NovelToon NovelToon
Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Romansa Fantasi / Ruang Ajaib / Epik Petualangan / Roh Supernatural / Time Travel
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nyx Author

🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”

Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.

Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.

Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.

>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”

Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.

Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?

Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.

Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.

📚 Happy reading 📚

⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

|Kehangatan Kasih Ibu...

Di bawah guyuran air yang jatuh tanpa henti...

Tanaya membasuh tubuhnya kasar. Gadis itu berusaha menggosok kulitnya kuat-kuat, dengan spons penuh busa. Gerakannya tampak kasar membuat kulitnya memerah dan perih oleh gesekan. Namun, rasa itu tak sebanding dengan panas yang menguar di dadanya.

Air hangat bercampur napasnya yang memburu menggema di kamar mandi itu, sementara ingatannya—tanpa izin—kembali pada kejadian di sungai itu.

Sentuhan lancang itu.

Tatapan asing yang terlalu dekat.

“Bajingan…”

Mengingat itu, tanpa sadar umpatannya kembali lolos dari bibirnya—lirih namun sarat amarah dan jijik pada keadaan.

Suara air semakin keras, seolah ingin menenggelamkan pikirannya sendiri dari kejadian itu. Cukup lama gadis itu di dalam sana, hingga tak lama suara pancuran air dimatikan terdengar.

Tanaya perlahan keluar dari kamar mandinya. Tubuhnya terbalut handuk sepaha, sambil berjalan pelan menuju kamarnya.

Rumahnya terasa sangat sunyi sekali—bahkan terlalu sunyi. Tak ada cahaya lampu di ruang tengah, tak ada suara. Ia sengaja mematikan semuanya sebab gelap membuatnya terasa lebih aman.

Tanaya mulai mengenakan pakaian kulit barunya yang tergeletak di kasur. Tangannya bergerak mengoleskan handbody dan foundation tipis untuk menyamarkan bekas kemerahan di kulitnya, ia sampai gemetar saat menutupinya.

Di depan cermin rias, matanya menatap pantulan dirinya sendiri—wajah pucat, mata sembap, sisa tangis yang belum sepenuhnya hilang.

Ia tak boleh terlihat seperti ini.

Jika Sira dan Tharen tahu, itu hanya akan membuat mereka khawatir. Keadaan suku sudah cukup berat. Krisis, musim dingin, keputusan-keputusan besar—Tanaya tak ingin menjadi beban tambahan. Ia juga tak ingin menambah luka pada hati orang-orang yang sudah melindunginya.

Dan lebih dari itu… ia tak ingin membuat mereka merasa malu karenanya. Sorot matanya perlahan turun menatap pantulan tubuhnya dengan sorot tegas.

Tubuh barunya ini, ini adalah miliknya sekarang...

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaganya. Ia tak ingin merusaknya dengan mengulangi masa lalu kelamnya, ia tak ingin kembali hancur seperti dulu.

Bibirnya bergetar, air mata nyaris jatuh lagi mengingat nya. Tapi ia buru-buru menahannya sambil menepuk pipinya pelan. Ia menarik napasnya panjang—menguatkan diri, sebelum akhirnya mengusap wajahnya sekali lagi.

“Fokus, Tanaya,” bisiknya pada diri sendiri.

Musim dingin tinggal menghitung waktu, dan ia tak akan membiarkan semua rencananya runtuh hanya karena ulah satu pemuda itu.

Tidak. Ia sudah terlalu jauh melangkah untuk mundur sekarang. Dengan langkah cepat, Tanaya masuk ke dapur, pikirannya langsung tertuju pada satu hal. Stok makanan.

Ya! Ia ingat—ia masih menyimpan beberapa bahan makanan di kulkas. Setiap pulang kerja dari restorannya dulu, ia selalu diberi seafood oleh pemiliknya sebagai bentuk penghargaan atas kerja kerasnya.

Baik sekali, bukan?

Dadanya menghangat oleh ingatan itu. Ia merindukan pekerjaannya. Meski hidupnya dulu serba cukup, Tanaya selalu bersyukur. Dunia itu mungkin kejam padanya di akhir, tapi ia pernah bahagia di sana.

Pintu kulkas terbuka.

Seperti dugaannya—udang, kerang, ikan, dan beberapa daging beku tersusun rapi. Tidak sebesar hasil buruan didunia purba, tapi ini sudah lebih dari cukup. Jauh lebih aman, bersih, dan bernilai.

