaf ya, pasti Rei membuat Ibu kaget.”
“Ibu tidak apa-apa. Tapi bagaimana denganmu?” Bu Marni menggenggam tangan Reina.
Reina tersenyum membawa tangan ibunya dan menciumnya. “Rei beneran tidak apa-apa Bu. Itu cuma mimpi.”
siapa mereka torrr
syarat... /Drowsy//Drowsy//Drowsy/