NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Citra menyiapkan makan malam dengan penuh harap, sambil meletakkan secangkir jamu herbal di meja.

"Mas, ayo kita makan," ajaknya lembut, berharap suaminya bisa melepas penat dan bersamanya malam ini. Namun, Umar hanya duduk kaku, tatapannya dingin menatap piringnya yang hampir tak tersentuh. Suasana di ruang makan itu hening, hanya dentingan sendok yang menggema di antara mereka.

"Citra, istirahatlah. Aku juga capek, pengen cepat tidur," suara Umar datar itu menusuk hati Citra, membuatnya menelan air mata yang enggan jatuh.

Malam ini seharusnya jadi malam panjang mereka, penuh kehangatan. Tapi Umar seperti menghindar, menjaga jarak seolah ada tembok tak terlihat di antara mereka.

"Tapi, Mas?" Citra coba bertanya, berharap ada kehangatan yang tersisa, namun suara itu tenggelam begitu saja ketika Umar berdiri dan meninggalkannya sendirian.

Citra menunduk, air matanya mengalir pelan, teriris oleh perlakuan suaminya. Ia bertanya dalam hati, sampai kapan harus menunggu dan bersabar, padahal ia adalah istri sah Umar.

Wanita itu duduk terpaku di tepi ranjang, matanya kosong menatap suaminya yang terlelap tanpa tahu apa pun. Dada Citra terasa sesak, seolah ada beban berat yang merayap dan menghimpit hatinya perlahan. Napasnya berat, tapi pikirannya bergemuruh menolak kenyataan pahit Umar, suaminya, mulai mengalihkan perhatian pada Nay. Sosok wanita yang selama ini ia curigai diam-diam merebut tempatnya.

Tangan Citra menggenggam ponsel hingga pelupuk jarinya memutih. Jarinya gemetar saat mulai membayangkan rencana nekat: mengirim foto Umar dan Nay ke perempuan itu.

“Kalau aku tunjukin ini, mungkin dia bakal mundur…” gumamnya dalam hati.

Namun, saat ujung jarinya hampir menyentuh layar, hati Citra tersentak, dipenuhi kebimbangan.

Apakah ini jalan yang benar? Apa yang ingin dia buktikan kepada Nay? Kepada Umar? Atau pada dirinya sendiri?

Air matanya tumpah tanpa sadar, mengalir di pipi saat isak pelan keluar dari bibirnya, membayangkan segala kemungkinan yang membuatnya hancur..

Citra berdiri terpaku di depan cermin kamar, tangannya gemetar menahan gelombang takut yang menggulung dalam dada.

"Kalau aku benar-benar melakukannya… apa yang akan terjadi nanti?" gumamnya dengan suara tercekat.

Bayangan Mas Umar yang biasanya penuh tawa kini berubah menjadi sosok yang mungkin penuh kebencian. Tubuhnya menggigil, seolah setiap detak jantung berteriak mempertanyakan keputusan ini. Matanya terpejam erat, berharap luka di hati ini cepat berlalu, tapi dalam diam, ia tahu pilihan itu bukan jalan mudah.

Dengan langkah berat, Citra meninggalkan kamar, menatap Umar yang terlelap tanpa tahu badai yang melanda hatinya. Di ruang kerja, kini berantakan oleh tumpukan alat medis dan buku catatan, dia menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri meski rasa sakit masih membelit erat.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya Citra menggenggam surat izin resmi membuka praktik di rumahnya sendiri. Tapi bukan kebanggaan yang mengisi dadanya, melainkan kekosongan yang sulit diusir. Tangannya terulur membuka laci kecil, matanya langsung menangkap botol kecil berisi obat yang pernah ia beli beberapa waktu lalu. Obat itu bukan untuk pasien, melainkan untuk... suaminya, Umar.

Tangan Citra tiba-tiba gemetar saat ia mengangkat botol itu, cairan di dalamnya berkilau samar di bawah sinar redup ruang praktik. Wajahnya penuh dilema, pikiran yang semula jernih kini berkecamuk.

"Kenapa dulu aku membelinya, ya?" gumamnya dalam hati. Suaranya bergetar saat bertanya pada diri sendiri,

"Apakah aku benar-benar harus melakukan ini?"

Di sudut hati, ada suara lain yang membisikkan pembenaran, ini mungkin satu-satunya cara agar Umar kembali memperhatikan, menghidupkan kembali percikan yang perlahan memudar di antara mereka. Citra menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada botol itu, merasa terjebak antara harapan dan keraguan.

Citra menatap kosong ke arah gelas berisi air putih yang diletakkan rapi di meja samping tempat tidur. Sepi itu menyelinap seperti bayangan gelap, padahal Umar ada di ruangan yang sama. Napasnya berat, dada sesak oleh perasaan yang sulit ia ungkapkan.

“Apa aku masih berharga buat dia, atau cuma istri yang tugasnya ngurus rumah?” gumamnya pelan, suara itu seperti melukai hati sendiri.

Matanya menangkap kebiasaan Umar yang selalu meneguk segelas air setiap pagi, tanpa pernah berubah. Ide itu muncul tanpa diundang, menyusup di pikirannya seperti racun halus. Citra menggigit bibir bawah, seakan ada bisikan kecil dari dalam diri yang berbalik menjadi nyaring,

“Kalau aku campur itu di airnya, mungkin... dia bakal lihat aku beda. Lebih dari sekadar istri biasa.” Hatinya bergetar antara benci dan berharap, membayangkan bagaimana jika rasa itu benar-benar berubah.