Dalam benaknya, sebuah pikiran melintas.

Bagaimana kalau suatu hari dia menyimpan daging didunia purba ke sini…?

Di sana, tak ada kulkas. Hanya ruangan penyimpanan kecil sederhana, daging dibungkus dengan daun pengawet dan bergantung pada suhu alam. Risiko busuk selalu mengintai.

Tapi pikiran itu segera ia simpan. Bukan sekarang tapi nanti, ia harus menyelesaikan nya secara pelan-pelan.

Tanaya mengambil kantong plastik besar, dan memasukkan semua bahan-bahan itu satu per satu—cepat namun rapi. Ia juga meraih beberapa bungkus garam dan penyedap lain karna stok di gua rumahnya hampir habis. ia terpaksa mengandalkan persediaan ini. Toh, persediaan ini akan kembali utuh nantinya.

Sebelum garam dari suku Selakra tiba, ia tak punya pilihan lain selain berniat menemukan cara membuat garam sendiri. Bergantung pada pertukaran antar suku terlalu merepotkan—dan berbahaya jika salah satu pihak mulai bermain curang.

“Hah… ini cukup,”gumamnya sambil menatap isi kantong dengan lega.

Ia menarik napasnya panjang.“Aku harus kembali sebelum ibu pulang… Kak Yaren pasti sudah berangkat.”keluhnya.

Ada sedikit sesal di nada suaranya, tapi ia menepisnya cepat.

Tanaya perlahan memejamkan matanya. Tangannya menggenggam kantong itu erat-erat sambil memusatkan pikirannya, menenangkan napasnya—sejanak.

Tak lama, semilir angin mulai menyapu tubuhnya—dingin namun lembut, seolah menariknya dari satu dunia ke dunia lain.

Saat ia membuka matanya—Ia sudah kembali.

Dinding batu menyambutnya. Aroma tanah dan api kayu memenuhi indra penciumannya. Ia berdiri tepat di kamarnya—sunyi, purba, dan menunggu. Kantong di tangannya masih utuh, nyata.

Tanaya menghembuskan napasnya pelan. Tak ada yang berbeda, lagi-lagi kesunyian kembali meratapinya.

...>>>>...

Malam semakin larut.

Sira baru saja kembali dari balai suku. Di tangannya, sebuah keranjang baru ia bawa—sisa anyaman rapi hasil kerja para wanita sore tadi. Ia meletakkannya di sisi gua sebelum akhirnya melangkah masuk.

Baru beberapa langkah, langkahnya terhenti.

Aroma gurih perlahan menyusup pelan, hangat dan asing—bukan bau daging sederhana yang biasa ia masak. Tapi ini seperti wangi masakan putrinya—kaldu, ikan, dan rempah bercampur lembut, membuat Sira mengernyit dan segera melangkah cepat menuju dapur.

Di bawah cahaya obor yang berpendar tenang, Tanaya berdiri seorang diri di sana. Gadis itu baru saja mematikan bara api, uap panas masih mengepul dari panci kayu di depannya.

Sira tertegun.

“Naya… Kau disini?"

Tanaya tersentak, lalu menoleh. Wajahnya langsung melunak saat melihat ibunya berdiri di ambang dapur.

“Ah! Akhirnya Ibu sudah pulang juga...”katanya ringan, ia tersenyum seolah tak ada yang aneh.

“Pasti lelah. Yuk, kita makan bersama, bu.”

Ia segera mengambil dua mangkuk, dan menuangkan bakso ikan yang masih mengepul panas. Kuahnya bening keemasan, aroma gurihnya semakin kuat. Bulatan bakso tampak kenyal, mengilap terkena cahaya api.

Sira melangkah mendekat, masih menatap tak percaya.“Naya…” suaranya merendah, penuh tanya.

“Dari mana saja kau hari ini? Ibu menunggumu di balai suku. Ibu pikir setalah dari sungai, kau akan langsung kembali ke balai.”tuturnya sedikit khawatir.

Tanaya berhenti sejenak saat menuang mangkuk kedua, tapi ekspresinya tetap tenang.

“Kakakmu sampai mencarimu sebelum berangkat,” lanjut Sira pelan. “Ia menunda perjalanan nya sebentar karena tak menemukamu.”

Mendengar itu, Tanaya menunduk sebentar, jemarinya mencengkeram mangkuk miliknya sendiri.

“Maaf…” gumamnya lirih. “Aku tidak bermaksud membuat kakak khawatir, bu.”

