NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Fans & Haters (Serangan "Fans" Juan)

Bab 33: Fans & Haters (Serangan "Fans" Juan)

Rabu.

Dua hari setelah insiden dramatis di koridor di mana Juan "sang Pangeran" membawakan tas wortel Yuni.

Atmosfer kampus Universitas Indonesia Raya berubah lagi.

Bukan lagi cemoohan terang-terangan yang kasar seperti lemparan batu.

Tapi sesuatu yang lebih halus, terpolarisasi, dan berbahaya.

Seperti perang dingin.

Yuni berjalan menuju kantin Teknik untuk makan siang rutinnya bersama Juan.

Dia masih memakai tote bag kanvas wortelnya.

Tas itu bukan lagi sekadar tas belanja.

Itu simbol perlawanan. Simbol bahwa dia tidak bisa dibeli.

Tapi kali ini, tidak ada yang menertawakannya secara langsung.

Malah, beberapa mahasiswi junior yang berpapasan dengannya di koridor tersenyum malu-malu.

"Siang, Kak Yuni," sapa mereka ramah.

Yuni bingung. Dia berhenti sejenak.

"Siang," jawabnya ragu.

Dia sampai di meja biasa di kantin Teknik.

Juan sudah ada di sana.

Dua piring nasi goreng spesial dan dua gelas es teh manis sudah terhidang.

Tapi Juan tidak sedang makan.

Dia sedang sibuk menandatangani sesuatu dengan pulpen mahalnya.

Bukan dokumen BEM. Bukan proposal proyek.

Tapi... buku catatan? Binder warna-warni?

Seorang mahasiswi tingkat satu berdiri di depannya, wajahnya merah padam menahan senyum.

"Makasih banyak ya, Kak Juan! Kakak so sweet banget kemarin! Panutan banget!"

Cewek itu mengambil bukunya seolah itu relikui suci, lalu lari sambil cekikikan bersama teman-temannya yang menunggu di pojok.

Juan menghela napas panjang. Menutup pulpennya dengan bunyi klik.

"Apa itu?" tanya Yuni, duduk di sebelahnya. "Sejak kapan kamu buka sesi fansign?"

"Sejak foto aku cium kening kamu viral," kata Juan datar.

Dia menatap Yuni.

"Selamat. Branding kita sukses besar. Di luar ekspektasi."

"Maksudnya?"

Juan menyodorkan ponselnya.

Menampilkan sebuah thread di Twitter (X) yang sedang trending di kalangan mahasiswa satu kota.

Judulnya: Juan Adhitama: The Real Prince Charming atau Cuma Marketing? (UTAS)

Tapi isinya... memuja. Mayoritas memuja.

@bucinjuan: Gila sih, cowok kaya raya, ganteng, pinter, mau bawain tas belanja ceweknya yang kumal? Fix idaman. Standar cowok gue naik.

@teknik_gariskeras: Juan emang beda. Dia nggak mandang harta. Ceweknya sederhana banget, tapi diratukan. Ini baru cowok sejati.

@pencaricinta: Mau satu yang kayak Juan, plis! Tuhan, sisain satu!

"Kamu jadi pahlawan," kata Yuni, mengembalikan ponsel itu. "Pahlawan kesiangan."

"Dan kamu jadi Cinderella," tambah Juan.

"Narasi berubah. Orang-orang mulai berpikir ini kisah dongeng modern. Pangeran Teknik jatuh cinta sama Gadis Sastra Biasa."

"Bagus kan?"

"Bagus buat image aku. Bagus buat meyakinkan Oma kalau hubungan kita 'murni' dan 'kuat'," kata Juan.

Lalu wajahnya berubah serius. Alisnya bertaut.

"Tapi buruk buat keamanan kamu."

"Kenapa?"

"Karena setiap Pangeran punya fans fanatik."

"Dan fans fanatik benci siapapun yang mengambil idola mereka."

Yuni tidak mengerti maksud Juan saat itu. Dia pikir Juan berlebihan.

Sampai dia kembali ke Fakultas Sastra sore harinya.

Gedung fakultas sudah sepi. Matahari sore menyinari lorong dengan cahaya oranye.

Dia membuka lokernya untuk mengambil buku Pengantar Linguistik.

Biasanya loker itu kosong, hanya berisi debu dan jaring laba-laba.

Tapi hari ini, saat dia memutar kunci kombinasi dan membuka pintu besinya...

Bruk.

Tumpukan kertas jatuh berhamburan ke lantai.

Surat.

Puluhan surat. Amplop warna-warni.

Yuni memungut salah satu. Amplop merah muda dengan stiker hati.

Isinya tulisan tangan rapi dengan tinta glitter.

Kak Yuni, tolong jaga Kak Juan ya. Dia aset kampus. Jangan bikin dia sedih. Kakak beruntung banget.

Manis. Naif.

Dia membuka yang lain. Amplop putih polos. Tanpa nama.

Tulisannya diketik komputer.

Lo nggak pantes buat dia. Sadar diri.

Lo cuma manfaatin kebaikan Juan. Dasar parasit.

Awas lo kalau sampe nyakitin dia atau manfaatin duitnya.

Kita awasin lo. 24 jam.

Yuni meremas kertas itu.

Tangannya gemetar.

Ini bukan sekadar hate comment di Instagram yang bisa diabaikan dengan mematikan layar.

Ini fisik.

Ini nyata.

Mereka tahu lokernya. Mereka tahu jadwalnya.

Mereka ada di sini. Di sekitarnya.

Fans Juan. Para pelindung "Pangeran".