Citra menatap botol kecil di tangannya, jari-jarinya menggenggamnya erat seolah berharap bisa memeras keberanian. Matanya menyipit, menatap cairan bening di dalamnya yang segera berubah makna dari obat biasa menjadi jebakan hati. Dadanya berdebar, ada yang mencengkeram erat di sana campuran antara takut dan bersalah yang merobek setiap inci keberaniannya. Ia terdiam, berdiri kaku di kamar yang hening, seolah menantang dirinya sendiri,

“Benarkah cinta harus diraih dengan cara sekeji ini?” Gumam itu terbit dari bibirnya yang kering. Hati dan pikirannya bertarung, antara keinginan untuk diperhatikan, putus asa yang menyusup pelan, dan suara kecil moral yang masih coba dipertahankan.

Citra akhirnya duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang. Gelas berisi air putih dan obat itu terpaku di tangannya, sebuah janji yang pahit sekaligus kesempatan terakhir. Namun, rasa ragu dan luka semakin dalam menggerogoti. Ia mulai bertanya-tanya, apakah dia masih benar-benar hadir di matanya sebagai istri, ataukah sekadar bayangan yang terus menghilang?

Tangan Citra gemetar saat ia meletakkan gelas di meja kecil dekat tempat tidur. Di sana, Umar, suaminya terlelap dengan tenang, mengenakan piyama rapi yang seolah membingkai wajahnya dengan sempurna di bawah redup lampu kamar. Citra menatapnya lama, dadanya sesak oleh rindu yang menekan tanpa jawaban. Ia mengangkat tangan, ingin menyentuh, membelai, mendekatkan diri seperti seharusnya seorang istri, tapi keberanian itu seperti hilang ditelan sunyi malam.

“Apakah ini yang aku inginkan?” bisik Citra dalam hati, air matanya hampir jatuh, tapi ditegarnya. Ia berbaring di samping Umar, mencoba merasakan hangatnya, tapi justru terasa jurang luas yang memisahkan lebih dari sekadar ruang di antara tubuh mereka, sebuah jarak yang tak bisa ia tempuh.

Citra menutup matanya perlahan, menarik napas dalam seolah ingin menyerahkan semua beban pada gelap malam. Di ujung pikirannya, ada tanya yang terus mengusik: jika fajar menyingsing dan Umar terbangun, lalu segelas air itu benar-benar diminumnya, mungkinkah semuanya berubah? Tapi hatinya terasa berat, tak punya jawaban pasti.

Malam itu, tubuh dan jiwa wanita itu terasa letih sekali, lelah menunggu, lelah berharap, hingga tanpa sadar dia terlelap dalam mimpi yang kabur, antara manis dan getir.

Sementara itu, saat pertama sinar matahari menyelinap lewat jendela, Umar membuka matanya perlahan. Tatapannya langsung jatuh pada sosok istri keduanya yang masih terlelap dengan tenang di sisinya. Namun, matanya tak menyimpan secuil pun perhatian untuk Citra. Hatinya tetap tertambat pada Nay bukan pada Citra, wanita yang mungkin luar biasa dan hampir sempurna di mata orang lain, tapi bukan untuknya. Mungkin belum saatnya.

Umar menatap segelas air putih yang terpampang di meja. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat gelas itu dan meneguknya sampai habis, tak ada sedikit pun rasa curiga dalam benaknya. Sesudahnya, langkahnya tertuju ke kamar mandi. Di sana, ia buang air kecil lalu mengambil wudhu dengan gerakan yang rutin, seolah tubuh dan pikirannya masih normal seperti biasa. Namun, ada getaran aneh yang mengalir dalam tubuhnya seperti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Meski begitu, Umar memaksa dirinya tetap berdiri tegak, menunaikan salat Subuh dengan khusyuk. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran agar fokus pada ibadahnya.

Namun, pandangannya tanpa sadar melayang ke arah Citra, istri keduanya, yang baru saja keluar dari kamar. Ada dorongan halus di hati yang tiba-tiba membuatnya ingin mendekat, merasakan kehangatan dari sosoknya. Apa ini? pikir Umar, sebuah perasaan asing yang menggelitik jiwa.

Saat ia melangkah mendekat, Citra berputar seketika. Tubuh mereka hanya tersisa sejengkal jarak, dan mata mereka bertaut dalam hening yang tak terucap. Tatapan Citra memancarkan sesuatu entah peringatan atau rahasia yang membuat Umar terhenti, membeku tanpa suara.

"Umar terpaku, matanya melebar saat tubuh Citra bergerak mendekat tanpa aba-aba. Napasnya hangat mulai terasa di kulit Umar, jantungnya berdegup kencang, namun suaranya tetap tercekat di tenggorokan. Bibir Citra menyentuh bibirnya dengan lembut, mengirim getaran aneh yang membuat dada Umar berdesir.

"Ini salah," gumamnya dalam hati, panik sekaligus bingung kenapa tubuhnya justru tak bergerak menolak.

Selama ini, hanya Nay yang boleh dekat seperti ini. Namun kini, dia seperti terperangkap dalam pusaran perasaan yang asing dan sulit dijelaskan. Bibir mereka tetap menyatu dalam diam, dan Umar merasakan badai emosi berperang dalam dirinya, antara kewajiban yang dia pegang teguh dan gairah yang tiba-tiba membara.

"Kenapa aku bisa begini?" pikirnya, tubuhnya tak mampu melawan sentuhan itu.

Citra menatapnya dengan penuh keyakinan, sementara Umar hanyut, bagai perahu kecil yang tak berdaya terombang-ambing di tengah lautan sepi. Kebisuan mereka mengikat erat, membiarkan waktu terhenti tanpa kata.

Rasa itu datang begitu saja, membelai hati dengan lembut seperti sentuhan tangan Nay sendiri. Tak kuasa Umar menolak, seperti sedang tersihir dalam pelukan hangat yang tak ingin Umar lepaskan.

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!