Sira menatap putrinya lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda—bukan hanya dari masakan ini, tapi dari caranya berdiri, dari ketenangan yang terlalu matang untuk gadis seusianya.

"Ada apa? Apa ada sesuatu?"Sira perlahan mendekat.

“Emm… sebenarnya tadi aku sempat terjatuh di sungai,” ucap Tanaya pelan. Nada suaranya sengaja dibuat ringan, seolah kejadian itu tak berarti apa-apa.

Ia segera menyodorkan mangkuk berisi bakso ikan hangat ke tangan Sira, berharap perhatian ibunya teralihkan. Namun reaksi Sira justru sebaliknya. Wanita itu tersentak, matanya membelalak seketika.

“Jatuh?!”

Suaranya tanpa sadar meninggi karna itu. Mangkuk di tangannya hampir saja terlepas.

“Bagaimana bisa, Naya? Kau terpeleset? Kau jatuh? Mana yang sakit?!”

Kepanikan wanita itu sudah tak bisa disembunyikan lagi. Tangannya sudah meraih lengan Tanaya, memeriksanya dari kepala hingga bahu, seolah takut ada luka yang terlewat.

Tanaya menunduk, ia mengigit bibirnya lirih. Dadanya menghangat oleh rasa bersalah lalu perlahan mengangkat pakaian kain di betisnya.

“Ini saja, Bu…” ucapnya lirih.

Memperlihatkan memar kebiruan di pergelangan kakinya, belum sepenuhnya pudar. Daun sawa masih tertempel di sana—lembap, menandakan luka itu baru saja diobati. Tak parah, namun cukup jelas untuk membuat jantung seorang ibu mencelos.

Sira yang melihat itu menahan napasnya. Tangannya bergetar saat menyentuh pelan luka itu. Beruntung Tharen tidak ada di rumah, jika pria itu tahu mungkin dia sudah menghancurkan batu yang melukai putrinya.

“Ya Dewata…” bisik Sira lirih. “Seharusnya ibu ikut bersama mu tadi. Sungai itu berbahaya kalau arusnya deras.”

Tanaya tersenyum kecil—senyum yang lebih mirip usaha untuk menenangkan daripada rasa baik-baik saja.

“Aku sudah hati-hati, Bu. Lagipula… aku tidak apa-apa. Lihat, aku masih bisa memasak.”

Sira menatap wajah putrinya lama. Ada sesuatu di mata Tanaya yang membuatnya ragu—kelelahan, mungkin… atau sesuatu yang sengaja disembunyikan. Namun akhirnya ia menghela napas dan mengangguk pelan.

“Lain kali jangan begitu, kalau ada apa-apa katakan saja pada ibu jangan menanggung semuanya sendiri nak...” katanya lembut, meski nada khawatir masih jelas terdengar.

Tanaya hanya mengangguk. Ia tak berani berkata apa-apa lagi—tak ingin kebohongannya semakin dalam.

“Bu, bagimana kalo kita makan saja.”Tanaya mencoba mencairkan suasana.“Lihat, aku sudah memasak hidangan baru lagi malam ini. Aku yakin ibu pasti akan sangat menyukainya.”

Ia sengaja tersenyum lebar, tak ingin melihat raut sedih di wajah Sira.

Aroma makanan perlahan menyadarkan Sira dari lelah yang menumpuk di dadanya. Ia kembali menghela napasnya pelan, lalu membantu Tanaya mengangkat mangkuk ubi rebus yang satunya.

“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya melunak. “Kita makan dulu.”

Tanaya tersenyum kecil—lega.

Api obor perlahan berkerlip pelan, malam di luar gua sunyi, sementara dua mangkuk hangat menjadi saksi keheningan yang menyimpan banyak hal belum terucap.

Setelah makan malam, Tanaya dan Sira berbaring berdampingan di atas ranjang batu yang dialasi beberapa lembar kulit hewan disana. Sinar bulan masuk dari sela-sela jendela kamar Tanaya menerpa mereka berdua, memantulkan cahaya hangat yang menari-nari, menenangkan.

Tanaya memejamkan matanya sambil memeluk ibunya erat. Elusan lembut Sira di rambutnya membuat dadanya terasa hangat—rasa aman yang lama tak ia sadari begitu ia rindukan.

“Bu… kapan ayah kembali?”Suaranya memecah keheningan, ia membuka matanya dan mendongak.