Mereka menganggap Yuni sebagai ancaman bagi idola mereka. Atau noda yang harus dibersihkan.

Yuni memasukkan semua surat itu—baik yang memuja maupun yang mengancam—ke dalam tas kanvasnya.

Dia tidak akan membacanya di sini. Dia tidak mau menangis di sini.

Dia berjalan cepat keluar gedung.

Di mading utama fakultas, dekat gerbang keluar, dia melihat kerumunan orang.

Mahasiswa Sastra. Teman-temannya sendiri.

Mereka berbisik-bisik, menunjuk sesuatu.

Ada poster baru ditempel di sana.

Bukan poster acara bedah buku atau lomba puisi.

Tapi poster editan Photoshop kasar.

Foto Yuni di kantin (yang kaku dan jelek) diedit berdampingan dengan foto Juan yang sedang pidato (gagah dan tampan).

Tulisan besar dicetak tebal di bawahnya:

THE BEAUTY AND THE BEAST? (Tebak siapa yang Beast)

Orang-orang tertawa.

"Kreatif banget yang bikin," kata seseorang. "Savage."

"Tapi emang jomplang sih. Langit bumi."

Yuni merasa darahnya surut dari wajah.

Kakinya terpaku di aspal.

Dia ingin merobek poster itu. Ingin berteriak.

Tapi kalau dia melakukannya, dia akan terlihat emosional. Lemah. Drama.

Dan fans Juan akan semakin senang.

Dia memilih untuk menunduk.

Berjalan terus. Melewati kerumunan itu.

Pura-pura tidak lihat.

Pura-pura tuli.

Tapi di dalam hatinya, ketakutan baru muncul. Ketakutan yang lebih dalam daripada saat di Vila.

Di Vila, musuhnya jelas: Clarissa dan Bella. Orang kaya yang sombong di menara gading.

Di sini, musuhnya tidak terlihat.

Mereka adalah mahasiswa biasa. Orang-orang yang dia temui di koridor setiap hari.

Orang-orang yang tersenyum padanya tadi pagi, tapi menusuk dari belakang sore ini.

Sore itu, Yuni tidak langsung pulang ke kos.

Dia takut dikuntit.

Dia duduk di halte bis tua yang sepi di luar area kampus. Halte yang atapnya bocor.

Menunggu angkot yang tak kunjung datang.

Sebuah motor sport hitam besar berhenti di depannya.

Mesinnya menderu garang.

Pengendaranya memakai helm full face hitam dan jaket kulit hitam.

Seperti ksatria kegelapan.

Kaca helm dibuka.

Mata cokelat yang familiar menatapnya.

Juan.

"Naik," perintahnya. Suaranya teredam helm.

"Lho? Mobil mana?" tanya Yuni bingung.

"Di bengkel. Lecet dikit kena pagar vila kemarin."

"Aku naik angkot aja, Juan. Nanti kamu repot."

"Naik, Yuni. Aku nggak nerima penolakan. Sekarang."

Nadanya mendesak.

Yuni naik ke boncengan yang tinggi itu.

Canggung.

Motor ini bukan motor bebek. Dia harus mencondongkan tubuh ke depan.

Dia harus memeluk pinggang Juan agar tidak jatuh.

Juan menarik tangan Yuni yang ragu-ragu, melingkarkannya erat di perutnya.

"Pegangan. Aku ngebut."

Motor melaju.

Melesat membelah kemacetan sore Jakarta.

Angin menerpa wajah Yuni, mengeringkan sisa air mata yang hampir jatuh.

Di balik punggung Juan yang lebar dan hangat, Yuni merasa aman sebentar.

Dunia terasa blur. Hanya ada punggung Juan.

"Aku liat mading," teriak Juan di tengah deru angin dan suara knalpot.

Yuni menempelkan pipinya di punggung jaket kulit Juan agar suaranya terdengar.

"Kamu liat?"

"Udah aku robek."

Yuni terkejut.

"Kamu robek?"

"Iya. Di depan semua orang. Aku sobek jadi dua, terus aku buang ke tong sampah."

"Juan! Itu bakal bikin mereka makin benci aku! Mereka bakal bilang aku ngadu!"

"Biarin."

"Biar mereka tau, kalau mereka hina kamu, mereka berurusan sama aku."

"Mereka fans kamu, Juan! Mereka cuma mau ngelindungin kamu!"

"Bukan. Itu bukan fans. Itu penguntit. Itu pengecut."

Juan membelokkan motor ke jalan tikus yang sepi dan rindang.

Melambat.

"Yuni."

"Ya?"

"Mulai besok, aku jemput kamu di depan pintu kelas. Tepat di depan pintu."

"Setiap hari?"

"Setiap hari. Pagi, siang, sore."

"Sampai kapan?"

"Sampai mereka bosen."

"Atau sampai mereka takut. Sampai mereka ngerti kalau kamu itu prioritas aku."

Yuni mengeratkan pelukannya.

Menenggelamkan wajahnya di punggung Juan.

Menghirup aroma jaket kulit, bensin, dan keringat Juan yang maskulin.

"Makasih," bisiknya pelan.

Di tengah serangan ribuan orang...

Di tengah dunia yang memusuhinya...

Setidaknya satu orang ini berdiri di depannya.

Menjadi tameng hidup.

Meskipun itu hanya karena kontrak...

Meskipun itu hanya karena kewajiban "Pihak Pertama"...

Rasanya seperti cinta.

Dan Yuni membiarkan dirinya menikmati rasa aman palsu itu, setidaknya sampai motor berhenti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!