“Besok pagi,” jawab Sira lembut. “Ayahmu hanya mengantar kakakmu sampai perbatasan. Tak lama.”

Ia pun membuka matanya, menatap putrinya dengan senyum tipis. “Besok, Apa naya mau ikut ibu lagi ke balai suku? Ayahmu akan mulai mengajari para pemuda membuat senjata—senjata yang kau rancang.”

Sira mencubit hidung Tanaya pelan, penuh bangga. “Ibu sangat bangga padamu. Kau tahu, senjata yang Naya buat itu disetujui Ketua Sao sebagai alat pertukaran bernilai besar. Dengan itu, suku Nahara bisa bekerja sama dengan suku timur tanpa harus bergabung… tanpa kehilangan nama kita.”

Mendengar itu mata Tanaya berbinar.

“Benarkah, Bu?”

“Benar,”angguk Sira antusias.“Besok semua orang akan dikumpulkan kembali. Akan ada pengajaran benda baru, makan bersama… sampai Yaren dan Rua kembali.”

Ia menghela napasnya kecil.“Sepertinya ibu akan sangat sibuk. Ibu tak tega meninggalkanmu sendirian.”

Sekilas, nama Rua terdengar di telinga Tanaya membuat nafasnya sedikit tertahan sesaat. Ia mengalihkan perasaannya, lalu tersenyum lembut.

“Kalau ada masak-masak… bolehkah aku memperkenalkan masakanku juga pada semua orang, Bu? Aku ingin mereka semua merasakannya.”

Sira tersenyum hangat.“Putriku memang sangat perhatian... Itu juga yang ayahmu pikirkan.”

Ia kembali mengelus rambut Tanaya untuk mengajaknya tidur.“Tapi besok saja kita bahas. Sekarang tidur, ya. Sudah malam. Besok kita harus bersiap.”

Tanaya mengangguk kecil, ia perlahan memejamkan matanya kembali. Namun, di balik kehangatan pelukan ibunya, pikirannya tetap terjaga—antara harapan baru untuk suku Nahara, Musim dingin, dan bayangan sungai yang belum sepenuhnya pergi dari ingatannya.

...>>>>To Be Continued....

1
Lala Kusumah
double up dong Thor, ceritanya tambah seruuuuu nih 🙏🙏👍👍
Yani
update lagi Thorr, semangat 💪🙏🙏
Musdalifa Ifa
rua lelaki kurang ajar ih dasar lelaki brengsek😤😤😤😠😠😠
Lala Kusumah
Naya hati-hati sama buaya darat 🙏🙏🙏
anna
❤❤👍🙏🙏
Andira Rahmawati
dasar laki2 munafik..naya harus lebih kuat..harus pandai bela diri..knp tadi naya tdk msk ke ruang rahasianya saja..
Yani
aku mau izin masuk grup dong Thorr, sdh aku klik tapi gak ada ya lanjutannya. apa belum di accept ya🥰🥰🙏
📚Nyxaleth🔮: Maaf kak... ceritanya error enggak bisa di masukin di grub. Aku udah up disini kok, bentar lagi muncul. kata-kata nya udah AQ perbaiki. makasih udah nunggu🙏❤️
total 1 replies
Yani
ayok lanjut Thorr crita nya
Angela
yah cuman 1 eps , kurang banyak thor kalau bisa 2 eps
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
lanjut kak
Angela
lanjut thor,aku suka ceritanya😍
RaMna Hanyonggun Isj
sedikit sekali update x sekali update x 50 ep kha
Lala Kusumah
Naya emang hebaaaaaatt baik hati dan tidak sombong 👍👍👍😍😍
Muhammad Nasir Pulu
lanjut thorr..baru kali ini dapat cerita yg menarik, bagus dan ini kali pertama selama baca novel baru ku tinggalkan jejak
Andira Rahmawati
lanjut..thor...
Musdalifa Ifa
wah bagus sekali Tanaya pengetahuan dunia modern bisa menjadi solusi untuk hidup lebih baik di dunia kuno
Lala Kusumah
makasih double updatenya ya 🙏🙏🙏
anna
🙏❤👍
Rena🐹
itu kan ada mobil kenapa kagak di pakee/Frown/

tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh
📚Nyxaleth🔮: /Curse/ Astaga kak, enggak ekspek bakal ada yang komen gini. tapi iya juga sih🤭🙏
total 1 replies
Astrid Fera
ayolah jangan lama"up nya thor,,smpai lmutan ni nngguin,,😭😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!